15. Latif Mulai Menguji Kesabaran

1422 Kata
Satu bulan berlalu semenjak pertemuan Lena dengan Larisa kala itu. Lena masih juga dilema untuk mengakui dan berterus terang pada suaminya bahwa sebenarnya dia punya lebih dari sekedar cukup tabungan yang dapat digunakan untuk modal usaha. Entah mengapa Lena kurang bisa percaya pada Latif mengingat bagaimana sifat mertua dan adik iparnya. Apalagi sebulan terakhir ini Latif juga tampak berubah. Apakah hanya perasaan Lena saja, tapi yang jelas Latif jadi kurang perduli dengan rumah tangga mereka. Yang biasanya pulang dari konter jam sembilan atau sepuluh malam, kini bisa sampai tengah malam. Jika Lena bertanya, jawaban Latif hanya biasa saja. Konter sepi sehingga Latif menutup konternya lebih malam agar mendapat uang lebih. Namun, nyatanya apa? Justru uang belanja yang Latif berikan padanya hanyalah ala kadarnya. Latif pun juga jarang makan di rumah sekarang. Tebakan Lena, Latif pasti makan diluar. Bahkan Latif tidak pernah bertanya padanya apakah uang yang diberikan cukup atau tidak. Tidak jarang Latif hanya memberinya uang seratus ribu untuk satu minggu sehingga dengan terpaksa Lena harus menggunakan uang pribadi yang kapan hari diberikan oleh Larisa. Lena sendiri juga sudah tidak lagi mau makan sederhana karena dia seperti orang kurang gizi yang kurus kering. Jadilah sekarang Lena memasak apa yang dia inginkan. Mengabaikan pertanyaan sang mertua yang menganggap dia menghambur-hamburkan uangnya Latif. Pun halnya dengan pagi ini di mana Lena yang tidak sengaja menguping perbincangan mertua bersama suaminya. Latif yang sudah siap untuk pergi bekerja, dicegat oleh Bu Lilis. Lena yang sedang memasak di dapur pun memasang telinganya lebar-lebar demi mengetahui apa yang menjadi soalan Bu Lilis karena sepertinya perbincangan keduanya serius sekali. "Gimana, Tif? Hari ini jatuh tempo bayar cicilan motor. Duitnya sudah ada kan? Semalam ibu menunggumu pulang tapi kamunya tidak pulang-pulang sampai ibu ketiduran." Latif menggaruk kepalanya. "Maaf, Bu. Uangnya belum cukup." Mata Bu Lilis langsung membulat. "Apa?! Kok bisa?" "Ya gimana. Jualan lagi sepi," jawab Latif sembari meringis takut-takut pada ibunya. Dia sungguh tidak berbohong mengatakan tidak memiliki uang. Bukan lantaran konter sepi. Jualan Latif masih seperti biasanya hanya saja memang uang laba, lebih banyak dia gunakan untuk kebutuhan sendiri. Latif sudah berada di ujung lelah menjadi tulang punggung. Ibaratnya sudah menikah bukan malah tertata hidupnya, yang ada justru makin merana. Acapkali pulang kerja hanya makanan seadanya yang Lena hidangkan. Lama-lama Latif bosan juga sehingga selama satu bulan ini Latif lebih sering membeli makanan di warung untuk memanjakan lidah dan perutnya. Anggap saja sebagai reward pada dirinya sendiri atas kerja kerasnya selama ini. Memilih abai pada Lena dan juga tanggung jawab akan cicilan motor adiknya. Sekarang di saat sang ibu mengomelinya, Latif masih harus mencoba memutar otak untuk mendapatkan uang jika tidak mau dirong-rong terus-terusan oleh ibunya. "Nanti aku coba usahakan cari pinjaman, Bu." "Kamu pinjam sama siapa lagi? Ya, ampun, Latif!" Bu Lilis nampak geram hingga keduanya saling diam. "Tahu begini, ibu tidak akan membiarkan Lena menghambur-hamburkan uangmu." Kening Latif mengernyit. "Uang apa, Bu?" Karena perasaan Latif tidak pernah memberikan istrinya itu uang lebih. "Ya uang belanja. Dari mana lagi Lena punya uang untuk belanja dan memasak makanan enak dan lebih layak daripada hanya sekedar tempe dan tahu saja." Lagi-lagi Latif dibuat terkejut. Latif memang sudah hampir tidak pernah makan di rumah sehingga dia tidak tahu menu apa yang istrinya itu masak setiap hari untuk ibu dan adiknya. Latif sudah lelah acapkali makan di rumah hanya disuguhi pertengkaran ibu, istri dan adiknya perkara rebutan makanan. Kadang Latif juga kesal pada adiknya yang suka menghabiskan makanan tanpa ingat yang lainnya. Tapi, Latif pun paham jika remaja seusia Labib memang sedang dalam masa pertumbuhan dan dalam fase banyak-banyaknya makan. Dulu pun dia juga demikian sehingga Latif lebih bisa memahami akan apa yang terjadi pada adiknya. Namun, tidak dengan Lena di mana sang istri yang merupakan anak tunggal tidak pernah mengetahui akan hal demikian. "Lena dapat uang belanja dari mana memangnya, Bu?" "Bukan dari kamu, Tif?" Kepala Latif menggeleng. "Aku tidak pernah memberi Lena uang berlebih, Bu." Bu Lilis mencondongkan tubuhnya mendekat pada Latif dan berbisik lirih pada putranya itu. "Lalu dia bisa dapat uang dari mana?" "Aku tidak tahu, Bu. Mungkin Lena punya tabungan," jawab Latif tak kalah lirih. "Apa iya Lena sedang banyak uang?" "Memangnya selama ini dia tidak masak tahu tempe lagi, Bu?" "Sekarang dia selalu belanja agak banyak dan masak pun lebih manusiawi. Kamu sih enggak pernah lagi makan di rumah. Oh, jangan-jangan kamu habiskan sendiri ya uang penghasilan konter buat kamu senang-senang sendiri?" Latif tampak gugup sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, Bu." "Ya sudah sekarang kamu pikirkan cara agar dapat uang untuk bayar cicilan. Kamu usaha kek gimana pun caranya. Ibu enggak mau ya sampai ada debt colector yang datang ke rumah. Apa kata tetangga jika sampai pada tahu kita punya tanggungan cicilan." "Terus aku mau cari uang ke mana Bu?" "Mana ibu tahu. Kamu pikir aja sendiri. Atau coba aja kamu tanya ke Lena. Siapa tahu saja dia punya uang simpanan. Setahu ibu semenjak Lena ketemuan sama temannya, setelah itu dia jadi berubah enggak pelit lagi. Jadi sering masak enak. Tidak tahu tempe lagi." Latif berpikir apa iya istrinya sedang punya banyak uang. Bu Lilis yang mengetahui keraguan di wajah Latif, sudah mendorong-dorong putranya itu. "Sana buruan temui istrimu. Pokoknya hari ini kamu nggak boleh meninggalkan rumah sebelum kasih ibu uang cicilan." Latif mendesah frustasi. Tak ayal pria itu pun beranjak berdiri. Lena yang ada di dapur buru-buru berpura-pura sibuk mencuci peralatan masaknya karena mendengar langkah kaki yang mendekat. "Dek!" Panggilan Latif, menolehkan kepala Lena. "Belum berangkat kamu, Mas?" Kepala Latif menggeleng lalu menarik kursi dan duduk di sana. "Sini sebentar Dek. Mas ingin bicara sama kamu." Lena yang tidak tahu akan apa yang ingin Latif bicarakan, menurut dan duduk di depan suaminya. Perasaannya sudah tidak enak saja karena tadi samar-samar Lena sempat mendengar ibu mertuanya menagih uang cicilan motor pada Latif. "Dek, Mas boleh tanya sesuatu nggak?" "Ya sudah tanya sih, Mas?" "Eum ... Apa benar kamu sedang banyak uang?" "Hah? Apa? Banyak uang? Siapa yang bilang?" "Ibu." "Dari mana ibu tahu jika aku banyak uang. Ada-ada saja. Bukankah kamu selalu kasih aku uang belanja pas-pasan Mas?" "Ya aku tahu, Dek. Tapi kata ibu akhir-akhir ini kamu sering masak enak. Bukankah berarti kamu sedang punya banyak uang untuk belanja makanan enak." "Astaghfirullah, Mas. Kadang aku suka heran sama kamu dan keluargamu. Aku masak tahu tempe diprotes mulu. Giliran aku masak sedikit berbeda langsung dikira banyak uang. Mas nggak tahu saja kan jika aku harus menyisihkan sedikit uang agar bisa belanja yang lebih variatif." "Ya itu maksud Mas. Jika kamu masih ada simpanan uang, Mas pinjam dulu ya. Buat bayar cicilan motor. Hari ini jatuh tempo dan Mas belum ada uangnya. Ibu bisa marah jika Mas tidak kasih uangnya sekarang." "Ya Tuhan, Mas. Inilah yang aku takutkan selama ini jika sampai Mas tidak sanggup membayar cicilannya. Tapi Mas malah ngenyel dan tetep nurut sama ibu." "Dek! Mas butuh solusi bukan malah caci maki. Setidaknya bantu Mas mikir ke mana harus dapat duit hari ini." Lena menghela napas panjang. Sungguh, Lena tidak tahu lagi akan jalan pikiran Latif. "Aku nggak tahu, Mas. Jangan tanya padaku jika itu berhubungan dengan duit karena aku tidak akan pernah bisa membantu." "Beneran Dek kamu nggak ada sedikit simpanan yang bisa Mas pinjam?" "Nggak ada, Mas! Sudahlah, aku mau beres-beres. Lebih baik Mas berangkat atau mau sarapan dulu mumpung aku sudah selesai masaknya." Latif tak menjawab dan malah netranya tertuju pada jari manis Lena. Tampak kilatan perhiasan yang terkena pantulan cahaya matahari dari luar jendela. "Dek!" Panggilan Latif lagi-lagi menghentikan langkah Lena yang sudah ingin beranjak. "Kenapa lagi Mas?" "Eum ... itu." Entah kenapa Latif jadi gugup. Tapi tatapan mata Latif yang tertuju pada jarinya membuat Lena penasaran. Mengikuti arah pandang Latif dan perasaan Lena sudah tidak karuan. Wanita itu menarik tangannya untuk disembunyikan di belakang tubuhnya. Akan tetapi usahanya tersebut sia-sia saja karena pada akhirnya Latif pun kembali bersuara. "Mas pinjam cincinmu dulu ya? Mas jual buat bayar cicilan. Nanti kalau ada uang Mas janji akan kembalikan." Mata Lena membulat dengan kepala menggeleng tegas. "Mas! Ini cincin kawin kita. Kamu tega mau menjualnya?" "Terpaksa, Dek. Mas sedang kepepet." "Ya meski kepepet tidak dengan menjual Mas kawin kita Mas!" Bu Lilis tiba-tiba sudah muncul dan mengacau. Berdiri dengan tangan bersadekap menatap tajam pada Lena. "Jangan ngelunjak kamu, Lena! Itu cincin juga dulunya Latif yang belikan. Jika sekarang Latif mau jual, ya kasih kan." "Tapi ini Mas kawin yang Mas Latif berikan untuk saya." "Apa kamu budeg, hah! Tadi Latif sudah katakan akan menggantinya begitu nanti dia punya uang." Air mata Lena lolos tanpa diminta. Sungguh suami dan mertuanya ini sudah keterlaluan sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN