12. Bertemu Suster Lani

1017 Kata
Latif memarkir motornya di teras konter yang tidak seberapa besar. Berada di pertokoan depan pasar tradisional. Harga sewa juga tidak seberapa mahal sehingga Latif pun betah menyewa di sini. Sudah lima tahunan mungkin dia berjualan pulsa dan selama itu Latif sudah keenakan hanya berbisnis kecil-kecilan tanpa mau repot-repot untuk berkembang. Dengan alasan utamanya adalah modal sehingga Latif tergolong lelaki yang takut mengambil resiko dalam berjualan. Selain pulsa handphone, ada juga pulsa listrik serta melayani p********n secara online. Dari hasil usahanya ini sebenarnya juga tidak banyak keuntungan yang didapat. Jika dihitung-hitung mungkin paling besar hanya di angka lima juta rupiah saja. Itupun tidak setiap bulan Latif mendapat sebesar itu. Jika sedang sepi pembeli bahkan hanya dapat tiga atau empat juta saja. Setelah dipotong untuk p********n sewa dan listrik, Latif akan membaginya untuk jatah bensin, jatah ibu dan adiknya barulah untuk Lena. Latif tidak pernah tahu berapa banyak kebutuhan rumah tangga yang dikeluarkan oleh istrinya. Yang pasti uang dua juta yang biasanya masuk ke dalam kantong Lena, bagi Latif sudah sangat banyak jika dibandingkan dengan jatah bensin dan rokoknya. Padahal dia yang bekerja keras banting tulang. Sengaja memang dia tidak mengijinkan Lena bekerja selama menjadi istrinya. Faktor utama yang menjadi alasan Latif adalah soal rasa cemburu. Jujur, Latif sangat takut jika sampai Lena berpaling darinya. Secara, Lena sangat cantik. Bisa dikatakan istrinya itu menjadi wanita tercantik di kampung tempat tinggalnya. Dan Latif merasa beruntung sekali bisa mendapatkan sosok istri seperti yang dia impikan selama ini. Oleh karena itulah Latif tidak mau ada banyak orang yang mengenal istrinya terlebih jika itu adalah kaum pria. Jika sampai Lena ia biarkan bekerja, maka kemungkinan besar Lena akan banyak bertemu dengan para lelaki di luaran sana. Latif percaya Lena tidak akan berselingkuh. Tapi Latif tidak suka jika ada banyak lelaki yang terang-terangan memuji istrinya. Selama ini saja Latif selalu panas hati acapkali ada yang memuji sang istri atau melirik Lena dengan tatapan mendamba. Ingin rasanya Latif mengarungi Lena agar tidak ada yang melihat kecantikan istrinya itu. Tapi mana bisa dia melakukan semua itu. Jadi sebagai antisipasi yang Latif lakukan hanyalah melarang sang istri untuk bekerja dan dia membiarkan istrinya tetap di rumah saja sebagai ibu rumah tangga. Itu satu-satunya cara paling aman menyelamatkan sang istri dari para lelaki hidung belang. "Mas! Beli pulsa," ucap salah seorang pembeli pertama yang melariskan dagangan Latif hari ini. Lelaki yang masih menyapu lantai itu menoleh mendapati seorang perempuan berbaju hijau yang dilapisi sweater. "Oh iya, Mbak. Sebentar." Latif menyenderkan sapu ke dinding, lalu mendekati meja konter dan mengambil ponsel bersiap mencatat nomor si pembeli. "Nomornya berapa, Mbak." Wanita itu menyebutkan satu per satu nomor ponsel yang akan diisi pulsa dengan sesekali melirik pada Latif. Mencoba mengingat sekiranya dia tidak lupa dengan wajah tampan yang ada di hadapannya ini. "Bagaimana Mbak? Sudah masuk atau belum pulsanya?" tanya Latif begitu selesai mengisikan pulsa. Wanita itu langsung tergagap karena malu andai ketahuan jika sejak tadi sering memperhatikan Latif. "Oh, sudah ... sudah, Mas. Sudah masuk pulsanya. Berapa, Mas?" Latif menyebutkan berapa harga yang harus dibayar. Selembar uang lima puluh ribuan beserta selembar sepuluh ribuan wanita itu sodorkan sembari memberanikan diri bertanya. "Eum ... Maaf jika saya boleh tau, Mas ini Latif atau bukan?" Latif terkejut karena ada pembeli yang mengenalinya. Sebenarnya bukan hal yang aneh jika mengenali sosok Latif. Itupun jika pembelinya adalah orang-orang kampung atau tetangga kampungnya. Juga yang sudah menjadi langganan. Masalahnya, Latif merasa belum pernah menjumpai wanita ini sebelumnya membeli pulsa di konter miliknya. Jadilah Latif keheranan ketika ada wanita cantik yang tahu namanya. "Iya, saya Latif. Mbak kenal saya?" Wanita itu tersenyum lebar. "Mas Latif lupa sama saya?" Latif memberanikan diri menatap lekat-lekat wanita cantik di hadapannya ini. Meski menurut Latif masih kalah cantik dari istrinya. Tapi demi menjawab keingintahuannya, Latif terpaksa melakukannya. "Saya yang dulu merawat bapaknya Mas Latif saat di rumah sakit," ucap perempuan itu kemudian karena Latif tak kunjung mengenalinya. "Sebentar. Kalau tidak salah Anda suster Lani? Suster magang yang dulu ikut merawat bapak saya?" Perempuan bernama Lani menganggukkan kepalanya. "Akhirnya Mas Latif ingat juga." "Tentu saja saya ingat meski tadi sedikit lupa," jawab Latif lalu terkekeh. "Masih kerja di rumah sakit itu atau sudah pindah?" Ya, dulunya memang bapak Latif yang pernah sakit harus dirawat di rumah sakit besar yang ada di kota kabupaten. Karena di sana peralatannya lengkap. "Iya, Mas. Saya masih kerja di sana." "Kok jauh sekali beli pulsanya di sini?" Jarak rumah sakit daerah dengan kampungnya Latif lumayan jauh. Jika ditempuh dengan sepeda motor memerlukan waktu perjalanan sekitar setengah jam. Kalau naik angkot malah bisa lebih lama karena akan sering berhenti. "Iya. Kebetulan saya baru saja berkunjung ke rumah saudara yang tidak jauh dari sini." "Oalah begitu. Jika boleh tahu siapa saudaranya suster Lani. Siapa tahu saja saya kenal?" "Pakde Lukman." "Pak Lukman Hanafi?" Lani menganggukkan kepalanya. Tentu saja Latif kenal dengan salah satu orang terpandang di kampungnya itu. "Iya. Dia pakde saya, Mas." "Oalah. Iya iya saya kenal. Pak Lukman salah satu orang terpandang di kampung kami. Jadi saya pasti mengenal. Mampir lah ke rumah jika datang ke tempat Pak Lukman. Ibu pasti senang bisa bertemu lagi dengan suster Lani." "Baik, Mas. Insyaallah. Kalau begitu saya permisi dulu. Harus kerja karena saya dapat shift pagi." "Iya ... iya. Silahkan." "Senang dapat bertemu lagi dengan Mas Latif." "Saya juga, eh!" Latif menutup mulutnya merasa telah salah bicara. Kedua netranya tak lepas menatap kepergian gadis cantik yang merupakan perawat di salah satu rumah sakit besar dan terkenal. Lain halnya dengan Lena. Perempuan itu sampai harus menebalkan muka kembali ke tukang sayur yang untungnya masih mangkal di tempat yang sama. Rela mendapat godaan dari si bapak penjual sayur demikian membeli sebungkus ayam seberat seperempat kilogram. Belum berhenti sampai di sana karena saat sampai di rumah, Lena yang langsung mendapat pertanyaan dari sang mertua harus pandai-pandai memberikan pengertian pada wanita tua itu bahwa ayam yang dia beli khusus untuk Latif. Dan yang lain baru akan kebagian setelah Latif mencicipi masakannya nanti. Tentu saja awalnya Bu Lilis marah dan tidak terima tapi karena Lena tetap bersikukuh, pada akhirnya beliau kalah juga. Terpaksa menahan keinginan menikmati makanan bergizi malam nanti saat Latif sudah sampai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN