"Mas, bagi duit dong! Aku mau berangkat. Keburu telat nanti ke sekolah."
Suara Labib, mengehentikan langkah Lena yang bersiap membuka pintu kamar. Telinga Lena yang tajam itu tentu saja mendengar perbincangan yang terjadi di antara adik kakak tersebut di ruang tamu rumah, sebab posisi kamar Lena dengan ruang tamu saling berhadapan.
"Memangnya uang lima ratus ribu yang Mas kasih awal bulan lalu sudah habis?"
Labib tertawa. "Mas ... Mas. Mas itu kasih aku duit sudah sejak dua minggu lalu. Ya habis lah. Kebutuhanku kan juga banyak Mas. Belum buat beli bensin, fotocopy tugas, bayar ini itu. Buat ngopi sama rokok aja aku irit-irit."
Tiba-tiba saja Bu Lilis datang dan malah membela Labib. "Astaga, Tif. Itu adiknya minta duit malah diceramahi. Kamu kasih saja lah. Memangnya Labib mau minta ke siapa lagi jika bukan kamu? Apa iya ibu mau suruh dia minta ke bapakmu, hah?!"
Latif terdengar menghela napas. Sebelum pada akhirnya ia berikan juga satu-satunya yang merah yang mendekam di dalam dompet. Padahal Latif berharap uang itu bisa dia gunakan untuk hal yang lainnya. Berjaga-jaga saja andai konternya kembali sepi. Ya, meski pun beberapa hari ini konter pulsa miliknya lumayan ramai. Tapi Latif tidak boleh lupa diri apalagi menyisihkan modal untuk mengisi saldonya lagi.
"Nih, tapi ingat jangan dihambur-hamburkan. Kalau punya duit diirit-irit. Mas juga hanya jualan, Bib, yang untungnya nggak bisa diprediksi. Iya kalau pas ramai, untungnya lumayan. Kalau lagi sepi, buat kebutuhan rumah pun Mas ini pusing."
Mendengar itu justru Lilis yang tidak suka. Mengira jika Latif suka itung-itungan sama adiknya.
"Latif! Nggak ada guna juga kamu banyak bicara sama adikmu. Dia itu masih sekolah. Tugasnya belajar bukan kamu suruh untuk memikirkan kebutuhan rumah. Kamu nggak ikhlas apa menghidupi Ibu dan adikmu?"
"Bukan begitu, Bu. Aku hanya ingin memberikan pengertian pada Labib bahwa hidup itu tidak melulu harus ada uang dan apapun yang dia minta, tidak langsung bisa dia dapatkan dengan cuma-cuma."
"Oh, maksudmu, Labib harus kerja juga. Begitu? Lah itu Lena saja yang orang baru di rumah ini, bukan darah daging ibu dan tidak ada hubungan darah dengan kamu dan juga Labib, bisa enak-enakan menikmati hidup di rumah ini. Dia juga nggak perlu kerja dan hanya menengadahkan tangan meminta duit padamu. Sudahlah Latif. Jangan jadi anak durhaka kamu. Labib itu adik kandungmu. Jangan jahat kamu memperlakukan anak yatim."
"Astaghfirullah, Bu. Kenapa Ibu tega mengatakan hal itu. Latif nggak pernah berpikir untuk berbuat jahat sama Labib."
"Sudah ... sudah. Otakmu itu sudah diracuni sama wanita itu. Labib! Buruan berangkat sana. Nggak usah pedulikan ucapan masmu. Kalau masmu masih suka pelit sama kamu, adukan saja pada bapak."
"Bapak kan sudah meninggal, Bu?" Dengan polosnya Labib malah bertanya seperti itu.
"Iya biar Masmu ditegur sama arwahnya bapak."
Lagi-lagi Latif hanya menghela napas. Dia tak lagi mau melawan ibunya.
Labib pun meninggalkan rumah dengan bersiul riang gembira. Sementara Bu Lilis, melengos ketika saling pandang dengan putranya. Wanita tua itu meninggalkan ruang tamu untuk menuju kamarnya.
Latif pun beranjak masuk ke dalam kamar karena dia sendiri juga harus segera berangkat kerja. Disambut oleh senyuman Lena yang duduk di tepi ranjang sedang memperhatikannya.
"Mas!"
Latif duduk di tepi ranjang. Mengembuskan napas panjang sembari menatap dalam manik mata Lena. "Dek, eum Mas mau ngomong sesuatu sama kamu."
Wajah Latif tampak serius. "Ada apa, Mas?"
"Apa uang belanja yang Mas kasih kemarin masih ada?"
Sejujurnya Lena tahu ke mana arah pembicaraan Latif karena hal ini bukanlah sekali saja terjadi. Tapi selama Lena menjadi istri Latif, sudah berkali-kali dia harus mengalah pada Labib.
"Memangnya kenapa Mas tanya begitu? Mau Mas minta lagi?"
"I-iya, Dek. Mas minta maaf karena Mas nggak ada pegangan uang sama sekali."
Lena menghela napas panjang. Dia sungguh lelah. Mengalihkan tatapan dari sang suami. "Uangnya masih ada, Mas. Tapi, Mas. Kenapa Mas ini selalu saja mengalah sama Labib. Mas selalu menuruti apa yang Labib mau sementara Mas sendiri tidak ada uang pegangan sama sekali."
"Habisnya Mas sendiri juga kasihan. Labib mau minta sama siapa selain sama Mas? Kamu tahu sendiri. Saat awal menikah dulu, Mas sudah kasih tau ke kamu jika Mas masih ada tanggung jawab menafkahi adik dan ibu."
"Ya ... ya. Aku mengerti. Mas tidak perlu menjelaskan apapun lagi padaku. Sebentar aku ambil dulu uangnya."
Lena beranjak dari duduknya. Mengambil dompet di mana uang yang tersisa hanya tinggal lima puluh ribu saja. "Uangnya tinggal ini aja, Mas."
Latif tersenyum menerima uang tersebut tanpa berpikir bahwa Lena juga harus punya pegangan uang.
"Makasih, sayang." Latif menggenggam tangan Lena dan wanita itu langsung menepis sembari mengaduh kesakitan.
Latif terkejut. "Ada apa?"
"Sakit, Mas."
Lena meniup-niup telapak tangan yang memerah.
Latif membelalakkan matanya. "Sayang, ini kenapa tanganmu bisa terluka?"
Lena menarik kembali tangannya lalu menyembunyikan di belakang tubuhnya. "Ini nggak pa-pa."
Ya, selama ini Latif tidak pernah tau dengan apa yang terjadi pada Lena. Hidup di rumah ini bagai pembantu yang disuruh ini dan itu oleh ibunya. Lena bukanlah tipe wanita yang suka mengadu. Dia biarkan saja karena lebih memilih menikmati peran sebagai ibu rumah tangga meski perlakuan ibu mertuanya tidak manusiawi.
"Nggak papa gimana? Tanganmu terluka."
Latif kembali menarik tangan Lena. Mengusap telapak tangan yang memerah. Sungguh, Latif merasa sangat bersalah pada Lena. Tangan Lena yang dulu sangat putih dan mulus, terlihat sekali jika istrinya tidak pernah bekerja kasar, sekarang jadi ruam-ruam.
Tidak ingin Latif khawatir, Lena pun menjelaskan. "Ini nggak apa-apa, Mas. Hanya iritasi karena tidak cocok sama sabun cuci."
Padahal aslinya tangan Lena bisa seperti itu karena kebanyakan mencuci baju milik mertuanya. Banyak gamis milik mertuanya berat yang harus Lena kucek dengan tangannya.
"Nanti Mas belikan salep biar ini nggak kerasa perih."
"Iya. Makasih, Mas. Sudah sana Mas berangkat. Nanti kesiangan."
Latif mengangguk. Mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Lena. "Mas berangkat dulu. Kamu baik-baik di rumah. Jika tanganmu masih sakit, jangan dipakai untuk mencuci baju. Biar nanti Mas bawa ke laundry saja semua pakaian kotor kita."
"Terima kasih, Mas."
"Sama-sama. Mas pergi dulu."
Bahkan Latif masih sempat mencium kening Lena. Hanya dengan sikap manis Latif saja hati Lena sudah berbunga-bunga. Dia mencintai Latif yang apa adanya sampai dia rela hidup menderita di kampung tempat tinggalnya yang sekarang.