"Ada apa malam-malam ribut?" Lilis Karlina dengan daster kebesaran sebab wanita itu sudah bersiap untuk pergi tidur, menghampiri meja makan dan menatap bergantian pada menantu juga putra keduanya.
Labib yang merasa tertolong setelah ketahuan kakak iparnya menghabiskan makanan di meja makan pun mencari pembelaan. "Mbak Lena marah-marah, Bu, gara-gara aku makan daging yang dimasak. Mana aku tau jika daging ini kepunyaan Mbak Lena!" Dengan tidak tahu dirinya, Labib yang memang suka sekali membuat kericuhan di dalam rumah, mencari alasan untuk memutar balikkan fakta yang ada. Yang penting dia aman meski sebenarnya dia pun tetap akan mendapatkan pembelaan dari sang ibu sekali pun dia melakukan kesalahan.
"Lena! Kamu ini sama adik sendiri jangan pelit! Itu makanan bukan orang lain yang makan. Tapi adiknya Latif yang artinya adikmu juga. Kenapa harus dijadikan masalah hal sepele seperti ini. Malu-maluin tau nggak jika sampai kedengaran orang."
"Bu, Aku nggak apa jika Labib mau makan. Tapi jangan dihabiskan semua. Itu bagian Mas Latif. Seharusnya Labib bisa mengukur seberapa banyak yang boleh dia makan agar semua kebagian."
"Aduh, Len! Kamu ini kayak masaknya sekuwali pake harus ditakar makannya seberapa. Hanya daging sedikit saja kamu jadikan masalah. Lagian Latif pun juga nggak akan keberatan jika makanannya dihabiskan adiknya."
Lena masih belum mau menyerah membela diri. "Bu, jika makanannya tidak dihabiskan semua sama Labib, masih bisa digunakan buat sarapan besok. Apalagi uang belanja dari Mas Latif juga habis karena tadi saya pakai beli daging."
"Dasarnya kamu saja yang nggak becus atur duit belanja. Sudah ... sudah. Jangan banyak bicara. Labib! Masuk kamar dan lekas tidur!" titah Lilis, kemudian menatap sinis menantunya sebelum memutar badan dan pergi meninggalkan ruang makan dengan Lena berada di dalam sana sendirian.
Dengan tidak bersemangat Lena kembali masuk ke dalam kamar. Latif sudah mendengkur halus yang menandakan jika suaminya itu telah tidur. Lena perlahan merebahkan dirinya di samping suaminya. Tidak langsung tidur, karena pikirannya menerawang akan masa lalu.
Lena tidak akan menangis meski dadanya terasa sesak sebab beban yang ditanggung makin ke sini makin berat saja. Lena mencoba menguatkan diri, melirik ke samping di mana wajah damai Latif yang terlihat dimatanya. Hanya karena lelaki itu Lena sanggup bertahan hingga di titik ini. Dan lagi, akan sangat memalukan jika sampai dia mengeluh akan nasib kurang beruntung yang diterimanya semenjak menikah dan menjalani hidup sederhana bersama Latif. Pria yang dia cintai sampai Lena rela mengorbankan semuanya.
Bukankah ini hidup yang dia inginkan? Menikah, lalu hidup nyaman menjadi seorang ibu rumah tangga. Tanpa harus berambisi mengejar karir hingga membuat masa mudanya terenggut sebab terlalu fokus mengejar kebahagiaan dunia.
Kini, hidup sederhana yang dia impikan sejak dulu, sudah Tuhan berikan. Sayanganya, saking sederhananya sampai-sampai untuk makan esok hari saja Lena harus dibuat kelimpungan karena dia tidak memiliki uang. Jatah belanja dari Latif untuk dua hari ke depan sudah dia habiskan hanya karena ingin memasak menu yang enak demi mencari simpati serta pujian dari sang suami. Namun, nyatanya malah kecewa yang dia dapatkan.
Seratus ribu untuk dua hari adalah jatah yang Latif berikan padanya. Dari uang itu Lena harus bisa mencukupi kebutuhan makan seluruh anggota keluarga di rumah Lilis Karlina. Meski tinggal di perkampungan, jika dihitung-hitung lagi, mana cukup duit segitu untuk membeli semua kebutuhan. Tidak hanya untuk menu makanan sehari-hari tapi juga untuk membeli kebutuhan sabun mandi, sabun cuci, beras dan juga kopi. Lena tidak berani mengeluh selama ini dan selalu berusaha mencukupkan dengan cara menekan biaya makan harian. Tidak heran jika sehari-hari hanya tempe, tahu, ikan asin yang kerap Lena suguhkan karena hanya makanan seperti itulah yang harganya murah dan terjangkau oleh jatah belanjanya.
Lena juga tidak berani protes pada suaminya. Latif hanyalah pedagang pulsa yang keuntungannya tidak seberapa. Untuk bayar listrik dan sekolah sang adik, Latif juga yang harus mencukupinya. Sementara Lilis Karlina, sehari-hari hanya bergosip dengan tetangga saja kerjaannya. Semenjak ada Lena di rumahnya, Lilis sama sekali tidak mau memegang sedikit pun pekerjaan rumah karena Lena lah yang Lilis minta untuk melakukan semuanya.
•••
Pagi ini, Lena mengendap-endap membuka lemari bajunya. Susunan baju miliknya di dalam sana tidaklah banyak sebab setelah menikah, Lena hampir tidak pernah lagi membeli baju baru. Padahal dulu, koleksi baju dan semua aksesoris miliknya bisa satu kamar penuh isinya.
Kepalanya menoleh ke belakang tepat di arah pintu. Harap-harap cemas jangan sampai Latif tiba-tiba muncul. Suaminya itu sedang mandi tadi. Tangan Lena merogoh sela di tumpukan bajunya. Lalu mengambil sebuah dompet kecil yang terselip di sana. Lena memang sengaja menyembunyikan uang di sana hanya untuk berjaga-jaga andai dia ada kesulitan ekonomi atau kurang dana seperti pagi ini.
Lena mengambil selembar uang berwarna biru dari sana yang akan digunakan untuk belanja. Wanita itu menghela napas berat. Simpanan uang yang dia sembunyikan hanya tersisa sedikit. Jika seperti ini, Lena harus mencukupkan berapapun uang yang Latif berikan. Sebenarnya di dalam rekening pribadinya, Lena masih memiliki banyak sekali uang. Namun, tidak bisa ia pergunakan sesuka hatinya. Saat Lena memutuskan meninggalkan kehidupan lamanya, wanita itu tidak membawa dompet ajaib yang berisikan banyak kartu mulai dari kartu debit dan juga kartu kredit. Lena benar-benar memulai kehidupannya dari nol. Hanya beberapa rupiah saja uang tunai yang dia bawa dan sekarang setelah satu tahun usia pernikahannya, bahkan Latif tidak pernah tau jika Lena selalu mencukupi kebutuhan rumah tangga dari uang pribadinya yang makin ke sini makin menipis jumlahnya. Haruskah nanti dia menelpon Larisa agar mengirimkan uang padanya?
Entahlah. Lena tidak tahu. Buru-buru ia simpan kembali dompet tersebut di tempat yang sulit terjangkau. Sebelum Latif memergokinya.
Lena balik badan, bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka. Latif masuk ke dalam kamar disambut senyuman oleh Lena. Lena lekas memasukkan uang yang ada dalam genggaman ke dalam saku dasternya.
"Nggak belanja, Dek?" tanya Latif yang keheranan karena istrinya masih di rumah. Biasanya jika dia bangun maka Lena sudah tidak ada di kamar karena Lena selalu pergi belanja pagi-pagi dan langsung memasak untuk sarapan.
"Ini masih mau berangkat, Mas."
"Tunggu sebentar." Latif menuju meja samping ranjang. Mengambil dompet dan menyodorkan uang merah satu lembar padanya. "Ini untuk kamu belanja?"
Lena ragu-ragu menerimanya. "Tapi, Mas ... harusnya Mas belum waktunya kasih aku uang belanja lagi, kan?"
Iya. Biasanya satu minggu sekali Latif memberikan uang kepadanya. Dan dari jadwal yang seharusnya, baru dua hari lagi suaminya itu memberikan jatahnya.
"Nggak apa. Kebetulan Mas dapat rejeki lebih. Bukankah semalam kamu mengatakan jika uang belanja dua hari ke depan sudah habis buat beli daging?"
Lena mengangguk. "Dan dagingnya malah dihabiskan sama Labib. Mas Latif nggak disisain sedikit pun."
"Sudah nggak papa. Lagian yang makan juga adik kita."
Inilah yang membuat Lena masih bertahan karena suaminya begitu baik padanya. Satu tahun pernikahan Latif selalu menjadi penengah di setiap keributan yang tercipta di rumah ini. Pria itu tidak akan membela siapa-siapa karena yang Lena tahu, Latif pun begitu sayang dengan ibu dan adiknya.
"Ya sudah. Aku pergi belanja dulu ya, Mas. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."