"Apa yang ingin kau tanyakan, Jordan? Apakah itu penting?"
Jordan mengangkat bahu. "Kurasa tidak terlalu penting, Miss. Mungkin aku akan menemui Anda sepulang sekolah nanti."
Miss Graham tersenyum lebar. "Tentu saja," ucapnya dengan mata berbinar menatap Jordan. "Aku bisa meluangkan sedikit waktu untuk pertanyaanmu."
Jordan mengangguk. Senyumnya kembali mengembang. "Terima kasih, Miss."
"Yeah." Miss Graham mengangguk. "Kau bisa duduk kembali," ucapnya sambil menggerakkan tangan meminta Jordan kembali duduk.
Jordan mengangguk, duduk dengan ekor mata melirik ke arah gadis yang duduk di bagian kanannya. Gadis itu juga sedang menatapnya. Jordan memberikan senyum sekilas sebelum mengalihkan tatapannya pada Miss Graham yang mulai mencorat-coret papan tulis di depan sana.
Jeremia cepat memalingkan muka segera setelah Jordan tersenyum padanya. Dia tak ingin Jordan melihat pipinya yang memerah. Jeremia menggigit bibir, mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan kiri. Berusaha meredakan hawa panas yang menguar dari sepasang pipinya.
"Dia sangat tampan."
Jeremia cemberut mendengar pekikan kagum Kimmy yang tertahan. Pasti ditujukan pada Jordan, pikir Jeremia kesal.
"Iya."
Terdengar Brittany Martin menimpali.
"Apa dia sudah memiliki kekasih?"
Sekarang Sharon Miller yang bertanya.
"Entahlah. Tapi kuharap belum."
Kimmy yang menjawab.
"Aku akan menanyakannya saat makan siang nanti."
Jeremia memutar mata jengah mendengar celotehan teman-temannya. Gadis itu menggeram. Menoleh kesal ke belakangnya, pada Kimmy lebih tepatnya.
"Bisakah kalian diam?" geramnya lirih. "Aku sedang mencoba berkonsentrasi di sini."
"Apa kami mengganggumu?"
Jeremia memicing menatap Kimmy yang seolah menantangnya.
"Sangat!" desis Jeremia tajam. "Jadi bisakah kalian diam atau aku akan adukan kalian pada Miss Graham!" ancamnya.
Kimmy menatap gadis yang duduk di depannya ini kesal. Sungguh dia sudah sangat muak dengan tingkah Jeremia yang bossy, selalu memerintahnya dan kedua temannya seenaknya. Mentang-mentang Jeremia anak orang terkaya di kota ini lalu dia berpikir dapat memerintah semua orang? Jangan bercanda! Kimmy tidak akan diam saja, dia pasti akan melawan kalau Jeremia semakin keterlaluan.
Brittany yang melihat gelagat kedua temannya memanas segera menengahi. Jeremia memang terkenal keras, begitu juga dengan Kimmy. Kimmy juga selalu berusaha mengejar Jeremia yang lebih populer daripada Kimmy.
"Teman-teman, jangan bertengkar. Miss Graham melihat kesini."
Jeremia mendengus, mengembalikan pandangan ke depan dengan wajah menekuk. Tak sengaja, saat menoleh tadi ekor matanya melirik ke samping kiri. Jantungnya yang sedari tadi berdetak kencang semakin menggila. Bedanya, kalau tadi jantungnya berdebar karena marah dan yeah cemburu mungkin. Sekarang karena malu, buktinya pipinya terasa kembali memanas. Pandangannya kembali bertemu dengan mata biru itu. Jeremia menarik napas pelan dan mengeluarkannya dari mulut dengan kuat, berharap jantungnya kembali berdetak normal bersama embusan napas itu.
Tak jauh berbeda dari Jeremia, di kursinya Jordan pun melakukan hal yang sama. Sekelas dengan Jeremia sungguh sangat mendebarkan. Jantungnya tak berhenti melakukan lompatan-lompatan yang membuatnya harus menekan d**a kirinya agar tak terlalu terkejut.
"Kau serius akan bertemu dengan Miss Graham sepulang sekolah nanti?"
Pertanyaan lirih Robert membuat Jordan memalingkan sedikit mukanya ke belakang. Robert duduk tepat di belakangnya, untuk melihat pemuda itu Jordan seharusnya berbalik. Hal yang tak mungkin dilakukan, mengingat guru galak mereka sedang menerangkan sebuah sastra lama di depan kelas. Dia tak ingin mendapatkan hukuman. Apalagi di depan gadis berambut dark brown itu.
"Kurasa ya," jawab Jordan tak kalah lirih. "Ada beberapa hal yang harus kutanyakan padanya."
"Tentang?"
"Tentang pelajaran sebelumnya tentu saja." Menjawab pertanyaan Robert, mata Jordan tak lepas dari gadis itu. Jeremia terlihat sangat fokus, tatapannya lurus ke depan. Coba saja Jeremia menoleh ke arahnya, mungkin mereka bisa bertukar senyum lagi. "Aku kan siswa baru, banyak materi pelajaran yang aku belum tahu."
"Memangnya kau tak belajar sastra di sekolahmu yang dulu?"
Come on, Jeremia. Look at me!
"Jordan? Kau mendengar ku kan?" tanya Robert sedikit kesal. Jordan tak menjawab pertanyaannya. Entah apa yang sedang dilihat temannya ini.
"Ye-yeah?" Jordan tergagap. "Kau menanyakan apa tadi?" tanyanya.
Robert berdecak, mengulang pertanyaannya.
"Kau tak belajar sastra di sekolahmu yang dulu?"
Jordan mengangguk, kemudian menggeleng. Bingung.
"Aku hanya ingin menyamakan materi," kilahnya.
Sebenarnya memang tak ada yang perlu ditanyakannya pada Miss Graham. Dia tak pernah bermasalah dengan pelajaran, apa pun itu. Otaknya masih dapat menangkapnya. Dia tadi hanya ingin membantu Jeremia agar gadis itu tidak dihukum.
"Baiklah." Robert menghela napas. "Kalau begitu kita bertemu di lapangan setelah itu?" tanyanya memastikan. Mereka sudah berjanji akan bermain basket sebelum bel masuk berbunyi tadi. "Atau kau mau aku menemanimu ke ruangan Miss Graham?" tawar Robert.
"Terima kasih, bro. Tapi kurasa tidak, aku sendirian saja." Jordan tersenyum. "Dan untuk pertemuan kita, bisa kah kukabari lagi nanti? Kau tahu kan kalau aku harus bekerja?" Jordan meringis. Dia merasa tidak enak harus membatalkan janji.
Robert mengangguk. Tak mungkin dia memaksa Jordan untuk ikut bermain basket bersama sepulang sekolah nanti. Dia paham Jordan harus bekerja.
"Maafkan aku," bisik Jordan.
Robert mengangguk lagi. "Tidak apa-apa. Calm down, dude."
Jordan memberikan jempolnya pada Robert. Kembali menatap papan tulis yang sudah penuh coretan Miss Graham. Sebelumnya Jordan menyempatkan diri melirik tempat duduk Jeremia lagi. Napasnya mengembus kecewa, Jeremia tidak melihatnya. Hanya gadis berambut pirang yang duduk tepat di belakang Jeremia yang menoleh. Gadis itu melambai padanya. Jordan tersenyum kecil sebagai balasan.
Bukannya Jeremia tidak tahu, dia malah sangat tahu kalau sejak tadi Jordan terus mengawasinya. Entah itu perasaannya saja atau apa, dia tak ingin berspekulasi. Dia juga tak ingin besar kepala. Makanya Jeremia mengacuhkannya dan berusaha tetap fokus pada pelajaran yang diterangkan Miss Graham. Dan itu dilakukannya sampai jam pelajaran Miss Graham berakhir. Cepat-cepat Jeremia merapikan alat-alat tulisnya. Dia tak ingin berpapasan dengan Jordan. Dia tak ingin lebih besar kepala lagi daripada sekarang.
"Kau buru-buru sekali," tegur Brittany. "Mau kemana?"
Jeremia menggeleng. Tanpa menjawab Jeremia segera berlari keluar kelas setelah Miss Graham keluar tentu saja.
"Ada apa dengannya?" tanya Sharon menepuk bahu Brittany.
Brittany mengangkat bahu. "Entahlah, aku tidak tahu," jawabnya. "Mungkin dia masih marah karena Kimmy?"
"Hei, kenapa aku?" sentak Kimmy tak terima. "Ah sudahlah!" Kimmy mengibaskan tangan. "Kalian kan memang selalu membelanya."
Setelah berkata seperti itu, Kimmy mengikuti jejak Jeremia keluar kelas. Meninggalkan Brittany dan Sharon yang tak tahu harus berbuat apa dengan kedua teman mereka.
"Hei, tunggu kami!" teriak kedua gadis itu bersamaan. Brittany dan Sharon berlari keluar kelas mengejar teman mereka.
Jordan yang melihat kelakuan gadis-gadis itu menggeleng.
"Mereka memang seperti itu," komentar Tim. Pemuda itu masih memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
"Siapa?" tanya Jordan tak paham. Jordan tak ingin menyimpulkan, takut salah.
"Jeremia dan ketiga temannya."
Jordan masih bertanya dengan gerakan kepala dan matanya. Sebenarnya dia tahu siap yang dimaksud Tim. Hanya saja sekali lagi, Jordan takut salah.
Tim memutar mata. Sedikit kesal dengan Jordan yang lambat dalam menanggapi.
"Gadis-gadis tadi."
"Owh I see." Jordan mengangguk.
"Hanya karena mereka cantik dan anggota cheerleaders, mereka berpikir kalau mereka ratu di sekolah ini. Benar-benar memuakkan." Tim berdecak.
Melalui decakan itu Jordan dapat menyimpulkan kalau Tim adalah tipe pemuda yang tak suka dipusingkan oleh masalah perempuan.
"Tapi mereka memang populer," ucap Jonah sambil melangkah keluar kelas.
"Yeah," Robert mengerang. "Tak sembarang orang yang bisa dekat dengan mereka, kecuali para pemain football yang sedang bertanding dipertandingan antar sekolah itu."
"Aku harap kau tak tertarik dengan salah satu dari mereka." Tim menepuk d**a Jordan. "Gadis-gadis itu sangat berisik, terutama Kimmy."
"Kimmy?" Jordan mengerutkan alis.
"Yeah." Tim menggeliat jijik. "Yang berambut pirang. Dia sangat menyebalkan."
"Aku lebih suka Jeremia," timpal Robert. "Dia gadis yang manis."
"Yeah," Jordan mengangguk semangat. Jeremia memang sangat manis.
"Jeremia benar-benar akan menjadi ratu di sekolah ini kalau saja si b******k Matt tidak mengekangnya," sambung Robert.
"Matt?"
Robert, Tim dan Jonah mengangguk.
"Siapa dia?" tanya Jordan penasaran. Jordan menatap teman-temannya satu persatu.
"Kau akan tahu nanti," jawab Jonah. "Sekarang, ayo kita ke kantin. Cacing-cacing di perutku sudah meminta makan sejak tadi," sambungnya.
Ketiga pemuda yang lain menertawakan lawakan Jonah. Kemudian berjalan beriringan menuju kantin di lantai dasar.
***
Suasana kantin memang selalu seramai sekarang pada jam makan siang. Jeremia duduk di tempat yang biasa di dudukinya dan teman-temannya. Keempat gadis itu sudah kembali bersama setelah tadi sempat ribut di kelas Miss Graham.
"Aku ada informasi tentang Jordan." Sharon memulai percakapan.
"Benarkah?" tanya Kimmy semangat. Dia sangat tertarik dengan pemuda berambut pirang itu. Karena selain sangat tampan, Jordan juga memiliki tubuh yang bagus dan tinggi badan yang ideal. Benar-benar tipenya. Mereka pasti akan menjadi raja dan ratu sekolah kalau bersama. Seperti pasangan Barbie and Ken.
Mengangguk, Sharon menelan sup-nya sebelum melanjutkan.
"Dia masuk klub basket."
"Kenapa tidak football saja?" Brittany mendesah kecewa.
Sharon mengangkat bahu. "Entahlah, aku juga tidak tahu," ucapnya. "Dan ini berita yang paling penting."
Dengan gerakan tangan Sharon meminta teman-temannya lebih mendekat lagi. Dia tak ingin ada yang mendengar berita yang menurutnya sangat penting.
Ketiga temannya, termasuk Jeremia, mencondongkan tubuh mereka ke arahnya. Sharon mulai berbisik.
"Dia bekerja paruh waktu di kedai Mr. James."
"Sungguh?" Kimmy mengerjap. Tak percaya kalau Jordan bekerja di satu-satunya kedai pizza di kota mereka. "Kau tidak bohong kan?"
"Tentu saja tidak!" sergah Sharon cepat. "Aku tahu dari sepupuku yang satu klub dengannya." Sharon membuka ponselnya, menunjukkan chat dari Jack, sepupunya. Dipesan itu memang tertulis kalau Jordan berkerja paruh waktu di kedai pizza terkenal itu.
"Wow aku tidak menyangka!" Brittany menepuk kedua pipinya. "Dia keren!"
Yang lain mengangguk. Begitu pun Jeremia. Jeremia mengagumi Jordan yang sudah bekerja diusianya yang masih sangat muda.
Tengah gadis-gadis itu asyik bergosip, pemuda yang mereka bicarakan lewat di depan mereka. Kimmy segera menutup mulutnya yang memekik.
"Apa-apaan kau?" bentak Jeremia. Gadis itu membelalak gusar.
Kedua gadis yang lain juga memelototi Kimmy yang mereka anggap ceroboh.
Kimmy meringis. "Maafkan aku, teman-teman," ucapnya. "Aku hanya terlalu senang melihatnya."
Sharon memutar mata jengah. "Jangan ulangi lagi!" serunya tajam.
Kimmy tak menjawab. Gadis itu hanya tersenyum sambil matanya tak lepas dari Jordan yang sedang mengambil makan siangnya di meja counter. Bahkan setelah Jordan duduk di meja Gareth, mata emerald Kimmy masih mengikutinya.
Freddy, salah satu teman Gareth, yang duduk di sebelah Jordan menyikut lengan Jordan.
Jordan menoleh, bertanya dengan pandangan matanya.
Freddy tak bersuara, hanya menggerakkan kepalanya ke arah gadis-gadis ratu sekolah mereka duduk.
Jordan yang penasaran mengikuti arah gerakan kepala Freddy. Sedikit terkejut melihat gadis berambut pirang yang baru diketahuinya bernama Kimmy melambai padanya.
"Jangan hiraukan dia." Tim yang juga makan di meja itu bersuara. "Dia hanya menggodamu."
Gareth menaikkan sebelah alisnya mendengar komentar Tim. Gareth sedikit tak terima dengan pendapat Tim tentang Kimmy. Menurut Gareth yang memang sangat ingin mendapatkan salah satu dari gadis-gadis itu sebagai teman kencannya sangat disayangkan kalau Jordan menolak Kimmy.
"Balas saja lambaiannya," ucap Gareth. "Tidak ada salahnya dekat dengan gadis-gadis cantik itu."
Tim mendengus, melemparkan wortel pada Gareth. "Dasar pemuja makhluk berisik!"
"Dari pada kau yang menjauhi mereka." Gareth memakan wortel yang tadi dilemparkan Tim. Wortel adalah sayuran favoritnya. "Aku curiga jangan-jangan kau itu gay," ucap Gareth dengan mimik tak berdosa.
"s**t!" maki Tim marah. "Aku normal, asshole!"
Gareth dan Tim adalah sepupu. Mereka berdua sudah terbiasa bercanda kasar seperti itu. Gareth malah terbahak mendengar Tim memakinya. Gareth melempari Tim dengan kentang goreng miliknya. Setelah kenyang girengnya habis, Gareth mengarahkan tangannya ke piring Freddy untuk mengambil kentang goreng dari piring temannya itu.
Jordan dan yang lain hanya tertawa melihatnya. Gareth yang easy going dan suka bercanda sangat bertentangan dengan Tim yang serius. Tapi mereka tak pernah bertengkar.
Jordan sedikit iri dengan itu. Dia tidak memiliki siapa pun untuk diajak bercanda. Dia tinggal sendirian di flat mungilnya. Dan ngomong-ngomong soal flat, haruskah dia mencari tempat tinggal baru. Karena sepertinya pria itu kembali berhasil menemukannya.
Jordan mendengus, menatap lurus-lurus ke depan. Bertepatan dengan Jeremia yang sedang menatap ke arahnya. Tatapan mereka bertemu lagi. Cepat Jordan tersenyum sebelum Jeremia mengalihkan tatapan.
Jeremia terpana. Benarkah apa yang dilihatnya? Jordan sedang tersenyum padanya. Jeremia mengerjap beberapa kali, segera mengalihkan tatapan setelah sadar. Jeremia merutuk dalam hati, tak seharusnya dia terpesona seperti tadi. Memalukan. Dan apa-apaan ini, pipinya terasa panas sekarang. s**t! Jeremia menggeleng, berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja. Dia tak ingin mempermalukan dirinya seperti di kelas Miss Graham tadi pagi.
Ingat Miss Graham, Jeremia mengerutkan keningnya. Jordan akan bertemu dengan guru galak itu nanti sepulang sekolah, dan itu sangat menyebalkan baginya. Kenapa juga Jordan harus menemui Miss Graham, kenapa tidak...
Jeremia mengerjap, mungkinkah Jordan hanya ingin menolongnya tadi pagi agar dia tidak dihukum Miss Graham? Huh s**t! Mereka harus bicara nanti. Jeremia tidak akan membiarkan Jordan bertemu dengan Miss Graham. Apalagi hanya karena ingin menolongnya. Dia tidak perlu pertolongan siapa pun. Dia bisa menjaga dirinya sendiri.
Baiklah, sudah diputuskan. Jeremia akan berbicara dengan Jordan di kelas nanti, itu pun kalau mereka sekelas. Tak perduli pendapat Kimmy atau teman-temannya yang lain. Dia harus menyelamatkan Jordan dari cengkeraman perempuan galak dan genit seperti guru sastra mereka itu. Jeremia diam-diam melirik Jordan. Pemuda itu sudah tidak berada di mejanya. Jordan sudah tak terlihat, begitu juga dengan teman-temannya. Jeremia mendesah. Dia harus berbicara dengan Jordan sebelum bel masuk berbunyi.