Pria Menyebalkan

1133 Kata
Brian kembali ke kamar saat tengah malam, melihat Aqira yang sudah tidur terbungkus selimut di atas sofa. Pikirannya terbayang ciuman panasnya bersama Aqira beberapa jam lalu. Dia tidak menyangka gadis ini menolaknya, Aqira satu satunya wanita yang pernah menolak seorang Brian. Padahal banyak wanita wanita di luar sana berlomba lomba menarik perhatiannya dan dengan senang hati menyerahkan tubuhnya pada pria itu. Bisa saja Brian memaksa Aqira melakukan hal lebih jauh lagi, tapi gengsi menguasai dirinya, Brian tidak ingin terlihat mendambakan gadis itu. Brian tersenyum menyeringai sambil memperhatikan Aqira yang sudah terlelap. Berani sekali gadis sepertimu menolakku. Lihat saja, aku akan membuatmu tergila gila padaku, tidak ada seorangpun yang bisa menolak pesonaku. Seperti biasa Aqira bangun pagi pagi untuk membuat sarapan, setelah itu mempersiapkan pakaian kerja Brian. Hatinya sudah memutuskan untuk berdamai dengan kelakuan suaminya tempo hari. Berdamai bukan berarti memaafkan, mungkin jika dia bersabar sedikit lagi, Brian bisa mengubah sikapnya itu. Dan bila nanti Aqira sudah tidak tahan lagi, Aqira memutuskan akan pergi menjauh meninggalkan lelaki itu. Setelah memasak sarapan, Aqira menaiki tangga menuju kamar mereka. Aqira masih sangat malu mengingat kejadian tadi malam, merutuki dirinya sendiri, kenapa dengan mudahnya terbawa godaan dari sang suami. Semoga saja Brian belum bangun, Aqira tidak tau harus bagaimana kalau sampai bertemu dengan lelaki itu. Huh untung saja, dia masih mandi, sebaiknya aku cepat. gumam Aqira saat sampai di kamar dan mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Aqira segera masuk ke walk in closet, lalu memilih pakaian yang akan dipakai Brian. Setelah itu, meletakkannya di atas tempat tidur dan bergegas cepat keluar dari kamar. Brian keluar dari kamar mandi dengan sehelai handuk yang melilit pinggangnya. Melihat pakaian kerjanya yang sudah disiapkan di atas tempat tidur membuat Brian bertanya tanya "Apa dia yang melakukannya, dia tidak mengacuhkanku lagi?" lirih Brian. Brian mengambil kemeja yang disiapkan Aqira, Pilihannya tidak terlalu buruk, lalu memakainya. Setelah rapi dengan pakaian kerjanya, Brian turun ke bawah untuk sarapan. Di meja makan tidak ada siapapun, hanya beberapa makanan yang terhidang di meja makan. Kemana gadis itu? gumamnya sambil duduk di kursi lalu menulusuri ruangan itu. "Bi dimana dia?" tanya Brian saat Bi Lusi lewat menuju dapur. "Maksudnya siapa tuan...?" bingung Bi Lusi siapa yang ditanyakan sang majikan. "Gadis itu, dimana dia?" Siapa maksud tuan Brian, apa mungkin Nona Aqira? Tapi kenapa tidak menyebutkan namanya saja? gumam Bi Lusi. "Maksudnya Nona Aqira, Tuan?" "Iya, siapa lagi yang kumaksud? Dimana dia?" geram Brian tidak sabar dengan Bi Lusi. "Maaf tuan, saya tidak tau. Sehabis memasak, Nona langsung naik ke atas dan tidak turun lagi tuan." Bi Lusi segera pergi dari tempat itu setelah Brian mengibaskan tangannya sebagai tanda perintah untuk pergi. "Kemana gadis itu?" lirih Brian. Sebenarnya Brian masih ingin mencari gadis itu, tapi Joe sudah menunggu di depan, karena mereka harus berangkat pagi ini ke luar kota, mungkin tiga hari lagi mereka kembali. Akhirnya Brian memutuskan untuk sarapan sendiri. Sarapan sendiri, sejak kapan Aqira makan satu meja dengannya? Bukankah dia tidak mau makan satu meja dengan Aqira? Entah kenapa Brian ingin melihat Aqira saat ini, ada apa sebenarnya dengan dirinya, Brian tidak mengerti. Sampai Brian menghabiskan sarapannya, Aqira tidak muncul juga. Kemana dia? Brian bertanya tanya. Aku harus menemuinya sebelum pergi. Saat Brian menaiki tangga, tiba tiba Joe memanggilnya, "Tuan, apa masih ada yang ketinggalan? Kita harus segera berangkat Tuan." Brian terlihat bingung, padahal dia masih ingin menemui istri kecilnya, tapi kalau sampai mereka terlambat, bisa mengakibatkan kerugian besar pada perusahaan. Brian menghela nafas kasar, "Ayo kita pergi!" ucapnya mengurungkan niatnya untuk menemui Aqira. Brian masuk ke mobil yang siap melaju meninggalkan rumah itu. Di dalam mobil, Brian merasa seperti ada yang kurang, apa karena belum melihat Aqira pagi ini Brian tidak tau, bayangan wajah gadis itu selalu terlintas di pikirannya. Aqira yang sedari tadi duduk di kursi balkon kamarnya, sambil melihat kepergian sang suami. "Dia memakai baju yang kusiapkan? Kenapa tiba tiba dia mau mengenakannya?" Aqira bertanya tanya, terlihat senyum simpul di bibir gadis itu. Entah kenapa dia begitu senang saat Brian pertama kalinya mau mengenakan pakaian yang dipilihnya. Aqira merasa perjuangannya selama ini akan membuahkan hasil, Aqira sangat menunggu hal itu terjadi. Dari kamar, suara dering ponselnya yang nyaring, menggema sampai ke telingannya membuyarkan lamunan Aqira. Aqira segera masuk ke kamar mengambil ponselnya di atas nakas, tertulis nama Hans di layar ponsel itu. "Halo Kak Hans?" sapa Aqira setelah mengangkat panggilan itu. "Halo Aqira, apa aku mengganggumu di pagi yang indah ini?" sahutnya sambil terkekeh. "Tentu tidak Kak, ada apa menelponku sepagi ini?" "Kau punya acara hari in**i?" "Tidak ada, sepertinya aku hanya di rumah saja hari ini." "Maukah kau menemaniku?" "Kemana?" "Kau akan tau nanti, apa kau bisa?" "Boleh, tapi jangan terlalu sore, aku takut Brian marah kalau aku pulang terlambat." "Kita tidak lama, hanya sebentar saja, kau tidak perlu khawatir untuk itu." "Baiklah, kalau begitu." "Aku akan menjemputmu, sampai jumpa nanti siang." "Iya, sampai jumpa Kak Hans." lalu mematikan panggilannya. Hari menjelang siang, Aqira sudah siap untuk menemani Hans siang ini. Melihat penampilan Aqira, pasti tidak ada yang menyangka kalau gadis itu sudah menikah. Aqira mengenakan celana hitam panjang berpadu dengan sweater dan sepatu kets putih, membuat Aqira tampil sesuai usianya yang masih remaja. Setelah menempuh tiga puluh menit perjalanan, Hans dan Aqira sampai di sebuah Mall di kota itu. "Kita akan menonton?" tanya Aqira sambil melihat keramaian di sekitarnya. "Iya, apa kau keberatan menemaniku menonton? Sudah lama aku tidak menonton karena tidak ada yang menemani, bukankah aneh kalau aku menonton sendiri?" "Tidak, aku tidak keberatan. Aku sangat senang, aku juga sudah lama tidak menonton, terakhir kali saat orangtuaku masih hidup." Aqira tersenyum ceria. Melihat senyum manis Aqira membuat Brian tersenyum simpul, "Baguslah kalau kau suka, jadi kau juga bisa mengenang masa masa saat bersama ayah dan ibumu dulu." "Kakak benar, aku jadi bisa mengingat kenangan orangtuaku lagi. Terima kasih Kak Hans, sudah membawaku ke sini." ucap Aqira sambil membawa lengan Hans dalam genggamannya, layaknya anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. Perasaan Hans tiba tiba menghangat, saat Aqira menyentuhnya, jantungnya berdebar kencang kala gadis itu tersenyum begitu manis. "It's ok, kalau kau senang, aku juga senang. Kita akan sering ke sini lain waktu." "Kau tunggu di sini." Hans membawa Aqira ke subuah kursi kosong. "Aku akan membeli tiket untuk kita." "Baik, jangan lama lama Kak." ucapnya sambil duduk di kursi. •••• Praakk... Suara kertas yang dilemparkan Brian di atas meja kerjanya. Brian mengetatkan rahangnya setelah melihat foto sang istri yang tengah memegang tangan pria lain, disertai dengan video yang membuat emosinya memuncak. "Beraninya gadis itu pergi dengan pria lain, lihat saja nanti, aku akan memberimu pelajaran!" geram Brian dengan matanya yang merah menahan emosi. Entah kenapa Brian bisa semarah itu melihat Aqira dekat dengan pria lain. Apakah karena tidak suka miliknya disentuh siapapun atau karena telah menaruh perasaan terhadap gadis itu, Brian tidak tau. Yang penting dia sangat tidak rela.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN