Dua hari sebelumnya.
"Nad, sampai kapan lo bakalan begini?" tanya Livy, teman baik Nadine sejak masa sekolah mereka di sebuah culinary school ternama di kota London.
"Liv, jangan sekarang ya."
"Lo ngomong gitu mulu."
"Dia bakalan balik sama gue.”
"Sumpah lo? Lo masih segitu yakinnya? Ini udah dua tahun, Nad! Ga ada perubahan apa-apa! Dia janji cuma perlu waktu setahun, setelah itu apapun yang terjadi dia bakal balik sama lo. Tapi lihat kenyataannya!" ujar Livy lagi, lembut.
Nadine terdiam.
"Gue sedih lihat lo, Nad. Tapi gue rasa lo harus lepasin dia."
"Gue takut, Liv. Gue ga bisa bayangin hidup gue tanpa dia. Gue tau dia cinta sama gue.”
"Iya gue tau, tapi lo juga harus ingat, dia ninggalin lo, dia ingkarin janji dia, dia nyakitin lo.”
Nadine lagi-lagi terdiam. Ia yang paling tahu, tak ada yang salah dari praduga dan nasehat sahabatnya itu.
"Nad, pikirin lagi ya?”
"Hmm..."
Setelah percakapan yang sebenarnya melelahkan hati, Nadine melajukan sedan Livy yang ia pinjam. Sendiri, menuju ke sebuah desa kecil di pinggir kota London. Setelah menempuh jarak sekitar 30 miles dari Piccadilly, Nadine sampai di Shere – Surrey.
Nadine menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang dihias dengan aneka bunga yang tumbuh cantik di pekarangannya. Ia menatap nanar seorang pria berumur 33 tahun berkebangsaan Inggris yang sedang melakukan kegiatan pertukangan, entah baru membuat sebuah kursi kayu atau memperbaikinya. Pria itu berkulit putih khas kaukasia, berwajah oval dengan rambut ikal berwarna coklat yang diikatnya di belakang kepalanya, rahangnya dihiasi rambut-rambut halus, dan jika berhadapan langsung maka mata hijau emerald-nya pasti membuat siapapun yang menatapnya jatuh hati.
"Nathan..." lirih Nadine. Pilu. Betapa ia merindukan pria itu.
Baru saja Nadine menyeka air matanya, seorang perempuan berkursi roda mendekati Nathan. Di atas pangkuannya Nadine bisa melihat beberapa kuntum myrtle, mawar, dan baby breath. Perempuan itu sepertinya memanggil Nathan, terlihat dari Nathan yang memalingkan wajahnya, menatap perempuan itu – tersenyum. Sakit... Hati Nadine terlalu sakit melihat live streaming kemesraan mereka berdua.
Tak kuat berlama-lama menatap pasangan itu, Nadine melajukan mobilnya kembali, menuju sebuah coffee shop. Sepertinya ia perlu menenangkan diri terlebih dulu sebelum melanjutkan perjalanannya kembali ke kota London.
Secangkir choco latte hangat akhirnya tersaji di hadapannya. Nadine baru tiga kali menyesap cairan yang menenangkan itu ketika notifikasi ponselnya berbunyi.
Nathan: Hey sayang... Gimana kabar kamu? Sudah di London?
Nadine: Hai... Aku baik-baik saja. Iya, aku sudah di London.
Nathan: Kok ga bilang aku?
Nadine: Kenapa??? Kangen?
Nathan: Banget, Nad. Aku udah pesan kamar hotel untuk kita. Ga sabar nunggu lusa.
Nadine: Nat... I'm tired.
Nathan: Ternyata aku ga salah lihat ya?
Nathan: Kamu tadi ke sini kan?
Nathan: Aku lihat mobilnya Livy pergi. Itu kamu kan?
Nathan: Nad, apapun yang kamu lihat tadi, aku minta maaf.
Nathan: Aku ga punya pilihan lain.
Nathan: Aku udah bilang kan, jangan ke sini. Aku ga mau bikin kamu sedih.
Nathan: Nad, sabar ya. Aku cinta kamu.
Nadine: Itu dia masalahnya, Nat.
Nadine: Karena aku cinta kamu, rasanya sakit setiap kali melihat kamu bersama dia, apapun alasannya.
Nadine: Aku yang ditinggal, Nat.
Nadine: Kamu bahkan ga bisa nelpon aku. Apalagi untuk datangin aku, mustahil.
Nadine: Setiap kali kita mau ketemu, kita harus ngerencanain dari jauh-jauh hari.
Nadine: Gila!
Nadine: Dia yang ngambil kamu dari aku, tapi seolah aku yang mengganggu hubungan kalian.
Nathan: Sayang, kita ngomongin ini besok saat kita ketemu, oke?
Nathan: Aku cinta kamu, Nad. Aku benar-benar mencintai kamu.
Nathan: Tolong, percayalah sama aku.
Nadine: Ok. Let's talk later.
Nathan: Ok. Nad, I love you.
Nadine: Hmm... Good night, Nat.
Nathan: Nad... Ayolah...
Nadine: Aku cinta kamu, Nat. Aku cinta kamu. Aku sangat mencintai kamu sampai-sampai aku pengen teriak ngucapin itu!
Nathan: I love you, too. Very much. Sangat. Hati-hati, sayang.
***
"Nadine?"
"Nad?"
Ditya mendengus, sudah beberapa kali ia memanggil gadis itu tetapi Nadine tetap saja sibuk dengan lamunannya. Usai menutup panggilannya dengan Sandra sang kakak, Nadine terus terdiam. Sesekali air matanya masih menetes, sendu.
Ditya beranjak dari kursi kerja Wisnu, mendekati Nadine yang duduk di sofa di belakangnya, menepuk lembut bahunya, menyadarkan gadis cantik itu dari apapun yang menggerogoti pikirannya saat itu.
"Ponsel kamu dari tadi bunyi, Nad." Ujar Ditya lembut saat kedua pasang netra mereka bersirobok.
"Oh."
Nadine membuka hand bag–nya, mengambil benda pipih itu dari dalam tasnya.
"Nadine angkat telpon dulu ya, Ditya?"
"Oh iya, silahkan."
Nadine beranjak dari sofa, berjalan keluar ruang kerja Wisnu diiringi tatapan penuh tanda tanya dari Ditya.
'Takut banget gue nguping?'
Ditya kembali ke hadapan laptopnya, berkonsentrasi mencari setitik bukti, memanfaatkan hasil dari perilaku ilegal yang ia lakukan kala menjenguk Viona terakhir kali. Setidaknya jika bukti itu benar ada, ia bisa sedikit saja menebus rasa bersalahnya pada Andien/Kei, Dirga, bahkan Viona.
"Ditya, Nadine balik dulu ya." Ucap Nadine begitu ia masuk kembali ke dalam ruangan.
"Balik ke mana?"
"Ke tempat teman."
"Ok. Yuk, aku antar."
"Ga usah, Ditya."
"Nad, kondisi kamu ga sedang baik-baik aja. Kita sama-sama dalam kondisi shock. Aku ga mungkin biarin kamu balik sendiri."
Nadine tersenyum. Entah kenapa selama sesaat, lagi-lagi Ditya terpana dengan senyuman yang begitu indah itu.
"Ada yang jemput Nadine kok Ditya." Lirih Nadine akhirnya.
"Oh."
Kecewa? Mungkin. Tetapi bagi Ditya masih terlalu dini menyimpulkan jika Ditya mulai jatuh hati pada perempuan cantik di hadapannya.
"Ya udah, Nadine balik ya..."
"Ok. Hati-hati ya, Nad."
"Emm..."
Kedua netra Ditya terpaku pada punggung Nadine yang semakin terlihat menjauh. Ada rasa tak tenang kala melepaskan perempuan itu. Ditya menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir perasaan tak nyaman yang tiba-tiba saja menghampirinya tadi. Hingga tak sengaja pandangannya jatuh pada bayangan benda yang teronggok di bawah coffee table tepat di depan sofa berwarna cream yang tadi diduduki Nadine. Ditya melangkah mendekat, mengambil sebuah buku bersampul crackling roses. Sejenak ia mengagumi sampul buku itu. Siapapun yang membuat sampulnya, pasti memiliki jemari dan imajinasi yang luar biasa. Sampul buku itu terbuat dari mahkota-mahkota mawar kering yang disatukan hingga meyerupai kertas dengan crackle pattern, lalu diberi pulasan gradasi warna pelangi dan glitter yang menyerupai aurora.
'Cantik!'
Ditya membuka lembar pertama buku itu, membaca tulisan tangan yang tertera di sana.
NAD’S COOKING NOTES
Whoever dares to steal this book I will curse you for the rest of your life.
Ditya terkekeh membacanya.
'Ga cocok banget ngancem-ngancem begini, Nad.'
Ia lalu membuka lembar demi lembar buku itu, terkagum-kagum dengan coretan tangan Nadine. Ilustrasi-ilustrasi gambar yang dibuatnya begitu indah, jelas sekali perempuan cantik itu tak hanya sekedar seorang pastry chef, tetapi juga seorang seniman. Ditya menutup buku itu, beranjak dari tempatnya terpaku sedari tadi, melangkah terburu seraya berlari kecil, mengejar Nadine yang bahkan tak sadar oretan berharganya tertinggal.
"Kemana, boy?" tanya Wisnu yang keheranan melihat Ditya tergesa.
"Cooking notes Nadine ketinggalan, Dad." Jawab Ditya tanpa menghentikan langkahnya.
"Oh! KEJAR DIA, SEHARUSNYA DIA BELUM JAUH, BUKU ITU NYAWA SEORANG CHEF!" pekik Wisnu mengiringi punggung puteranya yang kian menjauhinya.
Ditya terus berlari menuju ke jalan utama, memicingkan netranya berkali-kali mencari sosok Nadine yang mulai sulit dikenali karena hari telah berganti kelam. Hingga beberapa meter di hadapannya, perempuan yang dicarinya terlihat bersiap untuk memasuki sebuah MPV.
"NADINE!" pekik Ditya sambil terus berlari.
"NADINE!" ulangnya lagi.
Nadine menoleh.
"Ditya?" lirihnya.
Ditya menghentikan langkahnya begitu sampai di hadapan Nadine. Membungkukkan tubuh, menumpukan kedua tangan di atas lututnya. Terengah-engah.
"Ditya?"
Ditya menegakkan tubuhnya, berdiri tegak. Belum sempat menjawab, ia tertegun menatap seorang pria yang berjalan mendekati mereka berdua, berdiri tepat di samping Nadine.
"Dit?" tegur Nadine lagi.
"Oh!"
Ditya merogoh saku apron yang belum dilepasnya sedari tadi, mengeluarkan buku seukuran telapak tangannya dari dalam saku tersebut. Menyerahkannya pada Nadine.
"Kok bisa sama Ditya?"
"Jatuh di ruangan Daddy. Kamu ga sadar mungkin."
"Oh. Thank you, Ditya. Ini berharga banget buat Nadine."
"Aku tau. Tadinya ga pengen aku balikin lho." Ujar Ditya jahil.
Nadine mendengus, tertawa kecil.
"Ehem!"
Ditya menolehkan wajahnya, menatap pria yang menginterupsi interaksinya dengan Nadine.
"Oh Ditya, kenalin. He's Nathan. Nathan, he's Ditya." Ujar Nadine, berusaha memperkenalkan keduanya pada satu sama lain.
"Nathan." Ujar pria itu seraya mengulurkan tangannya.
Ditya menyambut uluran tangan pria itu, netranya masih menatap tajam pada Nathan.
"Boyfriend?" tanya Ditya pada Nadine tanpa melepaskan genggamannya di tangan Nathan.
Nadine terdiam.
"Mmm... I'm her friend." Ujar pria itu.
Ditya bisa melihat raut pilu yang muncul begitu saja di wajah Nadine tepat saat Nathan mengatakan mereka hanya sekedar teman. Ditya melepaskan genggamannya. Sadar, situasi di hadapannya pasti sesuai dengan skenario yang sedari tadi tayang di pikirannya.
"Ini teman yang tadi kamu ceritain, Nad?" tanya Ditya. Curiga.
"Oh bukan. Kami ada urusan." Jawab Nadine, berusaha bersikap normal.
"Ok."
"Kami pergi ya Ditya."
"Hmm..."
Ditya mengalihkan pandangannya lagi pada Nathan. Nathan mengangguk.
"Sampaikan salamku untuk Rossie. Tolong katakan padanya aku benar-benar mengharapkan kesembuhannya." Ujar Ditya dengan penekanan di setiap katanya.
Benar saja, baik Nathan ataupun Nadine menatapnya dengan sorot mata yang sedari tadi tak Ditya harapkan. Ketakutan? Bingung? Tertangkap basah?
Ditya berusaha menahan senyum sinisnya. Berusaha mengendalikan diri dari mencaci maki Nathan, berusaha agar tak menarik Nadine dan membawanya menjauh. Ditya sadar ia belum tau cerita dibalik keberadaan kedua insan di hadapannya yang terlihat jelas berusaha menutupi hubungan mereka.
'Mereka selingkuh?'
"Ditya..." Nadine mulai panik.
"Tenang, Nad. Seperti yang aku bilang tadi, aku ahlinya complicated relationships." Ujar Ditya.
Nadine terdiam, Nathan membeku dengan wajah pias, sementara Ditya berbalik, melangkah menjauhi keduanya.
's**t! Is the universe joking with me again?'
***
'Bel pintu rumah itu berbunyi nyaring. Satu kali.'
'Berbunyi kembali. Kedua kali.'
Ditya menutup kedua netranya yang terasa memanas karena entah sudah berapa lama ia memandangi layar macbook di hadapannya.
"Ya, wait for a minute," pekiknya dari dalam kamar. Padahal Ditya tahu kalau suaranya itu tak akan mungkin sampai di telinga sang tamu.
Ditya berdiri, meregangkan tubuhnya, lalu melangkah keluar kamar, menuju pintu utama rumah. Ia menatap layar LCD di balik pintu, memastikan gerangan tamu yang mengunjungi kediamannya sore itu.
"Ditya..." sapa Nadine seraya tersenyum begitu Ditya membukakan pintu untuknya.
"Eh, Nad. Masuk yuk," pinta Ditya.
"Lagi sibuk ya? Om bilang daritadi Ditya di rumah aja, ga ke café."
Nadine melangkahkan kakinya masuk ke kediaman Baskara, mengikuti langkah Ditya.
"Lagi ada kerjaan, Nad. Duduk dulu. Mau kopi, coklat atau teh?"
"Kopi deh."
"Latte atau americano?"
"Latte."
"Hot or ice?"
Nadine terkekeh.
"Hot."
"Ok. Tunggu ya."
Ditya melangkah ke dapur, sementara Nadine menyapukan pandangannya ke setiap sisi dan sudut living room rumah itu. Ya, Ditya tak mempersilahkannya duduk di ruang tamu, tetapi justru membawa Nadine ke ruang keluarga.
Nadine meraih sketch book yang tergeletak di atas side table. Jemarinya membuka lembar demi lembar halaman di dalamnya. Tersenyum melihat betapa indahnya goresan-goresan pinsil yang ditorehkan oleh sang pelukis, dari sketsa pemandangan, siluet, hingga tokoh-tokoh kartun nan menggemaskan.
"Lapar ga Nad?" tanya Ditya yang kembali ke ruangan itu seraya membawa dua cangkir coffee latte.
"Ngga kok."
"Nanti kalau lapar bilang ya?" ujar Ditya seraya meletakkan salah satu cangkir di hadapan Nadine, lalu mendudukkan bokongnya tepat di samping tamunya itu.
"Iya," jawab Nadine singkat.
"Ini sketch book Ditya? Ga nyangka ih, keren!" ujar Nadine lagi.
Ditya terkekeh.
"Masih kerenan kamu lah, Nad."
"Nggalah. Apalagi ini, Nadine ngikik bacanya dari tadi. Mana figure-nya cute banget." Nadine menunjuk salah satu halaman yang penuh dengan figure kartun dan callout yang jenaka.
"Oh, itu aku iseng gambar, callout-nya kerjaan Widi," ujar Ditya santai.
Nadine menutup sketch book di pangkuannya, meraih mug yang berisi kopi s**u hangat, menyesapnya beberapa kali.
"Kerjaan Ditya udah selesai?"
"Tinggal finishing sih. Ada orderan bikin beberapa design untuk keperluan marketing café temanku. Besok udah harus diserahin."
"I see... Nadine ganggu dong ya?"
"Santai aja, Nad. Kamu ga jadi balik ke Vienna?"
"Belum. Dalam waktu dekat ini sih."
Ditya menyesap kopi susunya sekali, lalu meletakkan mug itu di atas meja. Ia meraih remote control di side table di sampingnya, memutar playlist lagu-lagu favoritnya, setelahnya ia berdiri – membuka curtain di belakang sofa yang mereka duduki.
"Wow..." lirih Nadine menatap taman mungil nan indah yang ada di balik kaca yang tadi ditutupi vitrage berwarna biru tua.
"Tamannya Mommy," ucap Ditya seraya duduk kembali di samping Nadine.
"Tapi masih terawat."
"Iyalah... Cuma ini yang mengingatkan kami tentang Mommy. Selain café."
Nadine terdiam, menatap lekat pria di sampingnya.
"Kalau pas gerimis hujan atau salju bagus banget lho, Nad," ujar Ditya lagi.
"Iyalah pasti. Tamannya aja cantik banget begitu."
Ditya tersenyum hangat.
"Ditya..."
"Hmm..."
"Soal malam itu..."
Ditya mengalihkan tatapannya dari menatap dua ekor kupu-kupu yang mengitari taman mawar di balik kaca, kini menatap Nadine lekat.
"Nadine... Nadine bingung gimana jelasinnya."
Ditya mengangguk.
"Kamu bisa cerita dari situ. Kalau kamu mau."
"Dari mana?"
"Dari kenapa kamu bingung."
Nadine mendengus lemah. Bimbang.
"Pasti Ditya udah berfikir jelek tentang Nadine."
"Kenapa kamu berfikir begitu?"
"Karena Ditya kenal Rossie."
Ditya diam. Belum berani menanggapi.
"Dan malam itu Nadine sama Nathan."
"Lalu?"
"Ditya kenal Rossie dimana?"
"Dulu aku ngajar lukis di Islington. Ketemu Rossie di sana."
"Oh. Tapi Nathan ga ngenalin Ditya?"
"Emang ga pernah kenalan."
"I see."
Kini Ditya yang mendengus.
"Jadi?" tanya Ditya lagi.
"Ditya udah lihat cooking notes Nadine kan?"
Ditya mengangguk.
"Nadine juga nerbitin beberapa buku resep. Penerbitnya penerbit kecil sih, jadi karya Nadine hanya ada di book store tertentu aja. Dan bukan book store besar gitu."
"Wow! Kayaknya aku harus berburu buku kamu nih."
Nadine terkekeh mendengar komentar Ditya.
"Buku pertama terbit lima tahun lalu. Waktu itu Nadine lagi lihat-lihat aja di store, ngecek apa buku Nadine laku dan posisi dipajangnya. Di situ pertama kali Nadine ketemu Nathan. Nathan mau beli buku Nadine. Katanya buku yang dia beli rusak, makanya mau beli lagi. Dan waktu itu buku Nadine di toko itu sold out. Karena kebetulan Nadine bawa, Nadine tawarin ke Nathan."
Ditya terdiam, menyimak setiap kata yang Nadine lontarkan.
"Dari situ kami jadi dekat. Dan akhirnya pacaran."
Kopi di genggamannya Ditya teguk kembali.
"Sebelum jadian, Nathan bilang sebelumnya dia pernah pacaran, bahkan tinggal bareng sama mantannya. Entah apa salah Nathan, cewenya pergi ninggalin Nathan begitu aja. Padahal mereka pacaran udah dari high school.
"Dua setengah tahun pacaran, Nadine bahagia banget, begitupun Nathan. Sekitar setahunan pacaran, kami liburan ke Vienna, kami jatuh cinta sama kota itu, dan mutusin untuk tinggal bareng. Ga lama dari liburan itu, kami sewa tempat untuk café di lantai bawah dan tempat tinggal di lantai atas, pindah ke Vienna.
"Baru setahun kami di sana, tiba-tiba Rossie datang. Bicara dengan Nathan."
Suara Nadine terdengar bergetar di telinga Ditya.
Gadis itu terlihat berusaha meredakan emosinya, walaupun terlihat gagal karena air mata mulai mengalir dari kedua netranya.
"Katanya dia sakit, makanya pergi karena ga mau menyusahkan Nathan. Ternyata pengobatannya selama nyaris empat tahun gagal, ga membuatnya menjadi lebih baik. Yang ada dia kesepian."
Nadine menyeka air matanya.
"Dia minta ditemani sama Nathan. Kata dokter umur dia ga lama lagi, enam bulan aja udah bagus katanya waktu itu."
Ditya merangkul bahu Nadine lembut, menepuk-nepuk lengannya perlahan.
"Tapi ini sudah dua tahun, Ditya," isaknya lagi.
Ditya mengeratkan rangkulannya, membawa Nadine ke pelukannya, membiarkan gadis itu menangis sepuasnya di bahunya. Ditya tak bertanya apapun, tak pula mengomentari apapun, hanya diam menunggu Nadine menyelesaikan tangis.
"Feeling better?" tanya Ditya begitu Nadine mengangkat kepalanya dari bahu Ditya.
Nadine mengangguk pelan.
"Masih ada yang mau kamu ceritain ke aku?" tanya Ditya lagi.
"Waktu datang ke nikahan kak Andien dan bang Dirga, kak Sandra cerita ke Nadine. Katanya, berkali-kali Viona deketin bang Dirga, bahkan memakai alasan sakitnya supaya bang Dirga kembali sama dia. Tapi hebatnya, bang Dirga ga gentar sama sekali. Selangkahpun dia ga pernah mendatangi Viona, ga pernah sekalipun mengiyakan permintaan mantannya itu."
Ditya lagi-lagi terdiam. Relung emosinya kembali diserang perasaan bersalah.
"Nadine iri. Harusnya dulu Nathan begitu. Harusnya, Nathan ga mengabulkan permintaan Rossie. Harusnya Nathan mikirin perasaan Nadine. Mungkin cintanya Nathan ke Nadine ga sebesar cintanya bang Dirga ke kak Andien," lirih Nadine.
Ditya tak mampu menanggapi, ia tahu benar apa yang Nadine duga kemungkinan besar benar adanya. Tetapi meminta Nadine untuk berhenti mengharapkan Nathan sepertinya belum tentu pilihan yang benar.
"Ditya?"
"Hmm..."
"Kenapa Ditya ga ninggalin Viona walaupun berkali-kali Viona menyakiti Ditya?"
"Sekarang aku ninggalin dia, Nad."
"Ditya udah ga cinta sama Viona?"
"Kalau aku bilang udah ga cinta, aku bohong. Begitu tau dia mencoba membunuh Dirga dan Kei, percayalah... rasanya aku ingin langsung terbang ke Jakarta."
"Lalu?"
"Aku sadar Nad, seperti apapun aku berusaha, Viona ga akan berubah. Bahkan kalaupun aku mati mungkin dia ga akan pernah menangisiku."
"Ditya pasti pengen bilang supaya Nadine ninggalin Nathan kan?"
Ditya masih diam, merangkai kalimat yang mungkin bisa diterima Nadine. Sementara Nadine terus saja menatap lekat pada Ditya.
"Aku ga bisa ngasih saran apapun, karena aku baru tau dari sisi kamu," ucap Ditya akhirnya.
"Ditya pikir Nadine playing victim?"
"Bukan gitu, Nad."
Nadine memalingkan wajahnya, kesal, enggan menatap Ditya lagi.
"Aku pernah tinggal bersama Vio. Bahkan dia pernah mengandung anakku walaupun dia gugurkan tanpa bicara padaku,” lirih Ditya.
Nadine kembali menatap Ditya, terkejut dengan fakta yang baru saja didengarnya.
"Itu juga jadi alasanku tidak meninggalkannya selama sebelas tahun. It's never easy for me. Aku tau dia yang berbuat salah, tapi rasanya akulah penyebab dia melakukan kesalahan itu. Walaupun aku punya banyak alasan untuk membencinya, entah kenapa tetap saja aku menerimanya ketika dia kembali."
"Maksud Ditya... Itu alasan Nathan mengiyakan permintaan Rossie?" lirih Nadine, suaranya tercekat, nyaris tak terdengar, hanya seperti gumaman pelan.
"Aku ga tau, Nad. Tapi ketika kita mencintai seseorang, ada satu titik dimana ketika orang yang kita cintai berbuat salah atau sakit, daripada menyalahkannya, kita malah menyalahkan diri sendiri yang tidak becus menjadi kekasihnya."
Nadine terdiam. Pikirannya penuh dengan asumsi yang Ditya kemukakan.
'Apa sedalam itu cinta Nathan ke Rossie?'
'Apa Nathan menyalahkan dirinya karena ga pernah tau jika Rossie sakit sampai Rossie datang memberi tau?'
'Apa Nathan masih menginginkan Rossie tapi takut melakukan kesalahan karena melepas Nadine?'
"Nadine?"
"Hmm..."
"Talk to him."
Nadine menggeleng. Ia terlalu takut jika Nathan memilih Rossie. Ia terlalu takut jika benar-benar kehilangan Nathan. Yang ia inginkan Nathan menepati janjinya, kembali padanya, bukan justru meninggalkannya.
"Talk to him, Nadine. Sebelum kamu lebih sakit lagi."
"Gimana kalau dia memilih Rossie?"
"Then let him go..."
Nadine kembali menangis pilu.
"Ini akan sangat sulit untuk kamu Nad, tapi maaf, kupikir itu yang terbaik yang harus kamu lakukan. "
"You'll find your way back if you're meant to be together," tutup Ditya.
***
Esok harinya, menjelang tengah hari, Ditya melajukan MPV-nya menuju Shere, membawa final design yang akan diserahkannya pada customer sekaligus teman baiknya semasa kuliah dulu.
"Dityaaa... My brother!" seru Andrew begitu Ditya memasuki café bernuansa vintage dengan berbagai perabotan rustic yang terbuat dari kayu. Semua sisi ruangan itu dibatasi oleh dinding batu bata, sementara meja dan kursi rustic yang diberi warna warni alam ditata di tengah-tengah ruangan, dan beberapa meja yang menempel di dinding dipasangkan dengan drum-drum bekas yang sudah dicat ulang dan diberi alas duduk sebagai kursinya. Jangan lupakan beberapa lukisan dan quotes-quotes menyentuh hati yang terpasang di setiap dinding café itu. Ditya langsung merasakan suasana yang begitu homey begitu ia melangkahkan kakinya lebih jauh ke dalam café.
Ditya memeluk Andrew hangat. Tersenyum melihat wajah bahagia sahabatnya itu.
"Udah lama banget ga ketemu, lo kelihatan lebih bahagia!”
"Iyalah! Makanya lo nikah juga!”
"Santai, baru juga 35 tahun." Ujar Ditya datar.
"Dan di umur 35 tahun, gue udah punya dua orang puteri. Bloon lo!"
Ditya tertawa renyah mendengar omelan Andrew.
"So, lo ngelepas Vio? Are you okay?" tanya Andrew. Nada prihatin terdengar jelas di telinga Ditya.
"Gue pikir gue ke sini buat ngasih lo kerjaan gue."
"Jawab aja! Ga usah nyoba-nyoba ngalihin pembicaraan.”
Ditya terkekeh lagi.
"Hmm... I'm trying to move on."
"You look better. Wajah suram lo mulai ilang, bro!”
"Ga tau lah, bro. Gue belum yakin kalau gue bakalan baik-baik aja.” lirih Ditya.
"Iya sih, kata orang, cowok butuh waktu lebih lama untuk nyadarin sakitnya kehilangan. Gue berharap yang terbaik buat lo. Mudah-mudahan lo segera nemuin cewek yang tulus cinta sama lo dan bisa bikin lo jatuh cinta lagi.’
"Lo kayak konsultan pernikahan!” canda Ditya.
Kali ini Andrew yang tertawa renyah.
Selepas makan siang, bercengkrama dan menyerahkan design yang dibuatnya pada Andrew, Ditya pamit meninggalkan café. Ia melajukan kendaraannya pelan, menikmati suasana yang begitu menenangkan di kanan dan kiri jalan desa kecil itu. Rumah-rumah yang dibangun tampak begitu tradisional, dinding-dindingnya masih di d******i kayu atau batu bata tanpa sentuhan finishing yang mulus. Tak tampak hunian dengan model modern design seperti yang selalu tertangkap netra jika melihat pemukiman-pemukiman di tengah kota besar. Halaman-halaman rumah pun terlihat asri, terisi tanaman-tanaman dengan hasil pangan atau bunga-bunga cantik. Di beberapa rumah bahkan dihiasi tanaman-tanaman yang menjalar dari tanah, ke dinding, hingga ke atap. Uniknya, justru rumah-rumah yang terkesan old fashion itu justru begitu menyatu dengan alam, membuat atmosfer menenangkan yang menjadikan alasan untuk berlama-lama menikmati suasana.
Ditya masih menyapukan pandangannya ke kanan kiri jalan, hingga kedua netranya menangkap sosok yang lama tak ia jumpai. Ditya menghentikan MPV-nya, memarkir kendaraan itu di depan rumah perempuan yang terlihat sedang menata beberapa vas dengan rangkaian bunga-bunga yang tertanam di halaman rumahnya.
"Rossie?"