London, sepuluh tahun yang lalu.
“Kamu yakin ga perlu aku antar masuk?” tanya Ditya pada Viona.
“Ga apa-apa. Kamu pulang aja.”
“Vi...”
“Aku ga apa-apa Ditya. Lagipula Ayah belum pulang.”
“Kita hadapi sama-sama ya Vi. Tunggu aku. Aku akan bicara dengan Mommy dan Daddy.”
“Iya.”
“Masuklah sayang.”
“Ditya hati-hati ya?”
“Hmmm! I love you, Vi.”
“I know. And I love you too.”
Ditya melangkah tegap, menjauh dari kediaman Viona petang hari itu. Hatinya terselimuti berbagai emosi. Ada bahagia, ada tak menyangka, bahkan rasa sedih dan gelisahpun menyapa bersamaan.
Di atas sana, kelabu mulai menyatu, bukan sang jingga yang entah sedang bersembunyi di mana. Ditya mempercepat langkahnya, berlari kecil hingga tiba di sebuah halte bus guna menunggu Double Decker yang akan membawanya ke wilayah tempat tinggalnya. Ia membuka resleting ranselnya, merogoh ke dalam, mencari dompet lipat andalannya agar nanti tak kesulitan menggunakan Oyster Card-nya.
Ia menarik tangan kanannya, sementara kedua matanya lekat menatap benda yang ia genggam. Bukan dompet yang dicarinya, melainkan sepaket multivitamin yang tadi Dokter berikan untuk Viona. Ditya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menimbang-nimbang, haruskah ia kembali ke kediaman Viona?
Begitu bus merah khas kota London berhenti di hadapannya, Ditya melangkah ragu.
‘Ada obat yang harus Viona minum.’
“Apakah Anda mau naik?” tanya sang supir, membuyarkan lamunan Ditya.
“Maafkan saya Pak, ada yang tertinggal,” ujar Ditya sopan. Ia berbalik, kembali berlari kecil menuju kediaman Viona diiringi rintikan hujan yang sudah mulai membasahi kota London.
Ditya meremas-remas ujung baju dan celananya, berusaha menyingkirkan kekuyupannya sebisa mungkin agar tak membasahi lantai rumah yang kembali ia datangi. Baru saja Ditya hendak mengetuk pintu rumah itu, suara perdebatan yang terdengar sayup karena bertumbuk dengan suara hujan menyapa pendengarannya.
“Ayah ga akan suka lo pacaran sama Ditya, Vi!”
“Terus kenapa? Apa urusannya sama lo?”
“Lo tau Ayah kan! Bukan cuma lo yang akan dilarang! Kalau lo masih aja sama dia, dia juga akan disiksa Ayah.”
“Bukan urusan lo!”
“Vi, gue ga mau lo bermasalah sama Ayah!”
“Lo kenapa sih? Kenapa lo repot banget ngurusin gue?”
“Gue cinta lo, Vi!”
Gelegar petir di luar sana bahkan tak semengagetkan kalimat yang baru saja dilontarkan Arseno di balik pintu berwarna putih tulang di hadapan Ditya.
‘What? Is he insane? Viona is his sister!’
“LO GILA?” pekik Viona.
“VIONA!”
“Lo ngelarang gue pacaran sama Ditya, tapi lo bilang lo cinta gue? Otak lo rusak? Lo tuh abang gue! ABANG GUE!”
“ABANG TIRI!” Arseno akhirnya tak mampu menahan geramnya.
“Apa lo bilang?”
“Kita saudara tiri, Vi...”
“Lo bohong!”
“Viona!”
“Lo bohong kan?”
“Vi...”
“BILANG SAMA GUE KALAU LO BOHONG!”
***
Jakarta, masa kini.
Pandangan Ditya lekat menatap Arseno yang duduk gelisah di hadapannya. Pria yang secara tak sengaja Ditya ketahui identitasnya. Pria yang ternyata bukan saudara kandung Viona. Dan pria yang mencintai Viona dalam diam entah sejak kapan.
‘Kenapa nasib cintaku seperti ini Ya Allah? Apa tak ada kesempatan bagiku memiliki kebahagiaanku sendiri bersama perempuan yang kucintai?’
Ditya kembali menunduk, membolak balik ponselnya yang sengaja ia matikan.
“Sen!” tegur Kamila, ibu Viona, dari pintu kamar rawat inap yang dibukanya.
“Kenapa Ma?”
“Temanin Mama sebentar, nyari anggur hitam, Viona kan suka, mumpung dia masih tidur.”
“Oh, di mana?”
“Itu di depan rumah sakit kan ada toko buah. Mama ga nyaman sendirian.”
“Oke.”
Arseno berdiri dari tempatnya duduk, keluar dari kamar rawat inap Viona. Ponselnya yang sedang diisi daya ia tinggalkan begitu saja.
Ditya berdiri dari sofa yang ia duduki, mendekat ke jendela kecil di pintu kamar, menyapukan pandangan dan memastikan tak ada orang yang mendekat ke ruang rawat itu. Ia berbalik lagi, bergerak cepat mengkoneksikan salah satu OTG yang dibawanya, memastikan program yang ada di dalam alat kecil itu terpasang dan aktif di dalam alat komunikasi Arseno.
‘Come on, come on, come on!’ batinnya terus membaca mantra dua kata itu berulang kali seraya melihat angka yang terus berubah menuju 100% di layar ponsel yang menggelap.
“Ditya,”
Ditya membatu, layar masih menunjukkan angka 85%.
‘s**t!’
“Ditya,”
“Ya Vi?”
“Kamu ngapain?”
Ditya menoleh, memaksakan cengirannya.
“Ini kalau dicabut, aku isi daya ponselku sebentar aja, boleh ga ya?”
“Ponsel siapa?”
“Arseno.”
“Copot aja. Arseno kemana?”
“Beli anggur sama Mama kamu.”
Ditya kembali menatap layar, angka di sana sudah berubah menjadi satu kata yang begitu membuatnya lega, ‘INSTALLED!’
Ia segera memutuskan koneksi OTG, menyembunyikan benda itu ke dalam saku celananya kembali.
“Ga jadi?” tanya Viona lagi saat Ditya sudah duduk di samping ranjangnya.
“Ngga deh, nanti aja, masih cukuplah, tadi aku ngirim file yang agak gede, kupikir dayanya ga cukup.”
“Oh.”
“Vi, aku udah mindahin foto-foto kamu yang waktu kita ke Bandung. Ada di gallery aku. Mau kupindah ke ponsel kamu?”
“Cukup ga dayanya?”
“Cukuplah, kan udah aku pilihin yang paling bagus. Ga gitu banyak kok.”
Viona mengambil ponsel yang ia letakkan di sisi kiri kepalanya, menyodorkannya pada Ditya.
“Sip, tunggu ya?” ujar Ditya seraya menerima benda pipih berwarna rose gold itu.
“Oke.”
Ditya melakukan lagi kegiatan ilegalnya, kali ini menyusupkan program ke dalam ponsel Viona. Untung saja Viona tak perduli dengan apa yang dilakukan Ditya, hingga program itu terpasang lancar tanpa hambatan di ponsel Viona.
“Nih, Vi.”
“Udah?”
“Iya, udah.”
“Oke. Thanks.”
Ditya tersenyum hangat. Baru saja Ditya hendak membicarakan sesuatu pada Viona, Bram membuka pintu ruangan itu. Tatapannya pada Ditya masih sama. Jijik dan benci.
“Vi, aku ke mushola dulu ya?”
“Oh. Iya.”
“Nanti kasih tau aja kalau butuh sesuatu.”
Viona kembali mengangguk. Paham jika yang dimaksud Ditya adalah agar menghubunginya saat Bram sudah pergi meninggalkan ruangan itu.
Ditya mengangguk sopan pada Bram, mempertahankan unggah ungguh yang masih dijunjungnya sebelum melangkah menjauh meninggalkan kamar Viona.
***
"Itu bohong kan Dit? Bilang sama aku itu bohong!" lirih Viona lemah. Sudah tiga hari pasca operasi pengangkatan rahim akibat kanker yang dideritanya. Berkali-kali Viona bertanya dimana Dirga. Berkali-kali pula Viona memohon agar seseorang membawa Dirga padanya. Jua berkali-kali jantung Viona bertalu-talu setiap kali ada orang yang mengetuk pintu kamar rawat inapnya, berharap Dirgalah yang datang menemuinya. Dan tadi, ketika Bram, ayahnya, habis kata mencari alasan, kalimat 'Dirga sudah menikah, Vio. Let him go. Biarkan dia bahagia!' terlontar dari mulutnya tanpa hambatan.
"DITYA! JAWAB!" pekik Viona.
"Vi! Berhenti melampiaskan kekesalan kamu sama aku!" Akhirnya Ditya pun habis kesabaran.
"Aku nanya Ditya! Yang Ayah bilang bohong kan? Ga mungkin Dirga menikah secepat itu! BOHONG! Itu bohong kan?"
"Kenapa ga mungkin? Dirga mencintai Kei. Kei pun mencintai Dirga. Lantas apa masalahnya kalau mereka menikah secepat mungkin?"
"DITYA!"
"IYA! DIRGA SUDAH MENIKAH! PUAS KAMU? PUAS?" Pekik Ditya.
"Sebelas tahun Vio! Sebelas tahun aku ga pernah meninggalkanmu. Sebelas tahun aku tetap bertahan mencintaimu. Sebelas tahun aku bersabar diperlakukan seperti sampah sama kamu. Sebelas tahun kamu menggantung aku, tak mau bersamaku, tapi tak pula kamu melepaskan aku. Sebelas tahun kamu terus kembali padaku. Apa kamu sadar, akulah tempatmu kembali, aku rumahmu Vio! Aku satu-satunya yang tulus dan sabar mencintai PEREMPUAN GILA SEPERTIMU!
“Dan setelah sebelas tahun, setelah akhirnya Dirga menyerah, setelah kamu datang lagi sendiri padaku, lagi-lagi kamu bertanya tentang Dirga? DIMANA HATIMU VIO? Tidak adakah sedikit saja kamu iba padaku?"
Entah dimana hati perempuan itu. Dulu, di awal hubungan mereka, Viona adalah sosok yang sangat mencintainya. Tak pernah sekalipun Viona mengkhianatinya, bahkan Viona nyaris tak pernah bersinggungan dengan pria manapun diluar urusan pendidikannya. Hingga tepat setahun pertama mereka bersama, malam itu, keintiman mereka kian mendalam, meleburkan gairah untuk pertama kalinya. Sayangnya, apa yang nampak pada Viona tak seperti yang bertumbuh di hati Ditya. Kala Ditya semakin mencintainya, Viona justru semakin menjauh, bahkan hingga tak teraih.
"AKU GA PERNAH MEMINTAMU SETIA PADAKU!" balas Viona lagi.
"Ya Allah..." rintih Ditya. Air mata mengalir dari kedua netranya begitu saja. Perih. Hatinya bagai disayat sembilu.
"I'm done with you, Vio! I'm done! I give up. Sakit Vio, mencintaimu benar-benar menyakitiku.
“Setiap kali kamu mengkhianatiku rasanya seperti kamu membakarku hidup-hidup. Setelah kamu kecewa atau puas, kamu kembali lagi padaku, membentukku kembali. Tak lama, kamu hancurkan aku lagi. Begitu terus selama sebelas tahun.
“Aku memang gila! Mencintaimu benar-benar hal paling gila dalam hidupku," ujar Ditya.
Ia berbalik, melangkahkan kakinya menjauh dari ranjang tempat Viona terbaring lemah.
"Kamu mau kemana?" lirih Viona.
"Pulang. London. Ga ada gunanya aku di sini. Aku ga akan pernah datang padamu lagi sekalipun kamu memohon dan berlutut di hadapanku, memintaku untuk kembali. Tidak akan pernah! Camkan itu Vio!”
"No, Ditya..."
"See... Apa aku buat kamu Vio? Hanya menikah yang belum kita lakukan. Kita pernah saling mencintai, kita b******a berkali-kali, kamu pernah mengandung anakku walaupun akhirnya kamu gugurkan tanpa bicara padaku terlebih dulu, kita pernah hidup bersama, kita pernah... Kita pernah hampir menikah Vio... Tapi lihat sekarang... You really hurt me!"
"Ditya... Please..."
"Kamu gila Vio! Kamu gila! Kamu menghancurkan apapun yang ada di dekatmu. I think you need help. Tapi maaf, aku ga bisa menolongmu. Aku tak lagi sanggup bersamamu."
Ya, Ditya amat sangat sadar ada yang tak wajar dari perilaku Viona. Seringkali Ditya menangkapnya seolah memiliki dunianya sendiri, terlalu mudah khawatir pada banyak hal bahkan pada hal-hal yang tak penting, bahkan berlebihan dalam meyikapai suatu masalah. Seperti ketika perempuan itu mengatakan dalam ketidaksadarannya bahwa ia mengkhianati Dirga - yang saat itu masih berstatus suaminya - dikarenakan ia khawatir Dirga hanya berpura-pura mencintainya dan justru menkhianatinya di luar sana.
Ditya berbalik, memberikan punggungnya menjadi objek tatapan kedua netra Viona, menutupi air mata yang terus saja mengalir dari kedua matanya.
"Aku pergi!"
"NO! DITYA! Aaargh!"
Langkah Ditya terhenti, ia menolehkan wajahnya kembali, menatap Viona yang semakin pias. Menahan rasa sakit yang tiba-tiba mendera hebat.
"Sakiiit..." rintih Viona seraya mencengkram perutnya.
"Vio..." lirih Ditya. Ia masih membatu di posisinya.
"Sakiiit..." rintih Viona lagi.
Di saat yang sama, rok pasien yang digunakan Viona berubah warna dari putih bersih menjadi merah gelap. Ditya terbelalak, menatap ngeri wajah pucat Viona. Hatinya berperang, mendekati perempuan itu atau memanggil perawat lalu meninggalkan Viona begitu saja seperti yang tadi sudah ia lontarkan.
"Ditya... Jangan pergi... Sakiiit..." erang Viona lagi. Membuyarkan lamunan Ditya.
Rintihan Viona begitu menyayat hatinya. Tetapi ini bukan kali pertama Viona memohon seperti itu. Entah sudah berapa kali, bahkan Ditya tak lagi bisa mengitungnya.
"Aku akan panggil perawat. And I'm leaving then," lirih Ditya seraya berbalik kembali, melangkah, keluar dari ruang rawat Viona tanpa sekalipun menatap perempuan itu kembali.
‘I’m sorry Vi, tetapi bersamamu sama saja artinya dengan perlahan membunuh diriku sendiri.’