CH 2 : Jerat Hutang

1054 Kata
Maka dari itu, usai disemayamkan selama tiga hari, ketika iring-iringan jenazah sedang menuju ke tempat pemakaman, Bibi Wei dan anak laki-lakinya yang bernama Andy, membuka kotak sumbangan dan mengambil sebagian isinya, lalu mengunci kembali kotak tersebut. Sekembalinya dari pemakaman, Paman Wei meminta agar Cindy dan Ken ikut ke rumahnya, untuk menghitung uang sumbangan yang mereka terima secara bersama-sama. Sebelum itu, mereka kembali ke rumah duka dan mengambil kotak sumbangan serta peralatan yang tertinggal lainnya, lalu pergi menuju ke rumah paman mereka. Sementara itu, di rumah Paman Wei. Bibi Wei dan Andy sedang duduk santai di ruang keluarga rumah mereka yang terbilang cukup berada. Mereka berdua menonton televisi sambil menikmati makan siang dan kudapan. “Ma, bagaimana jika Papa tahu kalau kita mengambil sebagian uang sumbangan tersebut? Lagipula, aku merasa takut mengambil uang sumbangan orang meninggal. Apa benar tidak apa-apa?” tanya Andy yang merasa sedikit takut dan cemas. “Anak bodoh! Bagaimana bisa aku melahirkan anak sebodoh dirimu? Papamu tidak akan tahu hal yang tidak dilihatnya, lagipula selama di rumah duka, papamu sibuk menemani dan melayani tamu-tamu yang datang. Dia sama sekali tidak memperhatikan kotak sumbangan. Dan satu hal lagi, mengenai uang sumbangan orang meninggal, semuanya hanya mitos belaka. Kau ini benar-benar penakut. Ikuti saja apa yang sudah Ibu ajarkan padamu, lagipula bukankah kau juga membutuhkan uang ini?” jawab sang ibu. “Jangan begitu, Ma. Bagaimanapun aku ini anakmu yang tersayang. Ya, aku memang membutuhkan uang untuk bersenang-senang dengan pacarku.” Melirik sang ibu yang tengah berkacak pinggang di sampingnya seraya menatap tajam pada dirinya. “Apa kau masih berhubungan dengan wanita rendahan itu?” tanya Bibi Wei dengan nada tinggi. “Ma, jangan menuduhnya seperti itu. Dia memang bekerja di rumah bordil, tapi dia wanita yang baik dan aku mencintainya, dan dia mencintaiku juga,” bela Andy. “Mencintai? Apa dia paham arti mencintai? Apa kau yakin kau tidak dibodohi?” cecar Bibi Wei. “Ma, sudah cukup. Aku tidak ingin membahas hal itu lagi. Aku sudah dewasa dan tahu mana yang baik untuk diriku,” bela Andy. “Baiklah, aku—“ Saat sedang berniat untuk membalas ucapan Andy, tiba-tiba terdengar suara pintu masuk terbuka dan langkah beberapa orang yang memasuki rumah. “Papamu datang,” ucap Bibi Wei. Lantas, kedua orang itu langsung bangkit berdiri dan bersiap menyambut Paman Wei serta dua keluarga mereka lainnya. Ketika Paman Wei, Cindy serta Ken memasuki ruang keluarga, Bibi Wei langsung menghampiri sang suami dan menawarkan bantuan untuk membawakan barang bawaannya. Sementara, kotak sumbangan berada di tangan Ken. Cindy, hanya membawa sisa bunga dan makanan. “Suamiku, sini aku bawakan barang bawaanmu,” ucapnya. Paman Wei pun memberikan dua buah kantung plastik berisi uang kertas untuk orang meninggal serta beberapa dokumen untuk mengurus akta kematian. Lalu, Bibi Wei mempersilahkan Cindy dan Ken duduk. Kemudian, seluruh keluarga duduk berkumpul di ruang keluarga. Tanpa curiga sedikitpun, Paman Wei memimpin untuk membuka kotak sumbangan tersebut dan menghitung isinya, ternyata setelah selesai dibuka dan dihitung dengan cermat, jumlah dana yang dibutuhkan untuk membayar biaya rumah sakit, rumah duka, serta tanah makam masih kurang banyak. Cindy dan Ken pun menjadi sedih dan tidak tahu apa yang harus diperbuat, hal yang sama juga dirasakan oleh Paman Wei. “Paman, bagaimana ini?” tanya Cindy pelan. “Paman juga tidak tahu. Seingatku tamu yang datang banyak dan semuanya memberikan sumbangan. Tapi, kenapa hasilnya hanya sedikit? Apa jangan-jangan—“ jawab Paman Wei yang menduga pegawai rumah duka mungkin memgambil sedikit bagian dari kotak sumbangan. “Sebaiknya kita tidak menduga hal yang belum tentu benar. Jika ternyata mereka jujur, bukankah kita berdosa?” timpal Bibi Wei. “Kau benar, istriku. Tapi, hal ini membuatku heran dan bertanya-tanya. Lalu, apa saranmu, Istriku?” tanya Paman Wei. Bibi Wei merupakan seorang wanita yang licik dan tidak memiliki kasih sayang di dalam hatinya, dia pandai berpura-pura serta bermulut manis. Di depan suaminya dia menunjukkan kasih sayang yang tulus kepada Cindy dan Ken, namun di balik semuanya, dia sangat tidak menyukai kedua keponakannya tersebut. Terlebih sekarang, biaya hidup yang harus ditanggung oleh suaminya menjadi bertambah karena harus menghidupi Cindy dan Ken. Sementara, Andy merupakan pria dewasa yang pemalas dan tidak memiliki pekerjaan. Hobinya bermabuk-mabukan dan saat itu, dia tengah menjalin hubungan dengan seorang wanita tunasusila yang bernama Anna Fang. Anna hanya menginginkan uang Andy dan tidak mencintainya dengan tulus, tapi Andy telah dibutakan oleh cinta, hingga membuat pria itu rela melakukan apa saja demi mendapatkan uang.   Untuk membuat sandiwara yang dimainkannya sempurna, Bibi Wei berpura-pura berpikir sejenak, berusaha untuk meyakinkan suami dan keponakannya dengan aksinya tersebut. Semua orang yang hadir disitu diam dan tampak merenung, kecuali Andy dan Bibi Wei yang saling berpandang-pandangan satu sama lain. “Suamiku, aku ada sedikit simpanan. Demi kakak ipar agar dia dan suaminya tenang di alam sana, aku rela meminjamkan uangku demi membayar semuanya. Cindy dan Ken dapat membayarnya setelah mereka bekerja nanti,” jawabnya seraya berpura-pura mengasihani kedua kakak beradik yatim piatu tersebut. “Apa tidak apa-apa? Apa kau yakin?” tanya Paman Wei berusaha memastikan. “Aku yakin. Pakailah untuk menutupi semuanya. Bukankah Buddha akan membalas semuanya,” kilahnya seraya tersenyum licik. “Istriku, kamu memang istri dan adik ipar yang berbakti. Kakakku akan tenang di alam sana. Terima kasih,” puji Paman Wei seraya memeluk istrinya. Saat itu, semuanya percaya dengan kata-kata licik rancangan dari Bibi Wei. Bahasa tubuh, perkataan serta raut wajahnya yang tidak menampakkan kepura-puraan sungguh dapat mengelabui semua orang, bahkan suaminya sendiri, kecuali anak laki-laki mereka yang sudah sangat hafal dengan watak dan perilaku ibu kandungnya sendiri. Akhirnya, Paman Wei pun mengambil sejumlah uang yang ditawarkan oleh istrinya. Kemudian, pria paruh baya itu kembali menghitung semuanya. “Baiklah, Cindy dan Ken, jumlah uang untuk membayar semuanya sudah cukup. Terima kasih Buddha,” ucap Paman Wei. “Terima kasih, Bibi,” ujar Cindy dan Ken bersamaan. “Tidak perlu seperti itu, bagaimanapun aku sayang kalian berdua. Oh ya, mari kita makan siang bersama, “ ajaknya pada Cindy dan Ken. “Ah tidak perlu, Bi. Biar kami makan di rumah saja. Kami tidak mau merepotkan Paman dan Bibi. Kalau memang semua urusan telah selesai, kami pamit dulu. Terima kasih semuanya.” Cindy dan Ken pun menyalami tangan Paman, Bibi serta sepupu mereka, lalu keluar dari kediaman sang paman dan berjalan bergandengan tangan menuju ke rumah mereka yang jauh dari kata layak huni.  To be continued .....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN