Anna diculik

1049 Kata
Aroma khas rumah sakit terhirup di ujung indera penciuman Bram. Sepasang kelopak matanya mulai bergerak dan mulai terbuka dengan perlahan. Saat membuka mata, hal pertama yang dlihatnya adalah lampu yang menggantung tepat di atas kepalanya itu sangat menyilaukan mata. Satu nama yang langsung diingat Bram adalah Anna. Ia langsung berteriak pada suster yang mungkin ada di luar ruang perawatannya. “Susteeer!” teriak Bram dengan suara kencang. Tenggorokan Bram yang kering karena belum dialiri air minum selama tiga hari tidak sadarkan diri, membuat suaranya terdengar parau. Walau sekencang apa pun ia berteriak, tapi suara Bram tidak terlalu terdengar. “Susteeer!” teriak Bram sekali lagi. Karena merasa suaranya tercekat dan tidak seorang pun yang mendengarnya, Bram ingin turun dari ranjangnya. Tangan kanannya hendak menarik paksa mencabut selang infus yang menempel di telapak tangannya di sebelah kiri. Tapi belum juga ia mencabut selang infus itu, dua orang suster dan satu orang perawat pria datang menghampiri. “Ada apa Bram?” tanya suster tersebut yang baru masuk. Para suster, perawat dan tenaga medis lainnya mengenal Bram karena Bram berkerja sebagai satpam di rumah sakit ini. “Di mana istriku? Anna?!” seru Bram menjawab. “Tenang ... Tenang Tuan. Anda baru saja tersadar. Tiga hari anda pingsan. Tenangkan diri terlebih dahulu dan kami akan menjelaskannya semuanya,” kata seorang perawat pria berkacamata. Perasaan Bram langsung tidak nyaman mendengarnya. “Apa yang harus dijelaskan? Aku hanya ingin mengetahui di mana istriku, Anna?” “Dokter Anna ...,” jawab suster wanita yang bertuliskan Riska di kartu nama yang menggantung di lehernya. Bram langsung menoleh ke arah suster Riska. “Kamu kenal Anna kan?! Dokter bagian bedah! Cepat jawab, di mana Anna?!” teriaknya histeris membutuhkan jawaban. Bram memang tidak sadarkan diri selama tiga hari. Tapi ia masih teringat sangat jelas saat tiga perampok menyatroni rumahnya dan kemudian memukulinya. “Di mana?” tanya Bram untuk kesekian kali dengan suara yang lirih. “Aku teringat saat malam itu ada tiga perampok yang datang. Aku mencemaskan Anna. Aku ingin bertemu dengannya ....” Suara pintu ruangan terdengar terbuka. Bram langsung menoleh ke arah pintu. Ia berharap Anna lah yang masuk ke dalam. Tapi ternyata harapannya kembali pupus saat netra Bram melihat pria memakai blezer berwarna putih. Bukan Anna yang masuk ke dalam ruang perawatannya tapi dokter Tio, teman sejawat istrinya. “Bram,” panggil dokter Tio menegur. Bram menatap Tio yang berwajah sendu. Perasaannya semakin tidak nyaman dengan ini semua. Tio berjalan mendekat ke arah Bram. Lalu ia meminta suster Riska dan dua orang perawat pria yang tadi menenangkan Bram untuk keluar ruangan. “Kalian bisa kembali bekerja menangangi yang lain. Biar aku yang menenangkan Bram,” ucapnya dengan nada bicara tegas. Suster Riska dan dua perawat pria tersebut langsung menganggukkan kepalanya mengerti. Mereka keluar ruangan meninggalkan Bram dan dokter Tio hanya berdua saja. “Ada apa sebenarnya dok? Kenapa kalian tampak berbelit begini? Aku hanya ingin mengetahui di mana istriku Anna ...,” ujar Bram. Dokter Tio menarik nafas panjang. Ia menepuk pundak Bram. “Kamu harus sabar dan tabah mendengar ini. Setelah polisi mendapatkan laporan kamu telah tersadar, bersiaplah untuk memberikan keterangan.” Bram menelan ludahnya. Bibirnya pecah-pecah dan tenggorokannya kering. Bahkan setelah siuman dari pingsannya selama tiga hari ia tidak langsung mencari air minum untuk membasuh hausnya. Hanya Anna yang dicarinya. “Apa yang dimaksud dengan aku harus sabar dan tabah?” tanya Bram dengan kedua mata membulat. Ia membutuhkan jawaban karena firsatnya menjadi buruk. “Apa yang terjadi dengan Anna?” Sepasang mata Bram memicing saat menanti jawab dari dokter Tio. “Anna ... dia ....” Kata-kata Dokter Tio terbata. Ia tidak sanggup untuk melanjutkannya karena tidak tega dengan Bram. “Anna kenapa?” tanya Bram sambil menatap tajam dengan jantung yang berdegup kencang. “Anna diculik oleh kawanan perampok yang menyatroni rumah kalian,” jawab Dokter Tio prihatin. Mulut Bram ternganga mendengar apa yang dikatakan oleh Dokter Tio. Firasat buruknya sejak pertama kali siuman tadi terjawab sudah. Anna, istrinya yang sangat ia cintai itu diculik oleh perampok?! Tidak! Bagaimana dengan nasib Anna? *** Bram sudah menceritakan semuanya yang terjadi pada pihak kepolisian. Tapi nyatanya hingga satu bulan lamanya tidak ada perkembangan yang berarti. Anna belum juga ditemukan dan kembali ke rumah. Sepasang mata elang Bram menatap secarik kertas persegi empat berwarna orange dengan torehan tinta hitam yang bertuliskan, “Jika kamu menginginkan milikmu kembali. Kembalikan milikku!” Tulisan yang ditemukan Bram menempel di pintu kulkasnya setelah kepulangannya dari rumah sakit. Memang terasa janggal kenapa tulisan yang menempel di pintu kulkas tidak ditemukan oleh polisi yang saat itu menyelidiki. Sepertinya kertas yang bertuliskan pesan tersebut sengaja di taruh tepat sebelum Bram kembali ke rumahnya. Sempat Bram ingin memberitahukan polisi tentang kertas yang bertuliskan sebuah pesan. Tapi hatinya melarang. Entah kenapa Bram merasa takut. Pikirannya langsung menyasar dan menyusun semua puzzel kejadian yang mungkin saja luput dari ingatannya. Masalahnya, Bram mengalami hilang ingatan. Hal yang diingatnya hanya kejadian yang berlangsung selama tiga tahun ini. Sebelum tiga tahun yang lalu, sebelum kecelakaan hebat yang dialaminya, semua kejadian dan apa pun itu sama sekali tidak dingat oleh Bram. Bagaimana jika ternyata semua kejadian ini ada hubungannya dengan kesalahannya di masa lalu? Bukankah memberitahukan pesan di secarik kertas yang ditemukannya ini justru akan membuat masalah semakin rumit?, pikirnya. Tiba-tiba saja saat Bram berpikir, ia teringat akan kata-kata salah seorang perampok di malam tragedi itu yang memanggilnya dengan nama Herman. “Apa namaku Herman?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Jika mereka mendatangi rumahku dan menculik Anna. Kemungkinan Anna dijadikan jaminan atas sesuatu yang harusnya aku kembalikan. Tapi apa itu? Sesuatu apa dan kenapa mereka tidak menghubungiku? Memberitahukan apa yang sebetulnya terjadi! Apa yang sebetulnya yang diinginkan mereka!!” Bram menjambak rambutnya sendiri. Ia terlihat sangat stres dan frustasi. “Sesuatu milik mereka yang harus aku kembalikan?!! Anna ... kenapa harus kamu yang menanggung kesalahanku di masa lalu ...?” Tepat setelah Bram berteriak di dalam rumahnya, ponsel Bram pun berdering. Bahkan Bram sendiri terkejut mendengar suara dering ponsel miliknya. Bram langsung meraih ponsel yang tergeletak begitu saja di sampingnya. Ia menatap layar ponsel, membaca nama si penelepon. Tapi ternyata panggilan itu tanpa nama dan nomor dirahasiakan. Ia langsung tersadar jika pasti yang menelponnya adalah orang yang menculik Anna. Bram mengusap layar ponsel. Tanpa pikir panjang lagi menjawab panggilan telepon tersebut. “Halo?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN