Suasana malam di mansion Darwin Luis terasa dingin, seolah menyimpan rahasia-rahasia kelam yang menunggu untuk diungkap. Langit gelap, hanya dihiasi bintang-bintang kecil yang tampak malu-malu. Namun, malam ini, Abizar memutuskan untuk mengakhiri semua ketidakpastian yang membelenggu hatinya.
Ia berdiri di depan gerbang besar mansion Elsa, menghela napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu besi hitam itu. Hujan gerimis mulai turun, menetes pelan di atas kepalanya, tetapi ia tak bergeming.
Ketukan pintunya tegas, penuh keyakinan. Tak lama kemudian, suara langkah cepat terdengar dari dalam. Livia muncul di balik pintu, raut wajahnya kaget melihat siapa yang berdiri di depannya.
“Abizar? Kau gila? Kau tahu Darwin bisa pulang kapan saja!” bisik Livia panik.
“Aku tidak peduli,” balas Abizar dengan tenang. “Aku harus bicara dengan Elsa. Sekarang.”
Livia menatapnya ragu, tetapi melihat kesungguhan di mata pria itu, ia akhirnya menyerah. “Tunggu di sini. Aku akan memanggilnya.”
---
Elsa melangkah turun dari tangga dengan hati yang berdebar. Ia tidak tahu apa yang membuat Abizar nekat datang ke sini, terutama setelah Darwin begitu tegas memperingatkannya. Namun, bagian dari dirinya—bagian kecil yang masih memercayai pria itu—ingin tahu alasannya.
Saat tiba di ruang tamu, ia menemukan Abizar berdiri di tengah ruangan. Basah kuyup karena hujan, tetapi sorot matanya tetap tajam, penuh tekad. Elsa berhenti beberapa langkah darinya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
“Kenapa kau di sini?” tanyanya pelan, tetapi nada suaranya sarat dengan emosi.
“Aku ingin kau mendengar semuanya,” jawab Abizar. “Tentang aku, tentang Darwin, dan tentang alasan kenapa aku tidak akan pernah berhenti memperjuangkanmu.”
Elsa terdiam. Kata-kata itu mengguncang hatinya, tetapi ia tidak ingin terlihat lemah. “Darwin tidak akan membiarkan kita bersama, Abizar. Dia sudah memutuskan. Dan aku … aku tidak bisa melawan keluargaku.”
Abizar melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya beberapa langkah. “Kau bisa melawan, Elsa. Aku tahu kau bisa. Aku tahu kau lebih kuat dari yang kau kira.”
Elsa menggeleng, air matanya mulai menggenang. “Aku tidak sekuat itu. Dan aku tidak ingin melihatmu terluka karenaku.”
Abizar mengulurkan tangannya, menggenggam jemari Elsa dengan lembut. “Kalau begitu, biarkan aku yang melawan untukmu. Aku tidak peduli seberapa besar risikonya, Elsa. Satu-satunya yang aku inginkan hanyalah kau.”
---
Di mansion Darwin
Darwin Luis baru saja tiba di rumah ketika asistennya menyerahkan sebuah amplop. Di dalamnya, terdapat salinan foto Abizar yang berdiri di depan mansion Elsa. Wajah Darwin mengeras, amarahnya jelas terpancar.
“Dia benar-benar menantangku,” gumam Darwin sambil mengepalkan tangan. Ia memandang asistennya dengan tatapan tajam. “Siapkan mobil. Aku akan ke mansion Elsa sekarang.”
---
Sementara itu, di ruang tamu mansion Elsa, percakapan antara Abizar dan Elsa semakin memanas. Elsa akhirnya membuka isi hatinya yang selama ini ia pendam.
“Abizar, aku tidak pernah berhenti mencintaimu,” ucapnya dengan suara gemetar. “Tapi aku juga tidak bisa kehilangan keluargaku. Darwin mungkin keras, tapi dia satu-satunya yang aku miliki sejak orang tuaku meninggal.”
Abizar menatapnya dengan intensitas yang membuat jantung Elsa berdegup lebih kencang. “Dan aku satu-satunya yang bisa mencintaimu tanpa syarat, Elsa. Kau tahu itu. Aku tidak meminta kau memilih sekarang, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu, apa pun yang terjadi.”
Hening sejenak. Hanya suara hujan di luar yang mengisi keheningan mereka. Elsa ingin mempercayai kata-kata itu, tetapi ketakutan masih mencengkeram hatinya.
Tiba-tiba, suara deru mobil berhenti di luar mansion. Elsa dan Abizar sama-sama menoleh ke arah pintu. Elsa langsung tahu siapa yang datang.
“Darwin…” bisiknya, tubuhnya menegang.
Abizar memandang Elsa, lalu mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Kau tidak perlu takut. Aku di sini.”
---
Pintu mansion terbuka dengan keras, dan Darwin masuk dengan langkah cepat, wajahnya penuh amarah. Ia langsung menemukan Elsa dan Abizar berdiri bersama di ruang tamu. Pemandangan itu membuat darahnya mendidih.
“Beraninya kau datang ke sini, Abizar!” seru Darwin, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Abizar berbalik menghadap Darwin, tatapannya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. “Aku di sini karena aku tidak akan lari lagi, Darwin. Kau bisa mengancamku sebanyak yang kau mau, tapi aku tidak akan meninggalkan Elsa.”
Darwin tertawa sinis. “Kau pikir kau punya hak atasnya? Elsa adalah keluargaku. Aku yang memutuskan apa yang terbaik untuknya.”
Elsa, yang berdiri di antara mereka, mencoba menghentikan pertengkaran itu. “Darwin, tolong berhenti. Kau tidak bisa mengontrol hidupku selamanya.”
Darwin menatap Elsa dengan tajam. “Aku melindungimu, Elsa! Aku melakukan ini untuk memastikan kau tidak membuat kesalahan besar.”
Abizar melangkah maju, berdiri di hadapan Darwin. “Dan menurutmu, mencintai seseorang adalah sebuah kesalahan? Aku mencintai Elsa lebih dari apa pun di dunia ini. Kau tidak bisa mengambil itu dariku.”
Darwin memandang Abizar dengan penuh kebencian. “Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, Abizar. Kau hanya seorang pria dengan masa lalu kotor yang mencoba masuk ke dalam keluarga kami. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
“Dan aku tidak akan membiarkan kau menghancurkan kebahagiaan Elsa,” balas Abizar dengan suara yang tegas tetapi tetap tenang.
---
Suasana semakin memanas ketika Maya Agatha, istri Darwin, tiba-tiba muncul di ruang tamu. Ia memandang situasi itu dengan cemas, lalu mendekati Elsa.
“Elsa, apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tanyanya dengan lembut.
Elsa menatap Maya dengan mata yang penuh air mata. “Aku mencintai Abizar, Maya. Tapi Darwin tidak akan membiarkan aku bersamanya.”
Maya memandang Darwin dengan tatapan penuh kekecewaan. “Darwin, kau tidak bisa terus-menerus mengontrol hidup Elsa. Kau harus membiarkannya membuat keputusannya sendiri.”
“Dia tidak tahu apa yang terbaik untuk dirinya!” balas Darwin dengan frustrasi.
Abizar menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Darwin, aku tahu kau hanya ingin melindungi Elsa. Tapi kau harus sadar bahwa dengan mencoba mengontrol hidupnya, kau justru menyakitinya. Biarkan dia memilih.”
---
Puncak Emosi
Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang. Elsa berdiri di tengah-tengah mereka, merasa terjebak di antara dua pihak yang sama-sama penting baginya. Ia memandang Abizar, lalu beralih ke Darwin.
“Aku tidak ingin ini terus berlanjut,” katanya pelan tetapi tegas. “Darwin, aku tahu kau peduli padaku, tapi ini hidupku. Aku yang harus membuat keputusan.”
Darwin menatap Elsa dengan raut wajah terluka. “Kau tidak mengerti, Elsa. Jika kau memilih dia, kau akan kehilangan segalanya—keluargamu, statusmu, semuanya.”
Elsa menahan napas, kata-kata itu menusuk hatinya. Namun, ia tahu Darwin tidak akan pernah berubah.
Ia berbalik menghadap Abizar, air mata mengalir di pipinya. “Jika aku memilihmu, aku harus kehilangan semuanya. Apakah kamu siap untuk itu?”
Abizar menatap Elsa dengan mata yang penuh cinta dan keyakinan. Ia mengangkat tangan, menyeka air mata di pipi Elsa dengan lembut. “Aku siap kehilangan segalanya, Elsa, selama aku tidak kehilangan dirimu.”
Elsa terdiam, hatinya berperang antara rasa takut dan cinta. Ia tahu keputusan ini akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara telepon Darwin berdering, memecah keheningan.
Darwin mengangkat teleponnya, dan wajahnya langsung berubah saat mendengar apa yang disampaikan di seberang sana. “Apa? Bagaimana bisa itu terjadi?”
Tanpa menjelaskan apa pun, ia menatap Abizar dengan sorot mata yang penuh kebencian. “Ini semua ulahmu! Kau akan menyesal!”
Darwin bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan mereka dalam ketegangan. Elsa memandang Abizar dengan raut penuh pertanyaan, tetapi Abizar hanya menggenggam tangannya erat, seolah meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.