Di dalam ruangan megah itu, Abizar berdiri di depan cermin besar, mengenakan setelan jas hitam yang terjahit sempurna membalut tubuhnya. Sorot matanya yang biasanya penuh keyakinan, kini terlihat gamang. Bayangan dirinya di cermin, meskipun tampak gagah, tak mampu menyembunyikan kebingungan di wajahnya.
Beberapa jam lagi, ia akan melangkah menuju altar untuk menikahi Natasya, wanita yang secara sosial dianggap cocok menjadi pendamping hidupnya. Pernikahan yang sudah dirancang dengan begitu sempurna oleh kedua keluarga, pernikahan yang diharapkan akan memperkuat kedudukan dan kehormatan kedua belah pihak. Namun, mengapa hati Abizar justru terasa semakin berat?
Di tengah kesunyian itu, tiba-tiba bayangan Elsa melintas di pikirannya. Gadis itu, dengan senyum cerah dan sorot mata yang selalu penuh kehangatan, memenuhi relung hati Abizar tanpa izin. Setiap kenangan kecil bersamanya terasa begitu hidup—cara Elsa tertawa, caranya bicara dengan ceria, dan caranya memandang Abizar dengan harapan yang sederhana. Seketika, rasa hangat merayapi dadanya, namun di saat yang sama, ada rasa perih yang menusuk.
"Kenapa harus Elsa yang terlintas sekarang?" gumam Abizar, hampir tak terdengar.
Pikirannya melayang pada saat-saat ketika Elsa mulai menjaga jarak, bagaimana gadis itu menutup diri dan tak lagi menyapanya seperti dulu. Sejak saat itu, perasaan hampa tak kunjung pergi, dan pagi ini, hampa itu semakin terasa menyiksa. Abizar memejamkan matanya, merasakan denyut di dadanya semakin kuat. Pertanyaan yang tak pernah terucap kini menggantung di benaknya: apakah ia benar-benar ingin menikah dengan Natasya? Atau hanya ingin melarikan diri dari perasaannya sendiri?
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu memecah lamunannya.
"Masuk," ujarnya tanpa berbalik.
Pintu terbuka, dan Darwin Luis, kakak ipar Elsa sekaligus orang yang selama ini ia anggap sebagai sahabat dan mentor, melangkah masuk. Wajahnya tenang, namun ada kekhawatiran yang tersembunyi dalam sorot matanya.
"Abizar, kau baik-baik saja?" Darwin menatapnya penuh perhatian. "Hari ini adalah hari besarmu."
Abizar mengangguk singkat, namun ia tak bisa menyembunyikan keresahan di matanya. Darwin, yang sudah mengenal Abizar selama bertahun-tahun, merasakan ada yang tidak beres.
"Apakah ini yang benar-benar kau inginkan?" tanya Darwin pelan, namun penuh makna.
Abizar terdiam. Pertanyaan itu bagaikan pukulan telak yang menghantam dadanya. Selama ini, ia selalu hidup dengan prinsip, menjalani apa yang diharapkan darinya tanpa banyak tanya. Namun kali ini, ada keraguan yang tak bisa ia abaikan.
"Darwin... aku sendiri tidak yakin," jawabnya akhirnya, suara itu terdengar serak.
Darwin menatap Abizar dengan tatapan tajam, seolah ingin menyelami pikirannya. "Abizar, jika kau tidak yakin, lebih baik berhenti sekarang sebelum terlambat."
Abizar terdiam. Kata-kata Darwin bergema di dalam hatinya, menguatkan keraguan yang sudah lama mengendap. Namun, ada rasa takut—takut akan konsekuensi, akan kekecewaan kedua keluarga, akan pandangan masyarakat.
"Tapi, bagaimana dengan keluargaku? Bagaimana dengan keluarganya?" Abizar akhirnya mengungkapkan ketakutannya.
Darwin tersenyum tipis. "Keluarga bisa kecewa, tetapi mereka akan mengerti. Tapi hati yang terbelenggu oleh kebohongan tidak akan pernah merdeka."
Kata-kata itu menggugah sesuatu dalam diri Abizar. Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa mungkin ini adalah saatnya ia mendengarkan hatinya sendiri. Dengan napas panjang, ia kembali memikirkan Elsa—bayangan gadis itu tak mau hilang dari pikirannya, seakan terus memanggilnya.
Darwin menepuk bahu Abizar, memberikan dukungan tanpa banyak kata. "Ingat, keputusan ada di tanganmu. Apa pun itu, aku akan mendukungmu."
Setelah Darwin keluar, Abizar kembali menatap dirinya di cermin. Sosok pria dengan setelan jas rapi dan wajah tegas itu kini tampak seperti orang asing baginya. Ada satu langkah besar yang harus ia ambil, dan ia tahu betul apa yang hatinya inginkan.
---
Di aula besar yang penuh dengan tamu undangan, Natasya berdiri dengan gaun putih anggun yang memancarkan keanggunan dan kemewahan. Senyum kecil terukir di bibirnya, tetapi matanya sesekali melirik ke arah jam di dinding. Waktu semakin dekat, namun sosok Abizar tak kunjung muncul.
Natasya merasakan kegelisahan yang tak biasa. Ia tahu, Abizar adalah pria yang penuh dengan pengendalian diri dan jarang sekali menunjukkan emosinya. Tapi hari ini, ia tak bisa menghilangkan perasaan bahwa sesuatu yang buruk mungkin terjadi.
"Di mana Abizar?" bisiknya pada salah satu saudaranya yang berdiri di dekatnya.
Namun, sebelum ada jawaban, langkah kaki Abizar akhirnya terdengar dari arah pintu masuk. Semua mata tertuju padanya, namun tatapan Abizar hanya lurus tanpa ekspresi, seolah berada di tempat lain.
Abizar melangkah mendekati Natasya dengan wajah tanpa senyum, membuat wanita itu sedikit ragu. Natasya memaksakan senyum, meski dalam hatinya mulai tumbuh keraguan. "Akhirnya kau datang," ucapnya, berusaha terdengar tenang.
Abizar menatapnya sejenak, namun tak ada kebahagiaan atau rasa haru di wajahnya. "Maafkan aku, Natasya," bisiknya pelan, hampir tak terdengar oleh orang lain.
Natasya terdiam, terpaku, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Di tengah kebingungannya, Abizar perlahan mengangkat tangannya yang menggenggam cincin pernikahan. Di saat yang bersamaan, ia menatap cincin itu, merasa seperti benda kecil itu adalah beban yang tak lagi mampu ia pikul.
"Aku… aku tidak bisa," ujar Abizar dengan suara serak, suaranya menggetarkan hati setiap orang yang mendengar.
Terdengar desis pelan dari para tamu undangan, suasana berubah hening, dan mata-mata tertuju pada Abizar dengan ekspresi terkejut. Natasya merasa seperti tertimpa beban berat, tubuhnya terasa lemas, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Apa maksudmu, Abizar?" suara Natasya bergetar, berusaha menahan amarah dan kekecewaan yang mulai meledak dalam dirinya.
Abizar memandang Natasya dalam-dalam, kemudian menunduk dengan tatapan penuh penyesalan. "Maafkan aku, Natasya. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Hatiku… hatiku ada di tempat lain."
Mendengar itu, Natasya menarik napas tajam, wajahnya memucat. "Abizar, ini bukan waktunya untuk bercanda!"
Namun, Abizar tetap tenang, meskipun ia tahu bahwa keputusan ini akan membawa konsekuensi besar. "Aku tidak bercanda, Natasya. Ini bukan tentang dirimu, bukan juga tentang keluargamu. Ini tentang hatiku… dan aku tidak bisa membohongi diriku sendiri."
Dengan satu tarikan napas panjang, Abizar melepaskan cincin itu dari jari-jarinya, membiarkannya jatuh dengan lembut ke lantai. Semua mata mengikuti gerakan cincin itu, yang kini tergeletak di antara mereka seperti simbol dari keputusan besar yang telah diambil.
Tanpa melihat ke belakang, Abizar melangkah pergi, meninggalkan altar yang megah itu, meninggalkan semua rencana yang telah disusun, dan meninggalkan Natasya yang kini terdiam dengan tatapan hampa.
Suara bisikan dan desahan kekecewaan memenuhi ruangan, namun Abizar tak lagi peduli. Langkahnya mantap, semakin cepat seolah ingin segera melarikan diri dari beban yang selama ini ia pikul.
Sementara itu, di tengah aula yang hening, Natasya berdiri kaku, menatap pintu tempat Abizar menghilang, hatinya diliputi kemarahan dan kehampaan. Tanpa berkata apa-apa, air matanya mulai mengalir, merasakan perihnya ditinggalkan di saat ia merasa sudah berada di ambang kebahagiaan.
Dan di luar ruangan itu, Abizar merasa untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melakukan sesuatu demi dirinya sendiri—demi cinta yang tak pernah ia akui, namun selalu ada di hatinya.
Di bawah langit yang mulai mendung, Abizar melangkah keluar, membiarkan rintik hujan pertama membasahi wajahnya, seolah alam memahami beratnya keputusan yang baru saja ia ambil.