Langit malam terlihat gelap, dihiasi sedikit bintang yang berkilauan lemah. Abizar berdiri di balkon mansion-nya, pandangannya mengarah jauh ke depan. Kepalanya penuh dengan pertanyaan dan beban keputusan yang semakin hari semakin sulit ia abaikan. Ia tahu, cintanya pada Elsa adalah jalan yang benar, tetapi jalannya penuh dengan duri, terutama ketika keluarganya mulai ikut campur.
Malam itu, telepon dari Ebizawa menjadi pengingat bahwa hidupnya tak pernah sepenuhnya menjadi miliknya.
“Kau mau sampai kapan seperti ini, Abizar?” Suara Ebizawa terdengar tajam di ujung telepon. “Kau membuat keluarga kita terlihat lemah dengan terus mengejar perempuan itu.”
Abizar mengepalkan tangannya, menggenggam erat pinggiran balkon. “Kehidupan pribadiku bukan urusanmu, Ebizawa.”
“Bukan urusanku?” Ebizawa tertawa dingin. “Kau adalah bagian dari keluarga ini. Semua yang kau lakukan, terutama tindakan bodoh seperti ini, berdampak pada kami.”
“Aku tidak peduli,” balas Abizar dengan suara tegas. “Untuk pertama kalinya, aku ingin melakukan sesuatu untuk diriku sendiri. Elsa adalah orang yang aku pilih.”
“Kau tahu apa akibatnya jika kau terus keras kepala?” Ebizawa mulai mengancam. “Kita bisa memutus semua aksesmu, semua kenyamanan yang kau nikmati. Dan jangan lupa, aku masih punya hubungan dengan Natasya. Aku bisa memastikan kau tidak punya jalan keluar lagi.”
“Lakukan saja,” Abizar menjawab dengan dingin. “Aku sudah memutuskan, dan aku tidak akan mundur.”
Telepon terputus dengan suara nada keras dari Ebizawa. Abizar menghela napas berat. Ia tahu, ini baru awal dari perlawanan keluarganya. Namun, tak ada yang bisa menggoyahkan keputusannya. Elsa adalah satu-satunya alasan mengapa ia merasa hidupnya berarti.
---
Keesokan harinya, mansion itu kedatangan tamu yang tidak diharapkan. Natasya muncul dengan senyuman yang lebih tajam dari pisau. Ia mengenakan gaun merah mewah, terlihat seperti seseorang yang datang membawa misi. Abizar yang baru saja keluar dari ruang kerjanya terpaksa berhenti ketika melihat wanita itu berdiri di ruang tamu.
“Aku tidak ingat pernah mengundangmu, Natasya,” kata Abizar dingin.
“Oh, kau tidak perlu mengundangku,” balas Natasya sambil berjalan mendekatinya. Tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer, menciptakan suara yang menggema. “Aku datang karena aku peduli padamu, Abizar.”
“Peduli?” Abizar mendengus. “Kau peduli pada status sosialmu, bukan padaku.”
Natasya mendekat, menyentuh lengan Abizar dengan lembut, tapi pria itu segera menarik diri. “Kau berubah, Abizar. Kau tidak seperti dulu.”
“Karena aku sudah tidak mau terjebak dalam permainanmu, atau permainan keluarga kita,” balasnya.
Wajah Natasya berubah serius. “Kau tahu, Ebizawa tidak akan membiarkanmu begitu saja. Dia memberiku satu kesempatan terakhir untuk membuatmu sadar. Kembalilah ke jalan yang benar, Abizar. Lupakan Elsa.”
“Kalau aku menolak?” Abizar menatapnya dengan mata tajam.
Natasya tersenyum miring. “Kalau kau menolak, jangan salahkan aku kalau aku harus memainkan caraku sendiri.”
“Coba saja,” balas Abizar penuh tantangan. “Aku tidak takut padamu atau siapa pun.”
---
Sementara itu, Elsa duduk di taman mansion-nya, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Surat Irfan masih terngiang-ngiang di benaknya, membuat hatinya terus berdebar tak menentu. Ia ingin percaya pada Abizar, tetapi bayangan masa lalu terlalu kuat untuk diabaikan.
Sahabatnya, Livia, duduk di sampingnya, memberikan secangkir teh hangat. “Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Elsa,” kata Livia lembut. “Abizar kelihatan benar-benar tulus. Kau harus memberinya kesempatan.”
“Tapi bagaimana kalau aku salah lagi, Livia?” Elsa menghela napas. “Bagaimana kalau dia hanya bermain-main? Aku tidak bisa melalui rasa sakit itu lagi.”
“Kau tidak akan tahu kecuali kau mencobanya,” balas Livia. “Kadang, kita harus mengambil risiko untuk mendapatkan sesuatu yang berharga.”
Elsa terdiam, menatap bunga-bunga di depannya. Sebelum ia sempat menjawab, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk, dan ketika Elsa melihat nama pengirimnya, hatinya hampir berhenti.
Pesan itu dari Abizar.
---
Di tempat lain, Abizar baru saja keluar dari ruang kerjanya ketika seorang pelayan mendekatinya dengan wajah cemas. “Tuan Abizar, saya pikir Anda perlu melihat ini.”
Pelayan itu menyerahkan ponsel yang menunjukkan pesan terkirim. Abizar membaca pesan itu dengan alis yang berkerut. Kata-kata dalam pesan itu membuat darahnya mendidih.
“Aku tak pernah serius padamu. Ini semua hanya permainan untuk membuat Natasya cemburu.”
“Siapa yang mengirim ini?” Abizar bertanya, suaranya penuh amarah.
Pelayan itu gemetar. “Pesan itu dikirim dari ponsel Anda, Tuan. Tapi saya bersumpah, saya tidak tahu siapa yang melakukannya.”
Abizar tahu ini ulah siapa. Natasya. Ia mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ia tidak hanya harus melawan keluarganya, tetapi juga Natasya, yang tampaknya lebih bertekad dari sebelumnya untuk menghancurkan hubungannya dengan Elsa.
Tanpa membuang waktu, ia mengambil ponselnya dan mencoba menelepon Elsa, tetapi tidak ada jawaban. Ia mencoba lagi dan lagi, tetapi hasilnya sama. Elsa telah memblokir nomornya.
---
Di taman, Elsa membaca pesan itu berulang kali. Air matanya mengalir tanpa henti, rasa sakit yang lama kembali menghantamnya. Ia merasa bodoh telah membiarkan dirinya berharap pada seseorang seperti Abizar. Pesan itu seperti bukti bahwa semua ini hanya permainan.
Livia mencoba merebut ponsel Elsa. “Elsa, jangan langsung percaya. Mungkin ini hanya kesalahpahaman.”
“Tidak ada yang perlu disalahpahami,” balas Elsa dengan suara serak. “Kata-kata itu sudah cukup jelas.”
“Setidaknya dengarkan penjelasannya,” desak Livia. “Kau tahu Abizar bukan orang yang seperti itu.”
“Tapi bagaimana aku tahu dia benar-benar tulus?” Elsa berdiri, air matanya terus mengalir. “Aku lelah, Livia. Aku lelah terus berharap hanya untuk dikecewakan.”
Livia tidak bisa berkata apa-apa lagi saat Elsa pergi, meninggalkan taman dengan hati yang hancur.
---
Malam itu, Abizar memutuskan untuk mengambil langkah drastis. Ia menghubungi seseorang yang ia percaya, seseorang yang bisa membantunya mengungkap kebenaran di balik pesan itu. Teman lamanya, Hiro, seorang ahli teknologi dan juga anggota kelompok Ebizawa, setuju untuk membantunya.
“Kau benar-benar dalam masalah besar, Abizar,” kata Hiro sambil memeriksa ponsel Abizar. “Tapi aku bisa melacak siapa yang mengirim pesan ini.”
“Hanya itu yang aku butuhkan,” balas Abizar. “Aku harus membuktikan pada Elsa bahwa aku tidak melakukan ini.”
Beberapa menit kemudian, Hiro menunjukkan hasilnya. “Pesan itu dikirim dari perangkat lain yang terhubung ke akunmu. Kemungkinan besar perangkat Natasya.”
Abizar menggertakkan giginya. “Aku tahu dia tidak akan berhenti. Tapi kali ini, dia sudah melewati batas.”
Hiro menepuk bahunya. “Hati-hati, Abizar. Ebizawa tidak akan senang kalau kau terus melawan.”
“Aku tidak peduli,” jawabnya tegas. “Aku akan melakukan apa pun untuk Elsa.”
---
Malam semakin larut, tetapi Abizar tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Elsa. Ia tahu, kepercayaannya telah dirusak, dan memperbaikinya akan membutuhkan waktu—waktu yang mungkin tidak ia miliki.
Sementara itu, di sebuah kamar hotel mewah, Natasya duduk sambil tersenyum puas. Ia memegang ponselnya, membaca pesan yang ia kirimkan dengan nama Abizar. Di pikirannya, Elsa pasti akan menyerah sekarang, dan Abizar akan kembali padanya.
Namun, senyum itu menghilang ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Pesan itu hanya berisi satu kalimat:
“Kau akan menyesal melakukan ini, Natasya.”