Arvino tidak bisa menyembunyikan senyumnya setelah mematikan ponselnya dan kembali mengantonginya.
Aiza baru saja mematikan ponselnya secara sepihak dan samar-samar mendengar bahwa gadis itu sedang malu. Mungkin hal ini sangat biasa bagi Arvino sejak dulu ketika melihat hampir semua kaum hawa tersipu-sipu malu setelah berinteraksi dengannya. Tapi kali ini benar-benar berbeda.
Baginya, Aiza hanya gadis biasa dan terbilang sederhana yang memiliki pendirian kuat bahkan dia adalah satu-satunya gadis yang menolak dirinya.
Arvino masih tidak mengerti mengapa hatinya menunjuk seorang Aiza untuk dijadikan sebagai calon istri meskipun hanya sekedar pura-pura bahkan jika dilihat, Aiza lebih cocok menjadi seorang adik untuknya.
Dari kejauhan, seorang pria yang seumuran dengannya menatapnya sebal karena melihat Arvino senyum-senyum sendiri dan segera mendatanginya.
"Mainan baru?"
Arvino mendongakkan wajahnya yang sedari tadi duduk sambil menyeruput Coffenya dan menatap seorang pria yang merupakan sahabatnya sejak jaman sekolah menengah atas bernama Devian.
"Apa maksudmu?"
"Ck!"Devian mendecakkan lidahnya karena mengetahui kebiasaan Arvino yang sejak dulu suka bermain wanita kemudian menarik kursi dan duduk dihadapannya.
"Masih bertanya? Kamu Jangan pura-pura tidak tahu jika saat ini wajahmu terlihat sedang bersemangat mendapat mainan baru."
Sekarang Arvino paham apa yang di maksud Devian. Ia pun berdeham "Bukan mainan baru. Hanya wanita biasa yang berbeda dari lainnya."
"Berbeda?"
"Hm, begitulah."
"Jangan bilang kamu tertarik dengannya? Lebih baik hentikan saja niatmu jika pada akhirnya kamu menyakitinya seperti yang sudah-sudah."
Seorang Waiterss pria muda menghentikan obrolan mereka sambil menyajikan secangkir Hot Amerricano untuk Devian. Sebenarnya, Devian bisa saja membuat secangkir Hot Amerricano mengingat Cafe ini adalah miliknya namun, kedatangan Arvino malam ini membuat Devian memilih menyuruh seorang Waiterss untuk membuatkannya.
"Aku tidak berniat menyakitinya. Malah aku berniat menjadikannya calon istriku."
"Uhukkk!"
Tiba-tiba Devian tersedak oleh Coffenya sendiri dan hampir saja mengenai Arvino yang kini sahabatnya itu menampakkan raut wajahnya yang terlihat santai karena ia tahu, Devian pasti akan terkejut mendengar omongannya.
"What? Apa katamu? Sebentar." Dengan cepat Devian meraih tisu untuk mengelap bibirnya. "Aku yakin saat ini telingaku baik-baik saja atau aku harus ke dokter THT untuk memastikannya."
Dengan santai Arvino menyugar rambut ikalnya kebelakang. "Kamu berlebihan sekali. Sebenarnya ini tidak serius Dev. Hanya berpura-pura dan disisilain dia memiliki hutang padaku."
"Hutang?"
Arvino mengangguk. "Beberapa hari yang lalu dia pingsan dan aku membawanya kerumah sakit. Dia tidak bisa membayar seluruh tagihan biaya rawat inap-"
"Aku sudah menduga kamu akan mengambil kesempatan dalam hal ini dengan cara bernegosiasi oleh urusan pribadi yang kamu miliki. Apakah aku benar?"
Tidak ada jawaban dari pria beriris biru itu. Hanya smirk seorang Arvino yang lagi-lagi membuat Devian semakin muak.
"Mengenai gadis itu, ini pertama kalinya kamu membutuhkan seorang wanita untuk diajak bekerjasama dalam urusan pribadimu. Apakah dia wanita yang terlihat istimewa?"
"Aku tidak tahu." Arvino menghedikan bahunya. "Ntahlah, aku hanya merasa dia seorang gadis muda yang cenderung pendiam dan tidak banyak berbicara bahkan terlihat pemalu apalagi dia berbeda dari wanita lainnya. Aku pikir jika dia menerima tawaranku, secara tidak langsung dia bisa membayar utangnya padaku dan konsekuensi menyukaiku sangatlah mustahil."
"Aku tidak yakin dengan hal itu." Devian mengerutkan dahinya.
"Hanya karena biaya rumah sakit yang tidak ada apa-apanya bagimu kamu rela menjadikannya hutang? Sebenarnya kamu ini niat membantu atau tidak? Dasar tukang perhitungan dan pelit!." cibir Devian.
Arvino tertawa geli "Lebih tepatnya aku tertarik bukan karena hutang itu, tetapi gadis itulah yang memiliki potensi untuk diajak kerjasama agar orangtuaku berhenti menjodohkanku dengan wanita lain."
Devian hanya diam dan mendengarkan tapi hatinya penasaran dengan sosok gadis yang dimaksud oleh Arvino. Sepertinya gadis itu benar-benar beda daripada yang lain sampai seorang Arvino si playboy itu rela mengharapkannya.
*****
Setelah jam kuliahnya berakhir, Aiza segera kelantai tiga untuk menemui Arvino mengingat tugasnya yang sempat terbengkalai karena sakit.
Sambil melangkahkan kakinya menaiki anak tangga, pikiran dan hati Aiza mendadak gelisah tidak karuan. Ini bukan soal tugasnya yang sulit atau bukan karena dirinya yang terlambat mengumpulkan tugas mengingat Arvino sudah memberinya keringanan waktu karena sakit, tapi semua ini karena tentang pria itu.
Dalam benaknya, Aiza mulai menyiapkan kata-kata yang tepat untuk membalas ucapan pria itu yang sejak awal mengajaknya menjadi calon istri pura-puranya.
Oh ayolah lebih baik Aiza berusaha mencari cara untuk bekerja sehingga menghasilkan uang gaji untuk membayar hutangnya pada Arvino daripada mengikuti kemauan pria itu.
Harga diri seorang wanita adalah nomor satu dan sudah menjadi pedoman yang selalu ia pegang semasa hidupnya meskipun saat ini bagi seorang anak kost seperti dirinya yang memiliki utang senilai satu juta rupiah itu sangatlah banyak.
Aiza menarik napasnya sejenak dan menghembuskannya secara perlahan begitu tiba didepan pintu ruangan kelas. Ia pun segera mengulurkan tangannya untuk mengetuk pintu namun tidak terjadi bertepatan saat Arvino membuka pintunya terlebih dahulu.
Aiza terkejut dan kedua matanya bertatapan dengan Arvino namun hanya sebentar hingga akhirnya ia memilih menundukan wajahnya.
"Wah kebetulan sekali." suara Arvino terdengar lebih santai. "Untung saja saya lebih cepat membuka pintunya sehingga tanganmu tidak sempat mengenai d**a saya. Jika tanganmu mengenai d**a saya, saya bisa pingsan karena sekarang ini jantung saya berdebar sangat kencang. Saya tidak tau penyebabnya apa, atau mungkin karena kehadiranmu sekarang."
Jika Aiza tidak memperdulikan etika, mungkin saat ini ia memilih pergi dari sana meskipun Arvino baru saja mengeluarkan gombalan receh untuknya. Berusaha mengalihkan, Aiza berusaha untuk tenang.
"Permisi, Maaf saya hanya ingin mengumpulkan tugas saya minggu lalu yang sempat tertunda."
"Tugas?"
Aiza masih menunduk kemudian mengangguk. Ia berusaha menyembunyikan semburat merona merah dipipinya. Mengetahui hal itu, Arvino berusaha menahan senyumnya dan berdeham.
"Kalau begitu silahkan masuk."
Aiza hanya menurut dan memasuki ruangan kelas yang kebetulan Arvino baru saja menyelesaikan jam mengajarnya
"Em ini Pak tugas saya."
Arvino menerima tugas tersebut "Kamu yakin ini tugasmu?"
Aiza mengangguk yakin sementara Arvino membuka setiap halaman artikel dengan raut wajah yang tidak bisa ditebak oleh Aiza bahkan saat ini ia berharap semuanya benar dan tidak ada kesalahan satupun.
"Ini semua salah!"
"Salah?"
"Iya salah. Semuanya! bahkan tidak ada yang benar."
Mendadak wajah Aiza pucat pasi. Apalagi Aiza sudah yakin semalam suntuk dirinya mengerjakan semua tugas-tugasnya dengan benar bahkan sudah mengeceknya berulang kali.
"Ta-tapi Pak, saya sudah mengeceknya berulang kali."
Arvino mendengus kesal bahkan dengan santainya ia merobek artikel itu didepan Aiza hingga membuat gadis berwajah manis itu bergidik ngeri.
"Pak, tu-tugas saya kenapa Bapak sobek? Saya-"
"Saya sengaja melakukannya karena tugasmu ini salah." dengan santai Arvino tersenyum angkuh dan membuang artikel Aiza begitu saja di lantai.
Jantung Aiza semakin berdebar dan semakin gelisah apalagi aroma wewangian maskulin dari tubuh Arvino kini menyeruak dipenciumannya dan Arvino hendak menghapus jarak diantara mereka.
"Tu-tugas apa Pak? Sa-saya yakin sudah mengerjakan semua tugas saya. Saya-"
"Tugasmu simpel. Jadi calon istri saya meskipun hanya berpura-pura. Atau mungkin calon istri beneran untuk saya."
Aiza memalingkan wajahnya kelain. Niatnya untuk menjawab semua ucapan Arvino terhenti begitu saja karena debaran hatinya yang sulit dikendalikan.
Arvino tersenyum geli. Ia berhasil membuat pipi Aiza merona merah. Tanpa menunggu respon Aiza pun, akhirnya Arvino melenggang pergi begitu saja dan membuat Aiza merosot kelantai sambil memegang dadanya dengan lemas.
Sedangkan Arvino, pria itu hanya tersenyum-senyum dengan santai bahkan tanpa Aiza sadari, ia sudah memberi nilai terbaik pada tugas Aiza meskipun tanpa melihatnya terlebih dahulu mengingat Aiza adalah mahasiswi yang cerdas.
"Aku suka dengan pipi kamu yang barusan merona merah karenaku." gumam Arvino dengan sendirinya bahkan senyumannya. Kalau memang Arvino suka sama Aiza. Iya kan?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan dalam sabdanya,
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خضرة، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّــقُوا الدُّنْــيَا وَاتَقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِـي إِسْرَائِـيلَ كَانَتْ فِي النِسَاءِ
"Sesungguhnya dunia ini begitu manis nan hijau. Dan Allah mempercayakan kalian untuk mengurusinya, Allah ingin melihat bagaimana perbuatan kalian. Karenanya jauhilah fitnah dunia dan jauhilah fitnah wanita, sebab sesungguhnya fitnah pertama kali di kalangan Bani Israil adalah masalah wanita" (H.R. Muslim: 2742)
*****
Kalau emang Arvino suka sama Aiza. Semoga suatu saat dia berniat untuk segera menghalalkannya agar tidak terjadi fitnah diantara mereka. Iya kan?
With Love
LiaRezaVahlefi
Blog ; www.liarezavahlefi.com
Instagram: lia_rezaa_vahlefii