BAB 5

812 Kata
“Jangan sita rumahku! Jangan!” teriak Kokom saat pihak bank memasang papan bertuliskan, RUMAH DISITA. Kokom meraung tak terima. Teriakannya mengundang perhatian warga yang melintas. “Makanya kalau punya hutang dibayar. Giliran rumah disita mengamuk,” ledek Hartati, tetangga Kokom yang sering kali Kokom hina selama ini.” Wajah Kokom tampak pias. Ia tidak berani sekedar menyahut. Ia merasa sangat malu. **** “Ada apa, Dek? Kenapa ada pihak bank ke rumah bude Kokom? Apa bude Kokom terlilit hutang dan tidak bisa membayar?” tanya Firman pada istrinya yang tengah bersantai di sofa sembari menonton FTV kesukaannya. “Bisa jadi Mas. Biarkan saja orang sombong itu menerima balasannya. Dari dulu, selalu saja menghina kami tanpa introspeksi diri,” sahut Lestari tanpa mengalihkan pandangan dari televisi yang ditontonnya. Kebetulan, Bagio dan Rukmini sedang pergi ke pasar. Lestari sama sekali tidak punya niat untuk sekedar melihat situasi di rumah budenya, yang jahatnya melebihi nenek sihir itu. “Kunci pintunya, Mas! Sama jangan lupa jendela juga ditutup semua,” titah Lestari. Firman hanya menurut saja. Dia juga sangat kesal dengan sikap Kokom selama ini yang telah menghina keluarga istrinya. Benar saja, baru saja Firman selesai mengunci pintu, dan menutup semua jendela, gedoran pintu terdengar sangat nyaring. “Rukmini! Bagio! Buka pintunya! Aku tahu kalian ada di rumah. Saudara kesusahan bukannya dibantu, malah ditinggal mengumpet. Dasar manusia enggak punya perasaan!” makinya sembari terus menggedor pintu. Lestari dan Firman berpindah ke kamar. Beruntung, Bagio dan Rukmini baru akan pulang sore hari. “Aduh Dek. Dibuka saja deh. Mengganggu sekali,” usul Firman yang langsung ditolak oleh istrinya. “Biarkan saja, Mas. Pas kami susah saja, dia tidak mau tahu kok. Saudara apa itu? Maunya dibantu terus, dikasih terus, kalau mamakku yang kesusahan, jangankan membantu, melihat saja dia tidak sudi.” “Enggak boleh dendam dong Dek. Mas sebenarnya juga kesal, tapi Mas juga merasa kasihan.” “Enggak perlu dikasihani, Mas. Orang Enggak tahu diri dan enggak tahu terima kasih, biarkan saja. Percuma Mas baik, dia akan selalu jahat sama kita.” Lestari kekeh tidak mau menemui budenya yang terus menggedor pintu. Berselang 10 menit, gedoran sudah tidak ada lagi. Lestari mengintip dari celah jendela. Benar saja, budenya sudah tidak kelihatan lagi. Ia pun, ingin kembali lagi ke kamarnya. Tiba-tiba terdengar bunyi kaca dipecahkan dengan benda berat. Lestari melihat ke arah sumber suara. Serpihan kaca telah berceceran di lantai. Batu seukuran buah semangka 2 kilogram, teronggok di antara serpihan kaca yang hancur. “Astagfirullahalazim, dasar manusia setengah iblis!” teriak Lestari marah. Firman pun menghampiri sang istri dengan wajah cemas. “Kamu enggak papa ‘kan, Dek?” “Enggak papa Mas. Hanya kaget saja.” Lestari pun keluar hendak menemui biang onar. Sementara Firman kembali ke kamar. Matanya lengket sekali. Wajar saja, semalam dia menonton televisi bersama bapak mertuanya hingga larut malam. “Bude! Yang punya hutang Bude, kenapa marahnya sama kami, hah? Pakai acara memecahkan kaca segala.” “Oh rupanya kalian memang sengaja bersembunyi, menghindar agar aku tak meminta tolong pada kalian. Bagus sekali. Saudara susah, pura-pura enggak tahu.” “Loh, ‘kan Bude yang memberi contoh. Kita hanya menyonteknya saja. Kok Bude marah?” sahut Lestari tenang. Kokom pun, tidak bisa berkata apa-apa. Yang dikatakan keponakannya memanglah benar adanya. “Bude mau menumpang di sini, sampai Veni menjemput Bude,” ucapnya kemudian. “Menumpang? Apa aku tidak salah dengar, Bude? Orang kaya sudah turun kasta, ya? Terlilit hutang? Bude sadar enggak? Semua ucapan Bude untuk keluargaku, kembali ke Bude. Karma dibayar kontan.” “Oh, ponakan durhaka kamu. Mengatai aku kena karma? Baru juga kerja jadi guru honor setahun, sudah sombong kamu.” “Apaan sih? Bude ini enggak nyambung. Makanya jadi orang jangan sombong Bude. Butuh juga ditolong. Masuk saja kalau Bude mau menumpang di gubuk kami yang sederhana ini. Tapi maaf Bude, tempatnya sumpek, enggak ada AC, dan Bude enggak betah nantinya.” Semua perkataan Kokom, selalu diungkit oleh Lestari. Lestari sebenarnya anak yang baik. Dia hanya sudah capek saja dengan sikap budenya yang urakan itu. Umur tua, tapi kelakuan minus. “Minggir! Kebanyakan omong!” Kokom mendorong lengan Lestari, hingga terhuyung ke belakang. Beruntung Lestari bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. “Dasar, enggak sopan!” ucap Lestari lirih. Dengan santainya, Kokom langsung nangkring ke atas sofa dan memindah siaran televisi. Lestari yang kesal, karena kekacauan yang ditimbulkan oleh biang onar itu, memilih masuk ke kamarnya menyusul sang suami. Ia biarkan saja, kaca jendela tetap berserakan di lantai. Hanya ia tutupi papan kayu, takut orang tuanya datang lebih awal, dan menginjak pecahan kaca tersebut. “Dasar dungu! Sebentar lagi, kalian akan terusir dari rumah ini. Aku sudah menjual rumah ini pada rentenir desa sebelah yang uangnya aku gunakan untuk membayar hutang ke mereka. Rumahku disita bank, rumah kalian juga harus melayang. Enak saja kalian mau bersenang-bersenang di atas penderitaanku. Beruntung surat tanah itu ada padaku.” Kokom tertawa puas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN