Kokom sudah panas dingin menahan takut, namun entah kenapa, kakinya tetap melangkah mendekat. Bayangan akan kesalahannya menghabisi kedua laki-laki yang hendak menghabisi nyawanya, membuatnya semakin ketakutan.
“Ini Ibu saya Pak. Ibu dari mana saja? Veni khawatir, Bu.” Veni memeluk ibunya yang berdiri gemetaran menahan rasa takut. Wajahnya sedikit pucat, dan matanya sembab.
“Dengan saudari, Kokom? Mari kita bicara di kantor Polisi. Ibu mendapat penghargaan, telah melumpuhkan buronan yang kabur dari hukuman mati karena kasus narkoba dan pembunuhan berantai, sejak dua bulan yang lalu.”
Kokom melongo tak percaya. Apakah Polisi itu sedang mengerjainya, agar mudah menangkapnya, atau mereka memang berkata benar. Pikiran Kokom tak karuan. Tangannya mendadak dingin.
“Penghargaan? Apa saya tidak salah dengar, Pak? Saya sudah membunuh orang Pak. Penghargaan atau hukuman? Saya membunuh mereka untuk melindungi diri saya. Saya tidak ada maksud jahat, atau apa pun itu. Saya terdesak, dan terpaksa melakukannya, Pak.”
“Ibu tidak perlu takut, CCTV di tempat kejadian, sudah menjadi bukti kongkret. Mereka yang menyerang Ibu lebih dulu. Kebetulan, tersangka yang masih hidup, alias dalangnya, menelepon pihak kami, begitu kedua anak buahnya tewas. Di saat panik, sampai lupa kalau mereka itu buronan. Mari ikut kami!”
Veni dan Rangga pun turut menemani sang ibu.
“Ada apa, Mak? Kenapa Bude dibawa mobil Polisi?” tanya Tari pada Rukmini yang juga memandang ke arah luar.
“Mamak juga tidak tahu, Nduk. Apa kita mau menyusul, Nduk? Kasihan Veni.”
“Ayo Bu. Kita berdua saja, Bu?”
“Iya, Nduk. Mau mengajak bu Widya juga enggak papa, kalau bu Widya mau.”
Mereka pun bersiap. Biar sejahat apa pun Kokom selama ini, tetap Tari dan ibunya memiliki hati yang lembut. Mereka lantas tak tega melihat Kokom tersandung masalah. Beberapa tetangga dekat rupanya lada menggunjing, namun Tari abai tidak mau menanggapi. Mereka langsung pergi.
Di Kantor Polisi, Kokom pun benar-benar lega. Ia bebas dari kasus pembunuhan. Saat berusaha melindungi diri, Kokom refleks mengangkat tongkat kayu yang berada tepat di sampingnya dan memukulkan secara membabi buta pada kedua penjahat tersebut.
“Terima kasih Pak.” Kokom melangkah keluar dari kantor kepolisian dengan wajah berbinar bahagia. Mereka langsung pulang ke rumah. Sementara Lestari dan keluarganya, masih terjebak macet. Mereka pun putar balik, setelah melihat mobil Rangga lewat.
*****
“Aku banyak salah sama kalian. Apakah kalian masih sudi memaafkan aku yang penuh dosa ini? Tidak mengapa jika kalian tidak bisa memaafkan aku, salahku begitu banyak. Aku memakluminya,” ucap Kokom dengan suara parau menahan tangis.
“Allah saja Maha Pemaaf Bude, masa kami yang hanya manusia biasa mau berkeras hati dan tidak memaafkan Bude?”
“Iya Mbakyu, kami sudah ikhlas lahir batin memaafkan Mbakyu. Semoga ke depan, Mbakyu menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Jadikan semua pelajaran Mbakyu. Hidayah sudah datang bersamaan dengan kejadian mengerikan yang menimpa Mbakyu.”
“Terima kasih Rukmini. Terima kasih Lestari.” Kokom bergantian memeluk adik ipar dan keponakannya. Hatinya sangat bahagia. Belum pernah ia merasakan, kedamaian seperti ini sepanjang hidupnya.
“Nah kalau rukun begini ‘kan enak dilihat.” Bagio yang baru selesai salat, mendekat ke ruang tamu. Kokom lantas menangis tersedu-sedu dalam pelukan adiknya.
“Maafkan Mbakyu, Bagio! Maafkan Mbakyumu ini!”
“Sudah Mbakyu. Sudah aku maafkan.”
Mereka pun makan siang bersama setelah Kokom kembali tenang. Puluhan tahun tak akur, membuat suasana sangat haru dan berbeda siang ini. Di meja makan, mereka saling memandang penuh rasa bahagia. Terlebih Lestari yang terlihat sangat lega, melihat bapaknya akur dengan bude yang selama ini selalu memusuhi keluarganya.
*****
“Mbak, perut Kumala sakit banget. Kayaknya asam lambungku naik Mbak. Bisakah Mbak membelikan obat untukku di apotek, depan gang?” pinta Kumala memelas.
“Tentu saja Dek. Tunggu, ya?” Kumala pun mengangguk senang. Veni tidak tahu jika Kumala tengah menyiapkan kejutan untuknya.
“Selamat ulang tahun sayang!” Rangga dengan segepok uang yang dibuat buket dan dengan kue ulang tahun berbentuk hati di tangan kanannya, menghampiri Veni yang tampak kebingungan.
“Ya Allah Mas, ini bukan saat yang tepat. Aku buru-buru mau beli obat untuk Mala. Lagian, Mas kok bisa di sini?”
“Enggak usah buru-buru Mbak. Lagian aku baik-baik saja kok.” Mala muncul dan sudah berdiri di dekat mereka.
“Kejutan. Selamat ulang tahun Mbakku. Semoga tetap menjadi istri, ibu, menantu, dan kakak yang baik. Apotek ini, sekarang telah resmi menjadi milikmu Mbak. Mas Rangga membelinya.”
Veni tertunduk sedih. Kejutan ini tentu membuat jantungnya hampir copot. Apotek terbesar dan terlengkap itu, kini menjadi miliknya.
“Ini serius, Mas?” tanya Veni memastikan. Rangga lantas mengecup kening sang istri dan menyuruh Veni menipu lilin yang sejak tadi menyala.
“Kenapa kalian selalu memberiku kejutan yang tak terduga seperti ini?”
“Karena kami bahagia memilikimu, Mbak.” Suasana haru terasa sangat kental. Para pegawai di apotek itu pun, juga memberi ucapan selamat kepada bos baru mereka yang tengah merayakan ulang tahun.
*****
“Astagfirullahalazim, Ibu! Bangun, Bu! Kenapa Ibu diam saja. Badan Ibu juga dingin. Mas, Ibu Mas!” Teriakan Veni membuat seisi rumah panik.
“Ibu sudah meninggal Dek. Ibu meninggal,” ucap Rangga lirih, namun membuat Veni langsung menangis histeris.
“Tidak mungkin Mas, ini tidak mungkin. Kalian mau menyiapkan kejutan lagi ‘kan? Ayo jawab, Mas! Ibu pasti hanya pura-pura tidur saja.”
“Yang tabah Ven, Ibumu telah meninggal dunia.”
Veni tak sadarkan diri. Para pelayat mulai berdatangan. Tari dan keluarganya pun turut kehilangan atas kepergian Kokom. Baru sehari mereka akur, kini Kokom telah kembali ke pangkuan Illahi.
“Sabar, Nduk! Ibumu sudah tenang sekarang. Ibumu meninggal dalam keadaan yang baik. Ibumu sudah pergi dengan tenang, dalam keadaan yang baik. Ikhlaskan Nduk.”
“Ini terlalu cepat Bulek. Veni belum siap kehilangan Ibu.” Veni menangis tergugu di atas gundukan tanah merah.
“Baru sehari kita akur Mbakyu, kamu sudah pergi untuk selamanya. Maafkan segala salahku Mbakyu,” ucap Bagio dengan tangan yang memegang nisan sang Kakak dengan mata berkaca-kaca.
Sementara Kumala dan bu Widya terlihat tengah menenangkan Veni yang sudah lemas. Rangga pun tak kalah hancur melihat keadaan sang istri yang memprihatinkan, karena kehilangan sang ibu.
“Jiwa yang tenang, pergi setelah saling memaafkan. Ibumu sudah tenang Nduk. Doakan, semoga Allah mengampuni segala dosanya.”
“Di hari bahagia Veni, ibu pergi. Veni akan merasa trauma lada hari ulang tahun Veni ke depannya. Di mana hari bahagia itu, disambut duka. Wanita yang sudah begitu berjasa dalam hidup Veni, pergi tanpa memberi tanda. Ibu pergi dalam keadaan sehat. Veni belum siap, Bu.” Veni kembali menangis di pelukan ibu mertuanya. Sementara Nazira juga rewel di gendongan Rukmini.
“Yang kuat, Ven. Semua anak tidak akan Benar-benar siap, kehilangan orang tuanya. Ada Nazira yang membutuhkanmu. Rawat dan besarkan dia seperti ibumu yang membesarkan kamu penuh cinta.”
“Terima kasih. Terima kasih kalian sudah memaafkan dan mendoakan kebaikan untuk ibuku.”
Mereka pun saling menguatkan. Veni bahagia berada di tengah keluarga yang menyayanginya dan sangat peduli padanya.
Jiwa yang pergi setelah kata maaf terucap, akan tenang di alam yang abadi. Saling akur, saling rangkul, jangan bermusuhan dengan saudaramu, karena kamu tidak akan tahu, siapa yang bakal pergi lebih dulu. Kamu juga tidak akan tahu, saudara mana yang datang membantu, saat kamu sedang ditimpa masalah.
Terima kasih sudah mengikuti hingga tamat. Sekian, terima kasih.
TAMAT