BAB 15

1300 Kata
“Mereka kenapa, Bu? Katanya minta teh, kok tehnya sudah jadi malah pada pulang?” Tari yang tidak mengetahui situasi yang terjadi, ia pun tampak bingung. Ia letakkan begitu saja nampan berisi teh dan pisang goreng di atas meja. “Masa kamu tadi dikatai pembantu sama mereka, Ibu kesal, ya Ibu bilang saja kalau kamu dan Firman menantu dan anak Ibu.” “Oalah, jadi Ibu sudah memberitahu mereka siapa Tari dan mas Firman? Pantas saja Bude terburu-buru pergi, pasti malu sama Ibu.” “Biarkan saja. Mereka memang harus tahu kebenarannya. Ibu tidak mau kamu dan Firman direndahkan sama mereka lagi.” “Sebenarnya Tari sudah memberitahu kebenarannya pada mereka Bu, tapi mereka tidak percaya.” “Kamu kok bisa punya saudara kelakuan minus seperti itu, Nduk. Benar-benar tidak punya sopan santun mereka.” “Tari juga tidak tahu, Bu. Mereka sejak dulu tidak menyukai Tari dan orang tua Tari, perkara kami tidak memiliki harta yang banyak seperti mereka.” “Rendah sekali nilai persaudaraan Budemu itu. Menganggap harta adalah segalanya. Menilai sesuatunya hanya dari uang. Pokonya Ibu tidak akan diam saja, jika mereka masih berulah lagi menghina kalian. Akan Ibu hadapi Budemu yang sok kaya itu, Nduk.” “Ibu!” Tari memeluk ibu mertuanya. Ia sangat bahagia memiliki mertua yang sangat menyayanginya. “Ini kenapa kok pada pelukan? Kayak teletubis saja,” goda Firman. “Ih, Mas bikin kaget saja. Tari lagi terharu Mas. Ibu berhasil bikin bude dan Veni kena mental. Selama ini kita tidak berhasil meyakinkan mereka, sekali saja Ibu bicara, mereka langsung percaya.” “Oalah, kira ada apa tadi. Oh iya Dek, bagaimana? Sudah dapat pegawai belum untuk butiknya?” “Sudah Mas. Sudah ada yang melamar dan sesuai kriteria. Secepatnya kita akan meresmikan pembukaan Butik TNF.” “Baguslah kalau begitu Dek. Kita harus kembangkan sayap selebar-lebarnya. Agar di haru tua nanti, kita tinggal menikmati hasilnya.” “Ibu bangga sama kalian. Bisnis yang kalian jalankan semuanya berkembang sangat pesat.” “Ini semua berkat doa dan usaha Ibu. Tari dan mas Firman, tidak akan menjadi apa-apa, tanpa Ibu.” “Jangan begitu Nduk. Sudah kewajiban kami sebagai orang tua memodali kalian. Tidak semua anak bisa seperti kalian. Banyak juga di luar sana, ditinggalkan banyak harta oleh orang tuanya, habis tanpa ada hasil. Kalian luar biasa. Bahkan pencapaian kalian, sudah bisa mengembalikan modal awal. Uangnya yang kalian kirim untuk Ibu, semuanya telah Ibu masukkan kembali ke ATM kalian masing-masing. Itu uang untuk kalian.” “Ya Allah, Ibu!” Keduanya pun memeluk Ajeng penuh ras haru. “Ibu banyak teman yang memiliki bisnis di kota besar. Nanti akan Ibu bantu kamu mengisi barang di butik jika kamu berkenan.” “Tentu saja Bu. Tari mau Bu.” “Entah dengan apa Tari membalas kebaikan Ibu? Tari merasa tidak pantas menjadi menantu Ibu.” “Kamu ini bicara apa toh, Nduk? Ibu tidak pernah memandang kamu sebelah mata. Kamu pilihan Firman yang terbaik. Cukup kamu setia dan sayang sama Firman, itu saja sudah cukup untuk Ibu Nduk.” “Sejauh Firman mencari, kamu satu-satunya yang paling cocok. Semua hanya mengincar harta Firman, berbeda dengan kamu yang langsung menerima lamaran Firman, walaupun saat itu, dia menyamar menjadi tukang ojek online.” “Sudah, Bu. Ayo kita makan. Firman baru saja membuat kue khas Yogyakarta.” “Apa itu, Le?” tanya Ajeng tak sabaran. Tak hanya dididik menjadi pekerja keras, namun sejak kecil Firman juga diajarkan pekerjaan rumah tangga oleh sang ibu. Memasak salah satunya. Apa pun bisa Firman olah. “Ini loh Bu. Firman mencoba membuat wingko. Gurih dan harum Bu aromanya. Ayo dicicipi.” Firman meletakkan piring berisi Wingko yang masih hangat di meja. Ajeng dan Tari menikmati wingko buatan Firman dengan teh hangat yang tadinya hendak disuguhkan untuk Kokom. Berhubung mereka sudah kabur pulang karena malu, jadi tehnya masih utuh. ***** “Ini kenapa dari tadi merengut begitu? Bikin onar di rumah tetangga? Sejak balik dari rumah sebelah, muka kalian jadi masam begitu sih?” tanya Widya menyelidik. “Bukan urusan Anda. Sok tahu banget jadi orang,” sahut Kokom ketus. “Ibumu kenapa, Ven? Kesambet? Masa mak lampir bisa kesambet? Gemetaran lagi. Apa jangan-jangan, kalian kena semprot sama tetangga sebelah?” “Sudahlah, Bu. Jangan banyak bertanya. Veni lagi malas ngomong. Veni mau menyusui Nazira dulu.” Veni pun meninggalkan Widya dan Kokom di ruang tengah.” “Kenapa, Bu? Rupa-rupanya, wajah Ibu tegang sekali. Daripada diam saja tidak jelas, mending buatkan saya teh sana! Kebetulan cuaca dingin, enaknya minum teh hangat.” “Jangan seenaknya memerintah. Saya ini besanmu Bu Widya, bukan pembantu. Bu Widya di sini posisinya hanya sebagai tamu saja kok, bukan tuan rumah. Saya yang tuan rumah di sini.” “Loh, Bu Kokom lupa, rumah Rangga ini saya yang membuatkan loh. Anda hanya menumpang di sini, jangan sok berkuasa deh. Apa susahnya sih, menghidangkan teh hangat buat saya, yang Anda bilang tamu di sini?” Kokom pun diam tidak berkutik. Yang Widya ucapkan memang benar adanya. “Iya, Bu. Tidak ada salahnya Bu Kokom berbaik hati menghidangkan teh untuk Ibu mertua saya,” timpal Kumala yang tengah asyik bermain ponsel sembari sesekali melirik Kokom. “Oh iya, sekalian buatkan camilan, minimal tahu isi atau pisang goreng,” imbuh Widya. ‘Benar-benar manusia menjengkelkan! Awas saja, akan aku kerjai kalian semua,’ batin Kokom kesal. Dengan wajah cemberut Kokom melakukan semuanya. Mulai dari membuat teh, hingga menggoreng pisang. Sementara Veni sedang menyusui Nazira di kamar. “Kenapa sih Tari harus jadi menantunya orang kaya? Pasti habis ini dia jadi sombong. Apalagi jadi menantunya Bu Ajeng orang kaya raya itu. Benar-benar tidak terduga. Apa jangan-jangan dia pakai pelet? Tidak mungkin orang sekaya mereka memperistri perempuan miskin seperti Tari. Aku harus melakukan sesuatu. Veni harus selalu di atas.” Kokom terus berbicara sendiri di dapur sembari menggoreng pisang. ****** “Bu Kokom tidak ikhlas melakukan ini semua? Masa pisang mentah digoreng? Ini teh juga, enggak ada manisnya sama sekali, malah asin” protes Widya setelah memuntahkan pisang goreng yang dimakannya. “Ibu ini tidak bersyukur sekali. Sudah bagus saya mau melakukan perintah Bu Widya layaknya pembantu. Bukannya menghargai malah mencela. Hanya ada pisang itu di rumah. Kalau mau camilan enak, sini kasih saya uang, saya belikan di toko. Perkara teh asin, maklum mata tua, mungkin ke tukar sama garam gulanya.” “Ya pakai uang Bu Kokomlah. Masa mau menghidangkan makanan untuk tamu, tamunya yang keluar uang? Kan enggak pantas Bu. Ada-ada saja besan ibu mertuaku ini,” timpal Kumala yang muncul dari kamarnya. “Bu, Rangga mau ajak Kumala liburan ke Bandung beberapa pekan. Sekalian mau ke rumah teman Rangga. Boleh, Bu?” tanya Rangga yang ikut duduk di sebelah Kumala. “Boleh dong. Sama Kumala saja, atau Veni juga kamu ajak.” “Iya sama Kumala saja dong Bu.” “Kok cuman Kumala yang kamu ajak? Veni juga istrimu, Rangga. Ibu tidak setuju, kalau kalian hanya pergi berdua, tanpa mengajak Kumala” protes Kokom. “Maaf Bu, tetapi Rangga hanya mau jalan dengan Kumala saja. Veni biar saja di rumah mengurus Nazira. Kasihan kalau Veni harus ikut bersama dengan Nazira. Di puncak hawanya sangat dingin di malam hari.” “Bu Kokom jangan ikut campur terus. Biarkan Rangga dan istri barunya menikmati liburan mereka. Lagian selama ini, Veni juga sudah puas diajak Rangga ke mana-mana kan? Kok Bu Kokom tidak terima?” “Liburan ke puncak? Berapa hari, Mas?” “Sekitar satu mingguan.” “Baiklah. Soalnya, aku sudah melamar kerja. Aku tidak mau hidupku hanya bergantung sama kamu Mas. Aku mau punya penghasilan juga.” “Menyindir? Kalau mau kerja ya kerja saja. Enggak usah pakai menyindir segala. Tahu saja, kami cuman menumpang di sini.” “Loh, siapa yang menyindir? Kumala tidak bermaksud menyindir siapa-siapa Bu. Ibu sendiri yang merasa loh ya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN