BAB 13

1110 Kata
Pagi hari dengan cuaca dingin, membuat beberapa orang enggan beranjak dari tempat tidur. Namun tidak dengan Lestari. Dia bersemangat sekali bangun pagi dan membuat berbagai macam masakan untuk dinikmati sekeluarga. Ibu mertua dan bapak mertuanya, akan menginap beberapa hari ke depan, tentu saja membuatnya bahagia sekali. Hari ini, hari pertama mertuanya menginap. Mereka ada kesibukan, jadi baru bisa datang semalam, padahal perjanjian sejak beberapa hari yang lalu. Memiliki mertua orang kaya dan sibuk dalam berbisnis, membuat mereka jarang sekali bertemu. Lestari tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk membahagiakan mertuanya, saat menginap di rumahnya. Jam empat Lestari sudah bangun. Ia mulai menanak nasi, memasak tumis kangkung, membuat daging sapi lada hitam, menggoreng ayam, dan membuat bakwan sayur kesukaan ibu mertuanya. Rencananya ingin membuat rawon, namun pasar belum buka pasca lebaran Idul Adha. Tidak lupa, Tari juga telah menyediakan beberapa makanan untuk camilan, berupa wingko babat, bakpia Pathok, bolu kukus Siliwangi, dan juga buah-buahan segar. “Alhamdulillah, Firman beruntung sekali memiliki istri seperti kamu, Nduk. Sudah cantik, cerdas, penyayang, pintar memasak lagi.” Ajeng mengusap pundak Lestari dengan lembut. Ajeng benar-benar menyayangi menantunya itu. “Anakku yang beruntung Mbak. Anak mbak Ajeng, benar-benar laki-laki yang bertanggung jawab.” “Sudah, jangan saling memuji kami. Tari malu, Bu. Ayo kita sarapan, Bu, Mak. Biar Tari panggil mas Firman dulu, ya? Bapak sudah bangun, Mak?” “Bapakmu sudah jalan Nduk. Katanya mau menengok tanah di ujung jalan. Bapak mau buka kebun di sana.” “Loh, sudah Tari kasih tahu, bapak sama Mamak istirahat. Biar Tari sama mas Firman yang kerja. Lagian jam berapa mereka jalan, Bu? Kok Tari tidak melihat bapak jalan?” “Ya mana bisa Nduk? Bapakmu kangen pegang cangkul, sama tanaman. Enggak bisa dilarang. Jam setengah enam Nduk. Lewat pintu depan Nduk, makanya kamu tidak tahu. “Malah bagus Mbak buat kesehatan. Jangan bilang mas Bagio pergi sama mas Hadi?” “Loh, iya memang sama mas Hadi Mbak. Biarkan saja mereka mencari kesenangan di sini. Nanti kalau jenuh, kasihan.” “Sudah sana panggil suami kamu, Nduk! Katanya tadi mau mengajak sarapan?” “Oh iya, Bu. Tari sampai lupa, gara-gara membicarakan bapak.” Tari pun gegas ke kamar untuk mengajak Firman sarapan. “Bagaimana tinggal di sini, Mbak? Adem, ya? Selama tetangga sebelah tidak berulah adem ayem saja, Mbak. Tapi nanti kalau sudah berbuat onar, Mbak bisa darah tinggi,” Rukmini menarik kursi dan duduk di sebelah sang besan. Mereka mengobrol sembari menunggu Firman dan Lestari. “Berbuat onar, bagaimana maksudnya, Mbak? Saya tidak paham.” “Tidak bisa saya menjelaskan Mbak. Nanti Mbak bakalan tahu sendiri kok. Sebenarnya bukan sekedar tetangga sih, Mbak, tapi kakak kandung suami saya.” “Oalah, jadi tidak akur, Mbak?” “Iya, Mbak.” Tak lama, Firman dan Tari pun datang. Mereka gegas sarapan bersama, tanpa ada obrolan lagi. Selepas sarapan, Ajeng pun duduk di teras. ***** “Siapa yang duduk di depan rumah itu, Ven? Seperti tidak asing? Ibu pernah melihatnya tapi di mana, ya?” Kokom yang berdiri di jendela, matanya menelisik pada sosok Ajeng yang tengah duduk di teras sembari membaca buku karya salah satu penulis pemes, yang namanya melejit di berbagai pf online. Buku berjudul 1 KG BERAS DARI IBU, karya athiexbawell, yang tengah digandrungi para pembaca, terutama para ibu rumah tangga. “Itu bukannya ibu Sri Ajeng, istrinya pak Bambang yang pengusaha kaya di Semarang itu, Bu? Veni pernah melihat wajah mereka di majalah,” sahut Veni saat melihat dan memastikan, sosok yang ibunya bicarakan. “Ah yang benar, kamu? Jadi itu rumahnya? Wah kita bertetangga sama orang kaya dari Semarang Ven? Ibu bangga sekali rasanya.” “Kalian sedang apa? Girang banget.” Suara Kumala mengagetkan mereka. “Apaan sih? Ikutan saja,” sahut Veni ketus dengan tatapan tak bersahabat. “Mbak Veni, bicaralah yang baik. Ibumu ini, mungkin bisa selalu memaklumi sikapmu yang urakan itu, tapi tidak dengan orang lain. Aku tidak suka kamu menjawab pertanyaanku dengan ketus begitu. Pakai sedikit sopan santunmu, Mbak! Mata Mbak Veni juga, begitu sengit menatapku, seolah aku orang yang paling bersalah dalam hidup Mbak.” “Eh, pelakor! Bisa berpikir tidak? Anakku ini sudah sabar menghadapi kamu. Kamu jangan keterlaluan, ya? Jaga sikap kamu!” pekik Kokom dengan menunjuk-nunjuk wajah Kumala. Kumala tak gentar dengan bentakan Kokom. “Tidak usah jadi kompor ya, Bu Kokom yang terhormat! Biarkan anakmu ini terbuka jalan pikirannya. Ibu jangan selalu mendikte pikiran anak Ibu. Tidak baik.” “Sudah, jangan ceramah. Muak aku mendengarnya.” Veni pun beranjak hendak ke meja makan untuk sarapan. Namun tangannya dicekal oleh Rangga, hingga badannya terhuyung ke d**a bidang milik Rangga. “Berbicaralah yang baik pada Kumala! Kamu akan menyesal jika tahu siapa dia sebenarnya.” “Dia pelakor! Dia yang kamu nikahi, walaupun aku keberatan. Apalagi yang tidak aku tahu tentang istri mudamu ini, Mas? Dia orang kaya? Anaknya pejabat? Atau dia wanita karier yang sukses? Ah sudahlah, aku mau makan. Lepaskan tanganku, Mas!” Rangga terpaksa melepaskan tangan Veni, karena Veni memberontak. “Puas kamu, pelakor? Ini gara-gara kamu. Rangga berubah, karena ulahmu.” Kokom memaki sembari melotot tajam pada Kumala. Rangga geram melihat tingkah ibu mertuanya itu. Dia tahu, istrinya sebenarnya baik, hanya didikannya saja yang salah. “Ayo Mas kita sarapan! Aku sudah lapar juga,” ajak Kumala pada Rangga saat Kokom berlalu dari hadapan mereka. “Kita makan di tempat lain saja, Bu. Veni malas makan satu meja dengan mereka.” “Mbak Veni, bisa pindah dari rumah ini, jika merasa keberatan dengan keberadaan kami di rumah ini. Aku sudah capek, melihat sikap Mbak yang tidak ramah sejak kami datang. Ini rumah mas Rangga bukan rumahmu, Mbak. Seharusnya Mbak bisa sedikit menjaga sikap di sini.” “Istri mudamu ini cerewet banget sih, Mas. Memangnya salah kalau aku bersikap seperti ini? Siapa yang rela dimadu? Walaupun aku dulu salah, tapi bukan berarti kalian jadi seenaknya sama aku.” Veni mengeluarkan segala kesal dalam dadanya. Uang tidak tahan lagi dengan perlakuan Rangga dan Kumala. “Kumala benar. Seharusnya kamu introspeksi diri. Kalau kamu bisa membuka hati dan pikiran kamu, kamu akan lebih bahagia. Jangan kamu habiskan hari-hari kamu, hanya untuk berbuat yang tidak baik.” “Bela saja terus. Ibu lama-lama muak juga sama kamu Rangga. Kamu sudah punya Nazira dari pernikahan kamu dengan Veni, seharusnya kamu tidak perlu menyeret wanita dari masa lalu kamu untuk masuk kembali. Kamu ini memang suami yang tidak bisa dipegang omongannya, jadi wajar kalau Veni jadi pembangkang. Kamu jangan protes!” “Ibu siapa? Kenapa Ibu mengaturku? Ingat ya, Bu, sikap Ibu bisa membuatku berpikir dua kali untuk mempertahankan Veni. Jadi mulai sekarang, jangan lagi meracuni pikiran Veni, Bu. Biarkan dia jadi istri yang berbakti.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN