“Jaga dirimu, awas ya jangan selingkuh di sana.” Ancam Ilona setengah bercanda, namun mimik mukanya menunjukkan keseriusan. Bagaimana pun ia tidak bisa menampik kecemasan dan resiko dari hubungan jarak jauh, apalagi hubungan mereka baru manis-manisnya lalu ditinggal dengan sejibun janji dan harapan.
Ye Jun menowel ujung hidung bangir Ilona, tersenyum lebar lalu meraih ponselnya untuk bicara. “Kamu boleh korek hatiku keluar kalau aku kedapatan selingkuh.” Gumam Ye Jun lalu meraih tangan Ilona lalu mencondongkan badan agar mudah mencium pipi Ilona. Kecupan yang tak bisa dihindari itu membuat Ilona tercengang, tak menyangka jika si oppa begitu nekad menunjukkan kemesraan di depan umum.
Ilona meninju pelan ke d**a Ye Jun, gombalan manis itu begitu melelehkan hatinya. Menghibur perasaan yang tentu merasa sedih karena sedang dihadapkan dengan perpisahan di depan mata. Seakan tak mau kalah, Ilona pun memberanikan diri, mengubur rasa malu serta canggungnya lalu menghambur memeluk Ye Jun. Pria itu menyambutnya hangat, begitu erat, enggan terlepaskan, ia memejamkan mata demi meresapi kedekatan ini lebih dalam.
“Eh?” Celetuk Ilona yang merasa melihat seseorang berwajah familiar ada di dekatnya. Ia masih berpelukan dengan Ye Jun namun konsentrasinya sudah terbelah pada keadaan di sekitar. Ye Jun menyadari sikap Ilona yang mulai tak menikmati kehangatan pelukannya, desis lembut yang barusan terlontar dari bibir wanita itu tak luput dari pendengarannya.
“Ada apa?” Tanya Ye Jun, ikut penasaran saat ia melepaskan pelukan dan melihat ekspresi Ilona yang tampak bingung.
Ilona menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis, tetapi pandangannya masih terfokus pada satu titik yang ia yakini ada seseorang di sana. “Ah, tidak apa-apa.” Tepis Ilona, berusaha meyakinkan Ye Jun bahwa tidak ada yang penting. Ia kembali menatap lekat pada Ye Jun, memilih menikmati detik-detik perpisahan sebelum pria itu masuk ke ruang tunggu. ‘Tapi aku yakin tadi kayaknya mirip muka Stefi, atau memang dia ada di sini?’ Seru Ilona penuh tanda tanya dalam hati, masih belum move on dari rasa penasarannya.
Ye Jun melirik jam tangannya, waktu yang menjadi jurang pemisah mereka saat ini pun telah mencapai detiknya. Ilona tampak paham, tanpa perlu diperjelas pun ia tahu pertanda apa dari raut wajah sedih kekasihnya. Ye Jun meraih tangan Ilona menggenggamnya erat. “Jaga dirimu, aku akan segera menemuimu lagi."
Di sudut lain, Stefi mengelus dadanya yang belum reda dari rasa terkejut. Bisa-bisanya ia bertindak ceroboh berpindah posisi demi mempermudah pemantauan dari jarak dekat, sehingga nyaris saja persembunyiannya ketahuan. “Sial, wanita itu sudah lihat aku. Ah semoga dia nggak kenal aku lagi.” Rutuk Stefi sembari menghibur dirinya agar tidak terlalu merasa bersalah. Berulang kali sudah ia bertingkah ceroboh sehingga membuat bosnya kesal, untung saja Ae Ri masih memberinya kesempatan, jika tidak maka habislah sudah kariernya sebagai mata-mata amatiran. Ia mencuri pandang ke arah Ilona dan Ye Jun, tampak wanita itu sedang melambaikan tangan kepada Ye Jun.
“Oh, beneran kok si centil itu tidak diboyong ke Korea, syukurlah. Onnie pasti senang, hmm... Aku harus segera kabur dari sini dan memberi laporan padanya.” Seru Stefi dengan girang, kemudian ia bergegas berlari pergi sebelum Ilona benar benar memergokinya.
Ilona menutup pintu mobil lalu menarik sabuk pengaman dan mengaitkannya, menghela nafas kasar untuk ke sekian kalinya. Ia melirik ke kursi sebelah, mendadak hatinya pun sendu, baru beberapa menit terpisah dari Ye Jun saja rasanya sudah seperti terpisah sebulan. Ia tak menyangka segitu candunya dengan pria berkulit putih merona itu, pesonanya, senyumnya, semua yang ada pada diri Ye Jun nyaris membuat Ilona gila. Kepalanya diantukkan pada setir, tetapi ia lupa sudah menyalakan mesin mobil sehingga saat benturan itu terjadi, justru suara klaksonlah yang meresponnya. Ia terkesiap, dibuat terkejut oleh klakson mobilnya sendiri. Niat hati untuk merenungi nasib kejombloan lokal pun batal, mood Ilona untuk berderai air mata melepas kepergian kekasihnya bahkan tak direstui oleh mobilnya. “Setelah ini, aku harus gimana? Setelah dia pergi, aku baru sadar kalau aku benaran sendiri. Iya sih kami sudah pacaran, tapi kalau hubungannya jarak internasional begitu, tetap saja aku terlihat jomblo secara nasional.” Lirih Ilona, miris sekaligus geli dengan perkataan yang terlontar barusan. Bisa-bisanya ia membuat diksi sekonyol itu.
Baru saja Ilona hendak menjalankan mobilnya, ingatannya tentang kenyataan hidupnya yang pahit baru menyadarkan bahwa ia tak boleh terlarut dalam satu kesedihan saja. Horor terbesarnya yang sesungguhnya adalah ia tidak punya tujuan dan tempat tinggal. Dua minggu bersama Ye Jun sebagai Guide amatiran namun digaji fantastis oleh pria itu membuat Ilona terlena dan lupa akan derita yang sesungguhnya. Ia tidak punya rumah untuk pulang, setelah rumah mewah ayahnya disita oleh Bank dan ayahnya mendekam di penjara karena kasus korupsi perusahaan. Ia nomaden sekarang, tanpa tempat tinggal dan tanpa pekerjaan. Ilona menepuk jidatnya berulang kali, berharap otaknya bisa encer jika ditoyor seperti itu.
“Gawat, aku harus tidur di mana malam ini? Nggak mungkin juga mulai nyari kos jam segini, kena macet bentaran aja udah sore. Huft....” Keluh Ilona, lama lama ia terbiasa bicara sendiri. Susah mencari teman yang klop di jaman ia tidak punya apa-apa lagi. Hanya mobil mewah yang dikemudikannya yang selamat dari sitaan bank. Sebelum mengenal Ye Jun pun, ia terpaksa harus tidur di dalam mobil lantaran tidak punya uang untuk menyewa kosan.
Ilona mengetuk jemarinya, berpikir keras apa yang harus ia lakukan setelah meninggalkan bandara. “Jenguk papa... Kayaknya nggak mungkin deh, jam kunjungnya sebentar lagi sudah berakhir. Hmm... Aku terlalu capek untuk ngapa-ngapain sekarang, bolehkah aku mengurung diri sejenak? Dia barusan pergi, aku mau standby nunggu kabar dia sampai ke negaranya. Dia pasti menghubungiku secepatnya, tapi aku harus ke mana dulu sekarang?” Gumam Ilona lagi lagi bingung. Beberapa saat berpikir, akhirnya ia bisa mengembangkan senyumannya. Ilona menjentikkan jari hingga menimbulkan bunyi, kemudian meraih setir mobil dan menggerakkan laju mobilnya perlahan meninggalkan area parkir bandara.
Dan di sinilah Ilona berakhir, di dalam kamar hotel yang sebelumnya ia tempati bersama Ye Jun. Ia meletakkan tas ranselnya begitu saja, merentangkan kedua tangannya lalu menghirup nafas dalam-dalam. Berharap masih bisa mencium aroma tubuh Ye Jun yang tersisa dalam ruangan VVIP ini. Pengorbanannya begitu besar, bukan masalah perasaan saja namun kebucinan ini membuat Ilona nekad menguras tabungannya yang prihatin itu hanya untuk mengejar kenangan satu malam lagi di kamar bekas mereka. “Sia sia aku bayar enam belas juta, ternyata sudah nggak tersisa baunya dia.” Gerutu Ilona terdengar konyol. Sudah pasti apa yan diincarnya tidak akan ia dapatkan. Begitu check out dari kamar ini, segala sisa kenangan bahkan handuk bekas Ye Jun pun ikut dibabat bersih oleh petugas kebersihan hotel.
Ilona melangkah lebih ke dalam, menyisiri setiap sudut ruangan yang punya banyak kenangan tentang Oppa itu. Senyumnya mengembang, membayangkan seakan pria itu masih ada di sini bersamanya. “Kamu udah sampai mana, Oppa? Apa masih di atas langit yang di bawahnya lautan?” Gumam Ilona bertanya hal yang tak masuk akal. Andai ia tahu seberat itu rindu, mungkin ia akan berpikir ulang untuk menerima ajakan Ye Jun yang hendak memboyongnya ke Korea. Tapi tidak mungkin, Ilona tak bisa meninggalkan ayahnya begitu saja di sini hanya demi kebahagiaannya.
Pandangan Ilona beralih pada sudut paling mencolok di ruang tidur utama, sebuah kasur king size yang sudah kembali rapi itu membuat wajahnya merona. Melihat ranjang ini membuat imajinasinya kembali bangkit, seakan bisa mereply adegan tak senonoh yang mereka lakukan di atas sana. Dalam sekejap Ilona menempelkan kedua tangannya di pipinya, terasa hangat saking malunya ia saat ini. “Astaga kenapa aku jadi begini? Baru sadar kalau aku sudah bertindak sejauh itu dengan dia. Virginku... Aku sudah nggak perawan lagi gara-gara dia.” Lirih Ilona, antara menyesal dan takut dengan kenyataan yang tak bisa berubah itu. Ia sudah menyerahkan satu satunya harta berharganya sebagai seorang wanita kepada pria yang kini berjauhan dengannya. Sebuta itu hatinya akibat cinta, padahal belum tentu juga pria itu bisa dipegang janjinya.