Ello menyesap rokok yang terselip dijari, detik kemudian kepulan asap keluar dari mulut dan hidung. Lalu kembali tangannya asik memaikan game FF yang sudah lebih dari sebulan sering ia mainkan.
Tak begitu lama Tere menyusul ke teras kamar. Tangannya melambai-lambai, berharap asap rokok tak mengenai wajahnya.
Ello mempause game, menarik rokok yang nyelip dimulut. “Kenapa?”
“Pck, jan ngerokok deh, bisa membunuh yang kena asapnya.” Tere ikutan duduk dikursi samping Ello.
“Ckk, gue kan nggak nyuruh lo duduk disitu.” Kembali lanjutin game yang sempat ia hentikan.
“El, bik Rumi kemana?”
“Tadi pamit, dia pulang kampung. Suaminya sakit dan anaknya baru aja keterima kerja diluar kota.” Jelas Ello tanpa menatap Tere.
Tere mengelus perut dengan wajah cemberut, lalu menatap Ello yang masih serius sama game dan rokok.
“El,” rengeknya, membuat Ello mengalihkan fokus. “Aku laper.” Ucapnya dengan nelangsa.
Ello mengerjap beberapa kali, cukup terkejut melihat kepribadian Tere yang seperti anak kecil. Padahal umurnya berada jauh diatasnya.
“Anjirr!” umpatnya saat menatap ponsel yang sudah bertuliskan ‘game over’. Menaruh ponsel dimeja, kembali menyesap rokoknya.
“Emang di dapur nggak ada makanan?” tanya Ello setelah mengepulkan asap dari mulutnya.
Tere geleng kepala dengan masih menatap wajah suaminya.
“Kita makan diluar aja.”
“Hn.” Tere ngangguk dengan senyum sumringah.
**
“Kamu sering kesini?” tanya Tere disela makan.
Kali ini mereka berada disebuah caffe. Caffe yang letaknya agak jauh dari rumah.
“Enggak sering, Cuma beberapa kali aja.” Memasukkan potongan daging ke mulut, lalu mengunyahnya pelan.
Tere kembali memasukkan spagety yang ada digarpu kedalam mulut. “Makanannya enak banget.”
Ello hanya mengulas senyum tipis. Lalu mereka lanjut makan dalam diam. Beberapa kali saling lirik, lalu tersenyum tanpa alasan.
“Boleh gabung?”
Suara seorang pria yang membuat Tere dan Ello mendongak.
Tere menjatuhkan sendok dan garpu. Meraih gelas yang berada didekatnya. “Kita udah selesai. Silakan pakai mejanya.”
Ello yang tak mengenal Galih, tetap diam dan lanjutin makan. Bahkan Tere tak mengatakan apapun. Mungkin aja ini salah satu mantan pacar Tere. Begitu pikirnya.
“Cck, nggak usah jutek gitu lah. Kita lama nggak ketemu, lo nggak kangen sama gue?” Galih menarik kursi untuknya, lalu duduk tepat didepan Tere.
Tere membuang muka dengan wajah yang terlihat kesal. “Gue nggak pernah berharap ketemu lagi sama lo. Ngapain kangen? Nggak penting banget!”
Galih menatap Ello yang terlihat tak terganggu dengan kedatangannya. “Selera lo ... bocah kek gini? Ppfft ....” sedikit tertawa karna yakin jika Ello masih bocah, dan tentu umurnya berada dibawahnya.
Ello mengelap mulut dengan tissu, lalu nyengir. “Kenapa? Ganteng ya?”
Galih tertawa meremehkan. “Berapa umur lo?”
“Kenapa nanyain umur?”
“Gue yakin pipis lo masih miring.”
Ello menautkan alis. “Jadi ... pipis lo ... lurus?”
Galih tertawa kecil. “Ya lebih lurus dari pipis lo lah ... bocil!” menekan kata bocil.
Ello hanya terkekeh pelan. “Baru ketemu aja lo ngomongin pipis. Cukup memperkenalkan, seberapa buruknya lo!” ngomong pelan tapi tajam, membuat Galih melotot. Amarah yang memang mudah terpancing itu langsung berkobar.
Ello mendorong kursi, lalu beranjak. Menatap Tere yang diam memperhatikan wajah marah Galih. “Ayo, pulang.” Ajaknya.
Tak menjawab, Tere mengekor langkah Ello. Membayar tagihan, lalu keluar dengan bariritan. Langkahnya terhenti saat tangan Tere ditarik oleh seseorang, hingga membuat badan Tere berbalik.
“Kenapa lo bekuin rekening gue, anjing!” ucap Galih dengan menatap Tere tajam.
“Aaww ... lepasin, sakit, Gal.” Pinta Tere memohon.
Melihat istrinya meringis kesakitan, Ello segera beranjak, gantian mencengkram lengan Galih. “Lepasin!”
Kedua lelaki itu saling bertatapan sengit untuk beberapa detik.
“Jangan ribut disini, mas. Bisa mengganggu kenyamanan pengunjung lain.” Satpam menghampiri mereka.
Tak ingin urusan menjadi lebar, Galih memilih melepaskan tangan Tere, lalu mengibaskan tangannya hingga cengkraman Ello terlepas.
“Aktifin kartu ATM gue sama punya mama. Awas kalo sampai besok belum aktif juga.” Mengancam dengan tangan yang menuding tepat diwajah Tere.
Ello menepis tangan Galih yang menuding. “Jan nge gas, lo jelek!”
Galih menggeram tertahan, gantian menuding Ello dengan sangat kesal. “Lo belum tau siapa gue!”
Dengan santai Ello mengulurkan tangan. “Kenalin, gue Ello. Lo siapa?”
“Cih!” tak menanggapi apapun, Galih meludah kesamping dengan tatapan tak ramah. Lalu ngeloyor masuk kedalam, gabung sama beberapa teman-temannya.
Ello hanya menyipit, segera berjalan menuju ke motornya dan naik. Motor melaju pelan setelah Tere naik keboncengan.
**
Novel ini hanya ada di aplikasi innovel/dreame. Jika kalian baca selain di aplikasi, itu artinya kalian membaca barang curian. (karya, Yuwen Aqsa)
**
Motor merah Ello berjalan menyusuri jalanan kota yang terbilang masih ramai. Jam masih menunjuk diangka delapan malam, masih terlalu sore untuk ndekem didalam kamar.
“Mbak,” panggil Ello seraya noleh kebelakang.
“Ya,” Tere sedikit maju agar bisa mendengar yang akan Ello ucapkan.
“Tadi itu siapa?” tanyanya dengan melambatkan laju.
Tere berpegangan jaket Ello. “Tadi itu namanya Galih. Anaknya papa dari istri kedua.” Jelasnya.
Ello memahami sesuatu. “Jadi, papa mertua nikah dua kali ya?”
Tere ngangguk. “Iya, papa punya istri dua.”
Ello tak lagi menanggapi, diam dengan pikiran sendiri. Tere pun begitu, diam manatap punggung Ello ynag memang sempurna.
Bhukk!
Tak sengaja motor Ello masuk ke kobangan, membuat Tere menjatuhkan tubuh kepunggung Ello.
“El, hati-hati dong.” Omelnya, kembali beringsut mundur membuat jarak.
Ello hanya tersenyum dengan menatap Tere melalui kaca spion. “Mbak, mampir ke tempat temen gue bentar ya.”
“Iya.” Tanpa berfikir panjang, Tere mengiyakan saja.
Tak berselang lama, motor merah Ello masuk ke jalanan yang agak gelap, karna tempat nongkrongnya memang berada di jembatan yang sudah tak terpakai. Melewati jalanan yang sudah rusak, lalu masuk ke jembatan yang ambles, namun masih kokoh untuk menopang motor.
Merasa takut, Tere mengikis jarak, tangannya berpegangan dikedua kaki Ello. Matanya menelisih kesisi kiri kanan yang terdapat beberapa orang nongkrong disamping besi pembatas.
Beberapa menit kemudian motor Ello berhenti tepat disamping beberapa motor gede yang lainnya. Tentu milik teman-teman Ello. Detik kemudian Ello mematikan mesin motor. Sedikit menoleh ke Tere yang masih mepet ke punggungnya.
“Gue samperin mereka dulu.” Ucapnya lembut.
“Hah?” tere menoleh kearah beberapa anak lelaki yang menatap kearahnya. “Uumm, iya.”
Dengan berpegangan pada kedua bahu Ello, ia turun dari boncengan, lalu Ello menyusulnya turun.
“Lo disini dulu nggak apa kan?” tanyanya dengan menatap wajah Tere yang terlihat tak nyaman.
Tere sedikit manyun, menarik lengan jaket Ello. “Jan lama-lama. Aku nggak nyaman disini.” Ucapnya memohon. Membuat hati Ello menghangat, menatap wajah manja Tere.
Memasukkan kedua tangan kedalam saku celananya, lalu ngangguk dengan sedikit senyuman. “Cuma bentar kok.”
Ello beranjak, berjalan kearah beberapa temannya. Jabat tangan ala mereka, lalu saling sapa singkat.
“Tumben lo boncengin cewek, nyet.” Verso menatap kearah Tere yang berdiri disamping motor.
Ello hanya tersenyum tipis. Mengeluarkan dompetnya, menarik beberapa lembar uang warna merah, menyerahkan ke Lexi.
“Nih, kalahnya gue kemarin.”
Lexi menepis tangan Ello yang mengulurkan lembar-lembar uang. “Dua puluh jeti dari Dean kemarin masih ada, woii.”
Ello menaikkan alis. “Iya juga ya. Waktu itu kan gue menang balapan.” Menggelengkan kepala, kembali memasukkan uang kedalam dompet. Lalu memasukkan kekantong celana.
“Betewe, dia pacar lo?” tanya Lexi dengan berbisik.
Ello tersenyum kecil, menepuk pundak Lexi pelan. “Bini.” Jawabnya dengan berbisik tepat ditelinga Lexi.
“Hah?!” Lexi melotot karna terkejut, bahkan suaranya menyita perhatian beberapa temannya.
“nyet, lo nggak kenalin ke kita nih? Cuma lo pajang disono?” Geon ikutan nimbrung sambil mengarahkan pandangannya kearah Tere yang melipat kedua tangan didepan d**a.
“Bukan tempat yang pas buat kenalan.” Jawab Ello dengan sedikit kekehan. “Gue cabut ya. Kasian bini gue, kedinginan.” Melambaikan tangan dan berjalan menjauhi teman-temannya.
“Eh, tadi Ello bilang ‘bini’?” Zayn bertanya untuk memastikan.
Lexi ngangguk. “Dia juga bilang kalo itu bininya.”
“Kamvret emang! Menghilang dari dunia jomblo tuh anak.” Sahut Geon.
Tere segera membonceng saat Ello sudah menyalakan mesin motor. Sedikit melempar senyum saat motor berjalan melewati teman-teman Ello. Kali ini Tere memegangi jaket Ello dari sisi kiri kanan dengan tubuh yang mepet tanpa jarak.
Ello menunduk sebentar, menatap tangan Tere yang mencengkram erat bagian pinggangnya. Satu yang Ello paham, Tere takut ditempat gelap. Meraih tangan itu, melingkarkan keperutnya, lalu memegangi kedua tangan Tere agar tetap melingkar disana.
“Mbak,” panggilnya.
“Hhmm.” Jawab Tere lirih.
Bisa Ello rasakan jantung Tere yang berdebar tak normal. Ello mengelus tangan Tere lembut, lalu tersenyum merasakan Tere yang menyandarkan kepala ke punggungnya. Hangat dan sangat nyaman, itu yang dia rasa.
“Muter bentar yah.” Ajaknya setelah lama hanya saling diam.
“Terserah kamu.” Jawab Tere dengan kepala masih bersandar di punggung Ello.
Menikmati moment untuk pertama kalinya. Ya, ini untuk pertama kali Ello membonceng wanita. Dari dulu dia belum pernah pacaran, kalo ngomongin cewek yang suka, ada beberapa anak yang suka sama Ello, bahkan mereka rela lakuin apa aja asal bisa kencan bareng Ello. Sayangnya Ello nggak tertarik sama mereka semua.
Untuk Tere, entahlah. Mungkin karna status mereka sah dimata Allah dan negara. Atau memang jodohnya.
Beberapa menit berlalu, motor Ello kembali masuk ke halaman rumah luasnya. Berhenti tepat didepan rumah. Sedikit menoleh untuk melihat istrinya turun dengan selamat. Lalu dia kembali menjalankan motor masuk ke garasi.
Mencabut kunci motor, turun dan berjalan dengan bersenandung lirih. Masuk kedalam rumah yang tentu sepi, karna pembantunya tak ada.
Dengan tanpa mengetuk pintu lebih dulu, Ello masuk ke kamar. sepi, Tere tak ada diruangan. Bisa dipastikan wanita itu berada didalam kamar mandi.
Ello merebahkan tubuh ke sofa, menaruh dompet dan ponsel diatas meja. Lalu meraih remot teve dan menyalakannya.
Tak begitu lama pintu kamar mandi terbuka, menampilkan sosok Tere yang sudah dengan dress tidur sebatas lutut dan tanpa lengan.
“El,” panggil Tere seraya duduk disisi tempat tidur. Tak menjawab, Ello hanya mengalihkan pandangan dari layar teve didepannya. “Makasih ya, tadi udah belain aku didepan Galih.”
Ello tersenyum, beranjak, ngambil celana kolor dan membawanya masuk ke kamar mandi.
Sementara Tere beringsut naik ke atas tempat tidur, merebahkan tubuh disana, lalu menarik selimut hingga menutupi tubuh.
“Mbak!” panggilan Ello didalam kamar mandi.
Tere yang hampir memejamkan mata, kembali terjaga, segera bangun dan menatap pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Ada Ello yang kepalanya nongol disana.
“Ambilin celana kolor dong. Celana gue basah.” Pinta Ello dengan nyengir.
Tere melotot tak percaya dengan permintaan Ello. “iihh, nggak! Ambil sendiri aja.” Tolaknya.
“Yakin nggak mau ambilin?” pertanyaan yang menantang.
“Iya, ambil sendiri aja.” Kembali Tere menjatuhkan kepala ke bantal, membungkus tubuh dengan selimut tebal.
“Yaudah, jan noleh ya. Ntar lo liat yang gondal gandul.” Ello membuka pintu lebar, lalu ....
“Stoop! Tetep didalam.” Akhirnya Tere memilih bangun dari pada matanya ternodai.
Ello terkekeh dengan kembali menutup pintu. Menanti Tere ngambil celana untuknya. Dengan wajah yang tak bersahabat, alias cemberut, Tere membuka lemari, ngambil celana Ello yang berwarna navy. Lalu berjalan dengan wajah yang menatap kesamping. Tangannya mengudara dengan menenteng celana kolor milik suami.
“Makasih, istriku.” Ucap Ello seraya ngambil celana digenggaman Tere.
“Iissh!” berdesis setelah pintu kamar mandi kembali tertutup, lalu dia pun kembali naik keatas tempat tidur. Merebahkan diri dengan nyaman dan langsung merem.
Sekitar sepuluh menit Ello baru keluar dari kamar mandi. Perutnya mules karna kebanyakan makan pedes dikantin sekolah tadi siang. Pandangannya tertuju kearah tempat tidur, dimana Tere yang sudah pergi kealam mimpi.
Berjalan pelan mendekati Tere, jongkok tepat didepan wajah Tere yang lelap. Tersenyum menatapnya, ingatannya kembali ke pertemuan pertama mereka.
‘Gue bukan tipe cowok yang mudah jatuh hati, tapi, entah ... sejak pertama liat elo, ada rasa yang berbeda. Bukan kasihan, bukan juga iba. Tapi, gue tertarik.’ Batinnya.
Tangannya terulur, merapikan anak rambut agar tak menutupi wajah lelap istrinya. Senyum Ello tak juga pudar, menyentil hidung mancung Tere dengan sangat pelan.
‘Elo cantik.’ Pujinya dalam hati.
‘Semoga lo betah hidup sama gue.’
“Jan tinggalin aku, pliiss stay with me.” Tere gondeli lengan Ello saat cowok itu hendak beranjak dari hadapannya. Matanya terpejam, tapi tangannya menggenggam erat lengan Ello.
“Plliss, don’t go.” Lirihnya lagi, ada lelehan air yang keluar dari ujung mata.
Ello kembali jongkok, menggenggam tangan Tere. “Aku disini, aku jagain kamu.” Bisiknya.
Mengelus puncak kepala Tere dengan lembut, lalu mengecup keningnya perlahan. “Bobok yang nyenyak ya, aku disini.” Bisiknya tepat ditelinga Tere.