G.A Bag 8

1131 Kata
Satu jam kemudian sebuah mobil Vans memasuki halaman kastil sisi kanan. Lionello sengaja menyuruh anak buahnya untuk langsung masuk ke bangunan sisi kanan supaya tidak menarik perhatian para anak-anak yang saat ini sedang berada di gedung utama kastil. Nampak seorang wanita dengan perut yang membuncit serta dua anak keluar dari dalam mobil Vans dengan pengawalan beberapa orang berseragam. Langkah mereka memasuki sebuah lorong benteng untuk sampai di ruangan penjara, tempat yang menjadi penyekapan dari suami wanita hamil serta ayah dari dua anak laki-laki. Di dalam sebuah ruangan penjara yang memiliki ruang cukup luas, seorang pria melangkah pelan menuju Lionello yang sedang bertatap muka dengan Benvenuto. Pria itu membungkukkan badan, seolah memberi hormat pada pria yang saat ini tengah berdiri membelakanginya. "Mereka sudah tiba, Signore," lapornya. "Bawa mereka masuk," perintah Lionello sembari menyeringai pada Benvenuto. Pria yang merupakan anak buah Lionello itu pun kembali membungkukkan badan sebelum memutar arah. Langkahnya tertuntun menuju pintu keluar untuk menjemput tiga orang yang saat ini berdiri di depan pintu. "Jangan lakukan itu pada istri dan anakku!" teriak Benvenuto. Wajahnya sudah basah oleh peluh serta airmata membayangkan kedua anak serta istrinya yang sedang hamil akan dibunuh dengan kejam di depan matanya. Lionello tidak menggubris ucapan Benvenuto. Dia berbalik arah dan menjauh dari pria itu. Hingga langkahnya terhenti di depan pintu. Dia berpapasan dengan anak serta istri Benvenuto. Wanita itu menatap cemas pada Lionello dengan tangan kirinya memegang perutnya, sedangkan tangan kanannya memeluk kedua putranya yang saat ini tengah berusia delapan tahun. Kedua anak laki-laki itu memiliki wajah yang mirip. "Signore ... Di-di mana suamiku?" tanya wanita itu dengan gugup menandakan kecemasannya. "Sayang sekali ... Kau mempunyai suami sepertinya," gumam Lionello pelan saat menatap wanita itu. Dia berjalan melewati wanita tersebut yang mulai digiring oleh pengawal untuk masuk ke dalam ruangan. Lionello lebih memilih pergi dan tidak menyaksikan secara langsung hukuman yang akan diterima oleh mereka. Hatinya tiba-tiba saja goyah membayangkan wanita hamil itu akan mendapatkan hukuman. Sehingga dirinya memutuskan untuk menyuruh para anak buahnya yang menghukum mereka. Langkah kakinya terhenti saat tatapannya dipenuhi oleh pemandangan beberapa anak yang saat ini tengah menikmati pizza lengkap dengan minumannya di halaman kastil. Wajah mereka nampak sumringah. Nevio, anak yang paling besar di antara mereka terlihat sabar menyuapi seorang anak yang beberapa menit lalu digendong Lionello. Mereka tidak saling mengenal karena Benvenuto melakukan penculikan di beberapa kota sekaligus, tetapi mereka terlihat sudah sangat akrab. *** Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam tetapi Lionello belum kunjung pulang. Sudah hampir setengah hari Violetta berada di mansion keluarga Giovinco. Saat ini dirinya sedang menemani Nieve duduk di halaman belakang. Sedangkan Enzo memilih istirahat di kamar karena merasa tidak enak badan. Bola mata Violetta dipenuhi oleh pemandangan taman. Entah mengapa dirinya begitu menyukai taman di halaman belakang mansion. Bahkan sejak pertama datang, Nieve mengajaknya menghabiskan waktu di halaman belakang menjelang makan siang. "Setiap malam Lio senang berada di taman," ucap Nieve membuka pembicaraan di antara mereka. Violetta tersenyum tipis seraya menahan cangkir teh yang ada di depan mulutnya, perlahan dia menyeruput teh tersebut. "Dia bahkan sering tidur di sana. Kau lihat pohon oak itu?" Jari telunjuk Nieve tertuju pada sebuah pohon oak tua yang terlihat rindang dengan hiasan lampu. "Dia selalu tidur di bawah pohon itu. Bahkan sampai sekarang Lio masih melakukannya," tutur Nieve diiringi tawa kecilnya. Dia menoleh ke arah Violetta ketika mendengar wanita itu membalas tawanya. Nieve menatap sendu padanya hingga menarik perhatian Violetta sendiri. "Lionello adalah pria yang baik. Itu sebabnya aku memilihmu menjadi istrinya kelak. Karena aku yakin, kau adalah wanita yang cocok untuknya." Violetta terdiam mendengar ucapan Nieve yang terdengar tulus. Hatinya bergetar, membuat dirinya menundukkan tatapannya. Mungkinkah Lionello adalah pria yang baik? Pertanyaan itu membuat hatinya merasa gundah. Satu sisi dia belum sepenuhnya menerima perjodohan sedangkan sisi yang lain hatinya seolah ingin mempercayai ucapan Nieve, ibu dari pria yang akan dinikahinya dalam waktu satu bulan ke depan. "Sudah jam sembilan malam, lebih baik kita masuk ke dalam," ajak Nieve seraya bangkit berdiri membuat Violetta mengikuti. Mereka beriringan masuk ke dalam mansion. Nieve memeluk punggung Violetta dan sesekali tersenyum pada wanita itu, sedangkan Violetta tidak bisa untuk tidak membalas senyuman wanita yang bersikap baik dan lembut padanya. "Sepertinya malam ini Lio tidak pulang," ucap Nieve ketika mereka sudah sampai di ruang tengah. "Kau bisa menginap di sini. Nanti besok pagi sopir akan mengantarmu pulang." "Tapi ... Aku belum sempat mengatakan hal ini pada Madre," jawab Violetta. Nieve tersenyum tipis seraya memegang kedua pundak Violetta. "Kau tidak perlu cemas. Aku yang akan mengatakan hal itu pada Clara. Ayo, aku akan menunjukkan kamar Lio. Kau bisa tidur di sana," ucap Nieve dan menarik Violetta untuk menaiki anak tangga. Awalnya Violetta ingin menolak ajakan Nieve yang memintanya menginap, terlebih harus tidur di kamar pria asing tersebut. Tetapi mulut Violetta seolah terkunci rapat hingga membuatnya sedikit merasa kesal pada dirinya sendiri. Nieve membuka pintu kamar Lionello. Dia menarik lengan Violetta untuk masuk ke dalam kamar. Kedua kaki Violetta melangkah ragu memasuki sebuah kamar yang sangat luas dan sederhana, menunjukkan kamar seorang pria lajang. "Kau bisa tidur di sini. Jangan khawatir, Lio sepertinya tidak pulang malam ini. Karena biasanya dia akan menepati janji waktu pulangnya. Ini sudah malam sedangkan dia berjanji akan pulang waktu siang. Jadi, dia mungkin tidak akan pulang malam ini karena ada sesuatu yang membuatnya selalu sibuk," ucap Nieve mencoba menghilangkan kecemasan dan rasa sungkan Violetta untuk menginap. Violetta terdiam sejenak sampai akhirnya dia mengangguk pelan. Nieve tersenyum lega melihat Violetta setuju. Dia mengelus lembut wajah wanita itu membuat bola mata Violetta mengikuti pergerakan tangannya. "Selamat istirahat. Semoga kau tidur nyenyak, Sayang," ucap Nieve pelan lalu menarik wajah Violetta. Wanita itu mematung saat Nieve menarik wajahnya untuk mengecup keningnya. Nieve kembali tersenyum sampai akhirnya dia melangkah keluar dari kamar tersebut. Tak lupa Nieve juga menutup rapat pintu kamar itu. Violetta mengalihkan tatapannya dari dinding pintu yang kini tertutup rapat. Dia memandangi seisi kamar yang terlihat sederhana tetapi menyiratkan sosok pria pemilik kamar tersebut. Dia berjalan pelan ke arah ranjang yang memiliki lapisan kain sprei berwarna putih dengan selimut berwarna gelap, begitupun dengan sarung bantal. Dia mendudukkan bokongnya di tepi ranjang, sedang bola matanya masih asyik mengabsen setiap jengkal dari ruangan tersebut. Di sisi kanan ranjang terdapat set sofa berkain beludru berwarna merah menyala dengan meja kecil ditengahnya. Lalu di belakang sofa ada sebuah pintu yang dia yakini sebagai pembatas kamar mandi dan ruang ganti pakaian. Sedangkan di pojok kiri terdapat satu set meja kerja lengkap dengan rak lemari berdinding kaca. Violetta bangkit berdiri. Dia berjalan ke arah dinding kaca kamar tersebut. Sebelah tangannya menarik gorden untuk menutupi ruangan kamar. Setelah merapatkan gorden, Violetta berjalan ke arah ranjang. Ketika dia akan membaringkan tubuhnya di atas ranjang empuk tersebut, dirinya tertegun mendengar pintu kamar terketuk dari luar. Dalam sekejap Violetta langsung bangkit berdiri hendak membuka pintu. Tersirat kecemasan jika tiba-tiba pemilik kamar itu pulang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN