Dua wanita itu nampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Wanita paruh baya dengan rambut ikal sepunggungnya mendekor ruangan belakang taman bersama beberapa pelayan rumahnya. Sedang putrinya menyiapkan kue ulang tahun untuk kakaknya. Setelah mengeluarkan loyang dari oven, tangannya terlihat sigap memindahkan kue itu ke atas piringan besar yang biasa digunakan untuk meletakkan kue. Dirinya pun melapisi kue itu dengan butter cream lalu menghias atasnya. Membutuhkan waktu sepuluh menit untuk menyelesaikan hiasan sederhana tersebut.
Senyumnya mengembang saat berhasil menyelesaikan kue ulang tahun. Dirinya segera pergi menghampiri ibunya di halaman belakang. Sampainya di halaman belakang, terdengar tawanya melihat tingkah ibunya yang sedang mengomentari dekorasi para pelayan.
"Biarkan aku membantumu, Ma," ucapnya membuat ocehan wanita paruh baya itu berhenti.
Clara menghela napas pelan melihat putrinya bergabung bersama para pelayan menata halaman itu sebaik mungkin. Saat dirinya ingin membantu, wanita itu justru mencegah dan meminta ibunya untuk duduk sembari menonton mereka.
Satu jam kemudian dekorasi pun selesai dengan rapi. Wanita berambut cokelat lurus dengan panjang sepunggung itu menghela napas lega lalu menghampiri ibunya. Dia duduk di samping Clara yang sedang menikmati segelas teh.
"Bagaimana Ma, Gustav pasti menyukainya kan?" tanya wanita itu sembari mengambil kue kering yang tersaji di atas meja.
"Jika kakakmu tidak menyukainya, Madre akan menarik telinganya," jawab Clara membuat putrinya tertawa.
Tawa wanita itu terhenti saat melihat kedatangan Marco, pria berusia enam puluh tahun yang menjadi ayahnya serta suami Clara. Marco mendekat ke arah dua wanita yang sangat disayanginya lalu mengecup pipi mereka bergantian.
"Kapan Gustav akan pulang?" tanya Marco dan menyusul duduk di kursi besi dengan cat warna putih. Dia meluruskan tangannya di atas kepala kursi sehingga terlihat seperti sedang merangkul istrinya.
"Aku sudah menghubunginya, Pa. Dia mengatakan akan pulang secepatnya setelah menyelesaikan pekerjaannya," jawab wanita itu.
Violetta Gutiérrez atau sekarang lebih dikenal dengan nama Violetta Castiglione, seorang wanita keturunan Spanyol yang dirawat dan diangkat menjadi anak oleh pasangan Marco dan Clara sejak dua puluh tahun yang lalu. Insiden mengerikan yang terjadi di depan matanya membuat wanita itu hampir gila dan mengalami depresi. Sehingga Nieve—istri Enzo Giovinco, meminta Clara untuk merawat dan mengangkatnya menjadi anaknya. Karena Enzo yang tidak bersedia merawat anak tersebut akibat kecerobohan yang dilakukan oleh mendiang ayahnya.
Kejadian itu terjadi saat usia Violetta menginjak tujuh tahun, sebuah usia yang masih terbilang dini untuk melihat kasus pembunuhan ayahnya sendiri. Ya. Kenangan buruk itu cukup membuatnya tersiksa hingga Clara akhirnya bisa menyembuhkan mental Violetta dengan bantuan dokter dan psikolog. Namun sebagai gantinya, Violetta tidak dapat mengingat semua hal yang pernah terjadi padanya sebelum menjadi anak angkat Clara. Sehingga dirinya berpikir jika Clara dan Marco adalah orangtua kandungnya, begitupun dengan Gustav. Dirinya berpikir jika pria yang terpaut usia dua tahun lebih tua darinya adalah kakak kandungnya yang bersikap baik dan selalu menjaganya.
"Kau sudah menghubungi Signora Giovinco?" tanya Marco pada istrinya. Sedangkan Violetta lebih memilih menyantap kue kering tersebut.
"Ya. Aku sudah menghubunginya. Mereka akan datang," jawab Clara.
"Nonno tidak datang, Ma?" tanya Violetta.
"Tidak, Sayang. Nonno sedang kurang sehat. Tadi Zia sudah menelepon Madre," jawab Clara.
Violetta menghela napas pelan. Padahal dirinya merindukan kakeknya tersebut. Kalau saja keadaan kakeknya sedang tidak sakit, sudah pasti pria lansia itu sudah ada di sampingnya saat ini.
Perhatian Violetta teralihkan saat merasakan ponselnya bergetar di dalam saku celana pendeknya. Dia pun merogoh celana untuk mengambil ponselnya. Senyumnya mengembang saat melihat nama temannya yang menelepon.
"Ma, Pa, aku masuk dulu. Maria menelepon," pamit Violetta dan mencium pipi kedua orangtuanya bergantian.
Tanpa menunggu lama, wanita itu segera bangkit dari kursi dan berlari masuk. Clara hanya menggeleng pelan melihat tingkah putrinya. Dirinya kembali menikmati segelas teh yang tersaji di atas meja.
"Tak terasa Gustav akan berusia dua puluh sembilan tahun," gumam Clara diiringi senyuman.
Marco mengelus pundak istrinya. "Bujuk dia untuk menikah. Setelah itu kita tinggal membujuk Vio," ucap Marco.
Clara hanya menghela napas pelan mengingat putranya belum menikah. Hal tersebut pun dikeluhkan oleh Nieve karena putra semata wayangnya belum menikah padahal usianya menginjak tiga puluh tahun.
"Signora juga mengeluhkan hal yang sama. Dia mengatakan jika Signore Lionello belum ingin menikah," ucap Clara.
"Gustav dan Signore Lionello, mereka berdua seperti kakak beradik yang mempunyai watak hampir sama."
***
Nampak seorang pria sedang duduk dengan tenang. Sorot mata tajamnya mengikuti arah seorang wanita yang sedang menari di atas lantai dansa tanpa sehelai benang. Hanya lukisan yang menempel di permukaan kulitnya yang putih. Sebelah tangan pria itu tertekuk di atas sandaran lengan pada sofa. Sedang jemarinya terlihat asyik bermain dengan bulu-bulu halus di sekitar dagu.
Merasa diperhatikan secara terang-terangan olehnya, wanita itu tersenyum nakal seraya menaiki anak tangga menuju arahnya. Sampainya di depan pria berjas hitam, wanita tersebut kembali meliuk-liukkan tubuh di depannya. Seolah ingin memamerkan keseksian yang disuguhkan secara percuma untuknya.
Pria itu kini menyandarkan punggung lalu melipat kakinya. Sepasang netra cokelat miliknya masih menatap wanita itu dengan sangat datar. Menandakan jika dirinya tidak merasa tertarik sama sekali dengan tubuhnya. Saat wanita itu ingin mendekat, pria lain yang berdiri di samping sofa itu langsung menghalangi langkahnya membuat penari stripper itu menatapnya tak suka.
"Kau tidak bisa mendekat," ucap pria bernama Gustavo dengan nada suara terdengar mengancam.
Wanita itu berdecak kesal sembari menjatuhkan tatapan memohon pada pria yang sedang duduk di sofa itu. Tetapi pria itu tidak memberikan isyarat apapun pada anak buahnya menandakan jika dirinya tak memberikan ijin pada wanita itu untuk mendekat.
Penari stripper itu pun membalikkan arah tubuhnya hingga menampakkan bagian belakang. Sebelum meninggalkan lantai itu, dia kembali menari dan menggoyangkan pinggulnya seraya menoleh ke belakang, dengan memberi tatapan memohon supaya mendapat ijin untuk mendekatinya.
Setelah merasa tidak ada respon apapun darinya, wanita itu pun menuruni anak tangga dengan perasaan dongkol. Sedangkan pria yang berdiri itu hanya menghela napas pelan melihat tingkah tuannya. Dia pun kembali berdiri di samping tuannya.
Pria itu menegakkan tubuhnya seraya tersenyum melihat orang kepercayaannya tersebut merasa kesal pada tingkahnya. Dia meraih segelas Vodka lalu meminumnya. Setelah meletakkan gelas itu kembali di atas meja, dia menginstruksikan Gustavo untuk duduk di sofa yang berseberangan dengannya.
"Berhenti menatap seperti itu pada mereka, Signore," pinta Gustavo.
Lionello Giovinco, pria berusia tiga puluh tahun itu hanya tersenyum saat mendengar ucapan Gustavo. "Itu cukup menarik. Jika kau ingin, kau bisa mencobanya," jawab Lionello lalu menyalakan sebatang rokok.
Gustavo kembali menghela napas menghadapi tingkah Lionello. Siapa yang tidak jatuh hati pada sorot mata pria pemimpin Leone Nero tersebut? Belum pernah ada stripper yang berhasil mendekat padanya karena Gustavo selalu menghalangi. Gustavo melakukan hal itu pun atas perintah dari Lionello sendiri.
Lionello seolah memamerkan keseksian dari sorot matanya untuk menggoda para wanita stripper di dalam gedung Torre Del Dio tersebut. Namun, tidak memberikan ijin pada mereka untuk mendekat ataupun menyentuh tubuhnya. Sehingga Gustavo yang selalu menjadi tameng karena tingkah tuannya.
"Jam berapa acara pesta perayaan ulang tahunmu?" tanya Lionello setelah cukup lama diam.
"Satu jam lagi, Signore."
Lionello bangkit berdiri diikuti Gustavo. Langkahnya menuruni anak tangga. Mereka berhenti di depan sebuah lift berdinding kaca. Keduanya masuk ke dalam lift setelah pintu lift terbuka, lalu mengantar mereka menuju lantai dasar.
Gustavo membuka pintu mobil untuk Lionello saat mereka sudah berada di basement gedung tersebut. Tanpa menunggu lama, Lionello pun segera masuk ke dalam mobil diikuti Gustavo yang duduk di kursi depan, tepat di samping supir pribadi Lionello, Ariulfo.
Mobil sedan berwarna hitam itu pun melaju meninggalkan gedung tersebut. Kini pemandangan sore hari yang disuguhkan oleh jalanan kota hanyalah kepadatan lalu lintas hingga membuat Lionello sering memejamkan matanya sembari bersandar pada jok mobil.
~Tbc