Di sebuah perusahaan besar, Jade-Corporation.
Seorang pemuda tampan dan berwibawa, terlihat tengah terduduk angkuh di atas kursi singgasananya. Memainkan pisau lipat di tangan kanannya, sembari memutar berlahan kursi panas yang ia duduki. Berbicara dengan nada deep voice-nya, pada sosok pemuda yang kini menunduk takut.
"Kau sudah mencari gadis yang aku inginkan?" tanyanya datar.
"Sudah, Tuan,"
"Ingat! Aku tidak suka barang bekas. Jika sampai aku tahu, bahwa gadis yang kau bawa untukku sudah tidak lagi tersegel. Maka, nyawamu yang akan menjadi taruhannya."
SRATTT!!!
Sosok pemuda yang diketahui bernama Vector tersebut melemparkan pisau lipatnya begitu santai, tepat kearah bawahan yang ada di depannya. Untung saja sosok bawahan itu bisa menghindar dengan gesitnya.
"Ck, insting yang bagus," kekehnya santai.
Tak tahu saja jika sosok itu sudah ingin mati berdiri, beruntung malaikat pencabut nyawa tak berada di sampingnya.
Tak lama kemudian muncul sosok bawahan Vector yang lain, terlihat berlari tergopoh-gopoh dengan napas tersengal-sengal.
"Tu-Tuan,"
"Ada apa?!" geram Vector, merasa jika bawahannya tersebut tidak berlaku sopan padanya.
"Markas kita sudah tercium oleh pihak FBI,"
"Sialan!" umpat Vector, melempar asal barang-barang yang ada di atas meja kerjanya.
"Pindahkan semua markas kita! Jangan sampai mereka menemukannya!" perintahnya.
Semua bawahan pemuda tersebut segera bergegas pergi.
Vector tengah dalam perjalanan pulang ke kediamannya. Jangan pikir jika pemuda itu tidak memiliki keluarga. Dia punya, biar bagaimanapun seorang Vector Jade, juga hanya manusia biasa.
"Ck, ternyata kau sudah mengetahui siapa diriku. Dasar hama kecil," kekeh Vector, melirik ke arah spion mobilnya, melihat sebuah mobil hitam tengah mengekor di belakang mobilnya.
Mobil yang mengikuti mobil Vector merupakan seorang mata-mata. Vector tak bodoh untuk tak mengetahui semua itu, nyatanya mobil yang ia tumpangi sudah dilengkapi dengan alat-alat canggih. Jika ada musuh mendekat, maka mobil itu akan mendeteksi secara otomatis.
Vector tersenyum dan membelokkan mobilnya ke arah sebuah club malam. Yang diketahui club tersebut adalah milik keluarganya. Tak sembarangan orang bisa memasuki bangunan tersebut. Hanya keluarga Jade yang bisa memasukinya.
Dengan santai Vector memasuki club itu. Sedang di belakangnya ada sesosok pemuda memakai jas hitam lengkap dengan topi dan masker yang menutupi separuh wajahnya.
"Maaf, apa anda keluarga Jade Grub? Tunjukan ID anda!" pinta sang penjaga di mulut pintu.
Vector menyunggingkan sebelah bibirnya, menatap remeh sosok pemuda di luar sana.
"Ck, kau tidak akan bisa menangkapku!" lirih Vector, tersenyum simpul.
"Hei ... Tuan Vector!" sambut sang sahabat, yang kebetulan bekerja di club tersebut.
"Sesuai dengan seleramu," bisik sosok itu, seraya menunjuk ke arah kumpulan para gadis cantik di ujung ruangan.
"Kirimkan dua ke kamar pribadiku!" perintahnya dengan senyuman evil tergambar di bibir sexynya.
"Baiklah!!! Tunggu kedatangan mereka, semoga mereka bisa membuatmu puas, Tuan Vector," kekeh sahabat Vector, terlampau hafal dengan kelakuan sang ketua Mafia.
***
"Ck, kau berani membayarku berapa?!" remeh seorang gadis cantik nan sexy, jangan lupakan sepuntung rokok yang terapit di kedua jarinya. Sesekali ia menghisap benda tersebut, hingga menimbulkan kepulan asap dari bilah bibir merah menawannya.
"Sesuai dengan keinginanmu!" ucap seorang pria di hadapannya.
Sosok gadis yang di ketahui bernama Catalina Juliette itu hanya menyunggingkan senyum jahatnya.
"Seberbahaya apa musuhmu itu? Hingga kau berani menawarkanku imbalan yang begitu besar?" bisik Catalina, begitu mengerikan.
"Kau akan mengetahuinya sendiri, dia adalah sosok yang begitu kuat. Jika kau berhasil membunuhnya, maka aku akan memberikan apapun yang kau inginkan," sosok pria itu menyunggingkan sebelah bibirnya.
"Ck, tidak ada yang sulit bagi Catalina. Siapkan semua uangnya!" perintah Catalina dengan entengnya.
Sosok pria itu memberikan semua file dokumen mengenai siapa sosok yang harus gadis itu lenyapkan.
Catalina mengangguk, dan menyetujui permintaan pria tersebut.
"Vector Jade, pemimpin perusahaan Jade-Corporation," Catalina membaca nama calon mangsanya yang tertera di kertas putih, di hadapannya.
Ke esoknya paginya.
Tanpa menunggu lama, Catalina langsung menuju ke kantor milik Vector.
"Maaf apa anda sudah membuat janji dengan Tuan Vector?!" cegah sosok pria berbadan kekar di pintu loby.
Catalina menyunggingkan senyum manisnya. Sembari mendekatkan wajahnya di samping telinga pria itu.
Membisikan sebuah kata-kata.
"Atasanmu sudah memesanku! Ijinkan aku masuk, jika tidak ingin mati!"
Sosok pria itu membolakan kedua bola matanya.
"Ba-baik, Nona! Silahkan masuk!" ucapnya kemudian.
Catalina tersenyum evil, membenarkan kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya.
Tanpa basa-basi, Catalina langsung memasuki ruang pribadi Vector.
Vector tersenyum sinis, menatap sosok gadis cantik bertubuh tinggi dengan pakaian elegan namun begitu menggoda.
"Apa kau orangnya?" tanya Vector.
Catalina tak bodoh untuk tak mengerti arah pembicaraan pemuda tersebut.
"Begitulah!" sahutnya santai, mematik ujung rokoknya dan menghisapnya pelan, kemudian menghembuskan asap rokok itu di wajah Vector.
Vector hanya diam, tanpa ada respon marah atau semacamnya.
"Apa kau yakin? Jika belum tersentuh oleh siapapun?" bisik Vector begitu sensual.
Catalina tersenyum menggoda. Mencondongkan tubuhnya dan berbisik didepan bibir pemuda tampan tersebut.
"Jika sampai aku pernah disentuh orang lain, maka kau bisa menghabisiku, Tuan,"
Vector tersenyum, ia menyukai tipe gadis tanpa ada rasa takut seperti gadis ini.
"Siapa namamu? Aku suka gayamu."
"Catalina, Tuan," Catalina menarik dasi pemuda tersebut untuk lebih mendekat ke arahnya.
"s**t!" Vector susah tak bisa menahan gejolak yang semakin membuncah di dalam tubuhnya. Tanpa basa-basi, Vector segera menggendong tubuh Catalina menuju ke kamar pribadinya.
Beberapa jam telah berlalu.
Mereka berdua sudah selesai dengan kegiatan panasnya. Catalina tak menyangka jika pengalaman pertamanya akan begitu melelehkan, namun inilah yang ia tunggu. Menunggu pemuda itu lengah, dan segera melenyapkannya.
"Sebenarnya apa maumu?" bisik Vector, ia tau jika Catalina bukanlah gadis biasa.
"Kau ingin tahu?" bisik Catalina.
"Tentu,"
JLEB!!!
Belati kecil sudah menancap di d**a Vector. Pergerakan gadis itu terlalu cepat, tanpa bisa Vector hindari.
Vector memelototkan kedua matanya, memegang d**a kirinya yang tertancap belati tersebut.
Catalina tersenyum menang.
"Inilah yang aku inginkan, kematianmu!" ucapnya untuk yang terakhir kali.
"Ka-kau ....," desis Vector.
"Sssttt ... jangan banyak bicara, Tuan. Karena racun di belati itu akan semakin cepat menyebar di dalam tubuhmu!"
Catalina memakai pakaiannya kembali dan segera pergi dari tempat tersebut. Mendial nomor seseorang yang telah menyuruhnya untuk membunuh Vector.
"Sudah selesai! Siapkan semua permintaanku!"
***
Vector tersenyum miring, seraya mencabut belati kecil yang menancap di d**a kirinya. Sang iblis tidak akan mati hanya karena belati kecil seperti ini. Ck, jangan bercanda. Vector sudah terbiasa terkena benda-benda kecil seperti ini. Terkena lima peluru sekaligus saja tidak membuatnya mati, apa lagi hanya sebuah belati berlumur racun. Tak ada apa-apanya!. Tubuh Vector sudah kebal dengan segala racun, mungkin hanya berefek kelumpuhan selama satu Minggu saja.
"Cari keberadaan gadis itu! Aku penasaran siapa sebenarnya dia?!" Vector bergumam, sedang yang diajak bicara sibuk menjahit luka di d**a pemuda tersebut.
"Jangan terlalu meremehkannya!" cerca sosok pemuda yang sekarang menempelkan kain kasa di d**a Vector. Pemuda itu tak lain dan tak bukan adalah Albert.
"Baik!" singkat Albert.
Tak butuh waktu lama bagi sang asisten, untuk melacak keberadaan gadis misterius itu.
"Seorang gadis pembunuh bayaran."
Vector menyunggingkan sebelah bibirnya.
"Menarik." gumamnya penuh arti. "Awasi gerak-geriknya! Aku tidak ingin dia lolos dari pantauanmu!" perintahnya.
Albert ikut menyunggingkan senyum evilnya, bukan perkara berat jika hanya mengawasi sosok gadis nakal seperti Catalina Juliette.
"Siapa orang yang menyuruh gadis itu untuk melenyapkan ku?!" tanya Vector dengan nada dinginnya.
"Chen-Company!" sahut Albert, dengan nada datarnya. Asisten dengan atasan tak kalah berbeda, sama-sama mengerikan.
"Ck, berani bermain dengan Vector Jade rupanya! Kau tau apa yang harus kau lakukan, Al?!" decaknya.
"Sesuai dengan keinginan Anda, Tuan!"
Albert bergegas pergi, menjentikkan ibu jari dan jari telunjuknya, mengkode beberapa anak buah, untuk mengikuti pergerakannya.
Vector tersenyum sinis, menatap puluhan layar monitor yang tersusun rapi di hadapannya. Menampilkan sebuah gambar pergerakan dari berbagai kalangan manusia di setiap sudut wilayah kekuasaannya.
"Chen Hwaji ... tunggu kedatangan malaikat maut mu!" desisnya.
***
BRAKK!!!
Suara gebrakan pintu di kantor utama perusahaan Chen-Company. Lebih tepatnya di ruang utama sang CEO-Cahen Hwaji.
"Si-siapa kalian?! PENGAWAL!!!" teriaknya, dengan mimik wajah ketakutan. Menatap kelompok pemuda berpakaian jas serba hitam dengan corak tato elang di lengan semua anggota. Melambangkan bahwa mereka adalah kelompok dunia bawah dalam kepemimpinan seorang Vector Jade.
"Panggil lah! Panggil semua pengawalmu!" kekeh sosok pemimpin kelompok tersebut-Albert.
"PENGAWAL!!! SIAL!!" umpat pria paruh baya berbadan bongsor itu, merasa frustasi karena anak buahnya tak ada kunjung menampakkan diri.
"Ch, sekeras apapun dirimu berteriak, semua hanya akan sia-sia. Karena seisi kantor ini sudah musnah oleh peluru revolver anak buahku!" jelasnya.
Pria-Chen hanya bisa membelalak dengan bibir bergetar. "Ti-tidak ... ini tidak mungkin!" gugubnya.
"Sudah siap menemui malaikat maut mu? hm?" bisik Albert, di samping telinga pria tersebut. Jangan lupakan, ujung revolver dingin berwarna perak yang kini sudah menempel di pelipis Pria-Chen.
GLEG!!
Chen menelan ludahnya berat, jantungnya sudah berdegup kencang. Ia tak bisa melakukan apa-apa lagi, selain pasrah. Hanya batin dalam hati yang hanya bisa berucap. Maafkan aku, anak dan istriku ... selamat tinggal. batinnya berteriak.
Dan.
DORR ... DORR ...
Dua besi panas menembus pelipis pria tersebut. Hingga membuatnya diam tak bergeming, dengan mata terbuka.
"Fiuffhh ...," Albert meniup ujung revolver nya, yang terlihat mengeluarkan sedikit kepulan asap. "Sudah selesai, bereskan mereka!" perintahnya, sambil melenggang pergi meninggalkan ruangan berbau anyir tersebut.
Albert tersenyum pongah, mendial nomor sang atasan.
"Semua beres! Sesuai keinginanmu." ucapnya penuh kemenangan. Selanjutnya, memasukkan kembali benda pipih yang tadi tertempel di telinga kanannya. Kedalam saku celananya. Jangan lupakan, seringaian tajam yang sedari tadi menghiasi bibir sexynya.