Keesokan paginya Shilla sudah beraktifitas seperti biasa, melupakan perkataan kakak beradik yang semalam terdengar menyakitkan.
Shilla masih tak menyadari ada tugas Rachel yang belum dikerjakkan. Padahal hari ini akan dikumpulkan. Jika kelas Rachel berbeda dari Shilla, maka Rachel akan langsung meminta tugas yang sudah jadi pada Shilla. Maksudnya jika perintah tugas ditulis tangan, maka menggunakan tulisan tangan Shilla. Dan jika tugasnya di print, maka Shilla akan memberikan hasil jadi setelah di print out. Yang jelas Rachel menerima tugas jadi dan tidak mau direpotkan.
Membantu sang ibu menjadi rutinitas yang dijalaninya selama ini. Setelah itu, berangkat menuju kampus. Jika kemarin berangkat 2 jam lebih cepat dari jadwal karena menghindari Revan, maka hari ini pun sama. Bedanya tak hanya menghindar dari Revan namun juga adik lelakinya, Raka. Shilla masih merasa terbebani oleh pengakuan Raka yang ia dengar.
Berjalan santai memasuki gerbang tinggi fakultas setelah sebelumnya menaiki angkutan umum untuk sampai. Koridor tampak lengang. Tak terisi banyak orang. Hanya beberapa yang hadir dengan mengenakan kemeja dengan warna dominan abu-abu dan nama organisasi terpampang di punggung. Seragam khas anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi periode ini. Sepertinya ada kegiatan pagi bagi para anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi.
Shilla memasuki kelas yang tentu hanya ada dirinya. Duduk dan membuka tas ,membaca materi yang belum terlalu di mengerti.
Lima belas menit berlalu. Sudah ada sekitar tujuh sampai sepuluh orang yang berada di dalam kelas. Saling mengobrol dan bercanda. Kadang, Shilla ingin merasakan menjadi mereka yang memiliki banyak teman. Ingin merasakan tertawa bersama, pergi bersama, dan membagi kebahagiaan maupun kesedihan bersama. Namun, Shilla juga sadar. Dan lebih mensyukuri apa yang sudah Tuhan beri padanya. Inilah jalan hidupnya. Tentunya ini merupakan yang terbaik bagi dirinya.
Shilla sering berfikir, jika dirinya berkuliah di tempat yang biasa, apakah akan ada yang mau berteman dengannya? Tapi kembali, Shilla memutuskan fikiran itu sendiri dan belajar bersyukur karena dirinya bisa masuk ke salah satu universitas swasta terbaik yang ada di daerah ini. Banyak yang menginginkan menimba ilmu di sini, kenapa juga dirinya mengeluh?
Shilla merasa ingin buang air kecil. Dirinya bangkit berjalan menuju toilet terdekat. Sendiri. Setelah menyelesaikan panggilan alam itu, Shilla hendak kembali menuju kelas. Sepuluh menit lagi kelas akan dimulai.
Baru juga satu langkah meninggalkan pintu kamar mandi, Shilla dihadang dan didorong masuk kamar mandi lagi.
"Heh, babu!"
Shilla terkejut. Menengkok kanan kiri yang untungnya sepi. Tak ada yang memakai kamar mandi lagi. shilla merasa, akan ada hal yang tak diinginkan terjadi.
"Ada apa Chel?" Tanya Shilla menundukkan kepalanya.
"Mana tugas gue?" Dengan tidak tau malunya, Rachel tetap berkata lantang. Tak takut sedikitpun bila ada yang mendengar
"Tugas yang mana?" Shilla bingung. Seingatnya Rachel tak memberikan tugas pada dirinya.
"Tugas pengantar bisnis Gue. Yang kemaren Gue kasih ke Lo!" bentak Rachel menunjuk Shilla tepat di wajah.
Pintu toilet terbuka sedikit. Memungkinkan yang diluar dapat mendengar atau bahkan melihat. Mereka yang di dalam masih tak menyadari akan hal itu.
Rachel yang memang melihat Shilla memasuki toilet mengikuti dengan perasaan dongkol. Menunggu dengan sabar sampai Shilla menyelesaikan urusan pribadinya itu.
"Mana buku gue?" tanya Rachel kasar.
Buku? Tugas? Pengantar Bisnis? Kemarin? Ya Tuhan, Shilla ingat. Bahwa dia melupakan tugas milik Rachel.
"Em, itu,, ketinggalan," jawab Shilla pelan.
Menundukkan kepalanya semakin dalam.
"Apa lo bilang?!" bentak Rachel.
"Bukunya ketinggalan. Maaf," sesal Shilla tulus.
"Hari ini dikumpulin, b**o!" Rachel masih dengan suara yang keras.
"Maaf,"
Rachel yang geram, melangkah mendekati Shilla dan menarik rambut panjang itu kasar.
"Awh." rintih Shilla kesakitan.
"Lo itu t***l atau apa sih? Atau lo sengaja biar gue dihukum?! iya?!" Semakin berkata, semakin kuat juga jambakkan Rachel.
"Maaf," gumam Shilla memelas.
Pintu yang makin terbuka lebar itu memperlihatkan dua orang yang tengah menahan geram melihat tingkah tak terpuji saudaranya. Mereka Revan dan Raka. Keduanya mengepalkan tangan menyaksikan kebrutalan sang adik. Sesekali mereka menghalau sisi kepo mahasiswa disekitar agar tak memasuki toilet.
Revan hendak melangkah, tetapi terhenti karena mendengar suara orang berlari. Itu Raka. Adiknya. Berlari menuju Shilla dan Rachel dengan keadaan Shilla yang mengenaskan.
Revan memperhatikan dari jauh bagaimana sikap adiknya yang gentle, tidak seperti dirinya. Terjadi perdebatan antara Raka dan Rachel disana.
Sedangkan sang korban hanya berdiri bergetar dan menunduk. Dia menangis. Shilla menangis. Entah kenapa hati Revan sakit melihat Shilla menangis.
Kembali pada Shilla,
"Lo apaan sih Dek?" Bentak Raka pada Rachel setelah berhasil menjauhkan Shilla dari jangkauan adiknya itu.
Rachel membeku. Hatinya sakit. Kakak nya yang selama ini selalu bersikap baik dan berkata dengan lembut kini membentaknya demi seorang yang amat dibenci.
"Kalian ngapain masih disini? Bubar!" teriak Raka memerintah. Membubarkan beberapa orang yang akhirnya datang setelah mendengar keributan.
Rachel bergeming. Bungkam akan apa yang kakaknya tanyakan.
Air mata menetes . Satu-satu dan semakin deras. Kakaknya kini bersama Shilla. Raka menuntun Shilla yang masih menangis menuju kelas. Melewati Rachel begitu saja. Raka merasa kecewa pada Rachel dan malu pada dirinya sendiri, karena adiknya sendiri memperlakukan orang yang ia sukai dengan kasar hanya karena perintah mengerjakkan tugas yang tidak terpenuhi. Harusnya Rachel merasa malu karena meminta orang lain untuk mengerjakkan tugasnya.
Shilla masih menangis. Rambut berantakannya dibiarkan saja. Raka yang berada di sampingnya berinisiatif merapikan.
"Awh," ringis Shilla kesakitan.
“Padahal gue udah pelan-pelan sisirinnya. Kenapa masih sakit juga? Apa karena jambakan Rachel tadi kenceng banget yah?” Tanya Raka dalam hati.
"Eh, maaf," ucap Raka tulus.
Tangisan Shilla telah reda. Hanya tersisa isak tangis saja.
Keadaan di kelas hening. Tak ada yang berniat menghampiri atau bersimpati pada Shilla.
"Em,, maafin adik gue yah." Raka buka suara.
"I,,iya hiks gak papa hiks."
Tangan Raka masih sibuk merapikan rambut Shilla. Sesekali penghuni kelas melirik penasaran ke arah mereka.
"Mm, Lo beda kelas sama temen-temen Lo ya? Atau Lo belum akrab sama temen baru Lo?" Raka bertanaya. Pasalnya sejak mereka memasuki kelas, taka da satupun dari mereka yang menghampiri atau sekedar bertanya ‘kenapa’.
"Mana mungkin ada yang mau temenan sama anak pembantu kaya aku," jawab Shilla kembali murung.
Raka tau itu. Tau Shilla yang selalu sendiri, Shilla yang tak memiliki teman, Shilla yang sering di bully bahkan sejak sekolah menengah atas. Hanya ingin memastikan langsung dari mulutnya. Itu saja. Dan Raka kira, saat memasuki bangku perkuliahan, gadis pujaannya ini akan memiliki teman. Namun, dugaannya salah.
Sebenarnya Raka merasa iba dengan Shilla. Seandainya saja dirinya satu kelas dengan Shilla, pasti dirinya yang akan menjadi teman mengobrol, menjadi teman berbagi, dan menjadi pelindung saat pembullyan itu berlangsung.
Sayangnya tidak. Raka saat ini berada di semester 6 dengan fakultas yang berbeda. Untung saja tadi Ia berencana menghampiri Rachel ke kelas yang berada di gedung fakultas ekonomi lantai 4. Berniat mengembalikan handphone yang ternyata tertinggal di mobil. Dan bertemu Revan yang ternyata berada di gedung dan lantai yang sama, tengah berkumpul dengan teman-temannya. Revan juga mengambil jurusan Manajeman.
Dosen memasuki kelas. "Shil, gue balik yah," pamitnya pada Shilla.
"Iya Kak. Makasih,"
"Sama-sama. Bye."
Kelas pertama dimulai. Dosen sempat bertanya pada Shilla mengenai kenapa mata gadis itu terlihat memerah. Alasannya seperti kemarin, saat beralasan pada ibunya.