Shilla kembali menangis akan perkataan Revan yang amat menyakitkan. Dirinya bingung kenapa Revan tidak suka dengan kehadirannya. Shilla tahu, ia hanya anak seorang pembantu, yang dipandang memiliki derajat rendah. Tidak usah berkata seperti itu. ia juga tahu diri.
flashback
Sudah lebih dari sepuluh menit Shilla menangis dalam diam. Meratapi nasib yang belakangan ini tak berpihak padanya. Seolah tersadar, Shilla bangun untuk mandi, mencuci muka dan berjalan menuju rumah besar milik majikannya.
Dirinya tak tega bila melihat sang ibu yang sudah berkepala empat bekerja sendiri. Bukan karena tak ada pekerja lain di rumah ini. Melainkan tugas memasak memang hanya ibunya yang memegang kendali. Dan itu perintah mutlak sang pemilik rumah. Sebagai anak, Shilla berkewajiban membantu.
Sesampainya di dapur rumah besar itu, Shilla mendapati ibunya yang tengah kerepotan memasak sendiri untuk hidangan makan malam nanti yang tentunya banyak menu.
"Ibu, sini biar Shilla bantu motongnya," Shilla mengambil alih pekerjaan sang ibu yang sedang memotong sayuran.
"Eh, kamu kenapa Nak? Kok mata kamu bengkak sih?" Tanya ibu Rini cemas.
"Eh, ini Bu. Tadi kelilipan, terus mau lihat kelilipan apa di kaca malahan ke colok. Eh keterusan nangis deh. Perih soalnya Bu," jawab Shilla berbohong.
“Maafkan Shilla, Tuhan. Sudah berbohong pada ibu,” batin Shilla memohon.
"Ya ampun kamu ini. Terus sekarang udah gak sakit kan?" Bu Rini sambil melihat mata Shilla yang memerah.
"Udah gak papa kok Bu." Shilla tersenyum menenangkan seolah memang semua baik-baik saja.
"Ya udah deh. Lanjut masak lagi aja yuk,"
"Oke Ibu," patuh Shilla.
Setelah beberapa puluh menit, lebih dari satu hidangan telah tersaji di atas meja makan. Lima menit lagi makan malam akan dimulai. Sudah setengah anggota keluarga Dinata duduk di meja makan. Kurang dua. Putra sulung dan putra bungsu mereka.
"Chel, panggil kakak-kakak kamu sana," perintah sang ibu pada putri sematawayangnya yang tengah asik menggerakkan jari pada benda persegi panjang bernama ponsel.
"Shilla aja Bun. Rachel lagi asyik nih," jawab Rachel tanpa menoleh sedikit pun.
Nyonya Dinata menghela nafas melihat tingkah putrinya yang tidak sopan.
"Ya udah. Shilla, tolong kamu panggilin Revan sama Raka yah," perintah nyonya Dinata pada Shilla yang dijawab langsung dengan anggukkan.
Shilla menaiki tangga menuju lantai dua dimana kamar mereka -Revan dan Raka- berada. Paling dekat dengan tangga adalah kamar Raka. Jadi Shilla memutuskan untuk menuju kamar Raka terdahulu.
Tok tok tok
Shilla mengetuk pintu beberapa kali. Tak ada sahutan dari dalam kamar. Shilla melongokkan kepalanya kedalam. Sepi.
Berjalan melewati satu pintu lagi -kamar Rachel- dan tiba pada pintu kamar paling ujung, kamar Revan.
Menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Tangannya terangkat untuk mengetuk kamar berpintu hitam itu. Tetapi gerakkannya terhenti saat indera pendengarnya menangkap perkataan seseorang dari dalam kamar.
"Gue. Suka. Shilla," ucap seseorang yang terdengar penuh penekanan pada setiap kata.
Deg
Jantung Shilla berdetak kencang atas pengakuan seseorang yang ada di dalam.
Lama tak ada respon lawan bicaranya. Shilla masih asik berdiri di depan pintu hitam itu. Penasaran apa yang akan dikatakan lagi.
"Kak." suara itu. Suara Raka.
"Eh, iya. Lo yakin Dek? Suka sama anak pembantu?" tanya orang satunya . Kalau ini jelas suara Revan.
Deg
Kali ini juga berdetak kencang. Merasakan sakit hati dihina. Shilla tersenyum kecut. “Kan emang bener? Kenapa mesti sakit?” Tanya batin Shilla.
"Lo kenapa sensi amat sih Kak, kalo sama Shilla?" sayup-sayup terdengar tanya Raka balik.
"Ya gak gitu. Gue cuma bingung, lo kan ganteng, kaya juga. Masa suka sama anak pembantu sih? Selera lo jelek banget."
“Sakit banget. Aku juga tau diri kok.” Pertahanan Shilla hampir habis, tapi dengan sekuat tenaga Shilla menahan agar pertahanannya tidak roboh.
"Perasaan gak bisa mandang orang kak. Mau dia kaya atau miskin. Lagian Shilla kan baik," bela Raka.
Raka memang baik. Paling baik sikapnya diantara ketiga penerus Dinata.
"Ya tetep aja, dia itu gak pantas buat lo. Terlalu rendah." Revan meremehkan.
“Aku juga tau diri kok. Gak usah diingetin,” batin Shilla berteriak.
"Tinggi rendah derajat seseorang itu cuma Tuhan yang bisa ngukur Kak!" Raka yang mulai tersulut emosi meninggikan suaranya.
"Lo bentak gue demi dia?!" seru.
Cukup sudah.
"Iya!! Ke---," ucapan Raka terpotong saat Shilla mulai memberanikan mengetuk pintu itu.
Tok tok tok
Suara langkah kaki yang mulai mendekat terdengar. Shilla yang sudah tidak kuat ingin menangis akhirnya membuka sendiri pintu itu, pelan.
Sangat terlihat jelas bahwa tubuh keduanya -Revan dan Raka - menegang, mungkin takut apa yang tadi mereka perbincangkan dapat didengar oleh Shilla. Atau entah lah.
"Kalian disuruh turun. Makan malam." singkat. Shilla langsung membalikkan badannya dan terburu-buru menjauh.
Menuruni tangga dan berpamitan pada ibunya untuk kembali terlebih dahulu dengan dalih mengerjakan tugas.
Berlari menuju kamar dan mengunci pintu. Hanya satu tujuan saat dia ingin menangis. Kamar, karena menurutnya bila menangis dalam kamar, akan jarang orang yang mengetahui, asalkan menangis dalam diam.
flashback off
Shilla yang lelah menangis tertidur sendiri. Melupakan ada tugas untuk hari esok. Bukan miliknya tapi milik Rachel yang kebetulan dalam mata kuliah ini berbeda kelas dengan Shilla. Hanya 2 mata kuliah yang menduduki kelas yang sama.