Revan kembali berkumpul dengan teman-teman satu angkatan. Sebenarnya percuma saja bergabung. Raganya ada dikelas. Tetapi fikirannya berkelana . Memikirkan apakah Shilla baik-baik saja setelah insiden tadi pagi atau tidak.
“Harusnya tadi gue yang nyamperin. Bukan Raka.” Revan menyesal. Ya, tapi memang menyesal bisa merubah keadaan?
Dirinya terlalu bodoh dan pengecut. Mementingkan egonya saja yang sangat tinggi.
Tak pernah menerbitkan senyum Shilla sekalipun. Hanya memberi tangis kesedihan, yang entah sudah berapa kali. Yang jelas lebih dari satu kali.
“Apakah Shilla masih bersama Raka?” tanya batinnya frustasi.
"Revan, Lo sehatkan?" tanya Rangga yang kebetulan duduk di samping Revan.
Revan tersentak. Bangun dari lamunannya. Sekitar 10 orang yang sedang berkumpul mengalihkan pandangan di sudut tempat Revan berada.
"Eh, apa?" Revan yang bingung hanya bertanya balik.
“Lo sehatkan? Lo jadi aneh pas balik dari toilet,” tanya Rangga penasaran. Tatapannya menyelidik.
Revan menghela nafas pelan. Ternyata teman-temannya menyadari.
“ah, iya ada pikiran yang ganggu. Lanjut aja.” Revan menjawab diiringi senyum. Senyum untuk memberi tahu bahwa semua baik-baik saja.
Semua mengangguk dan kembali sibuk dalam obrolan. Membahas nanti akan bagaimana ketika ijazah kelulusan dibagikan. Revan dan teman-teman hanya tinggal menunggu wisuda yang kurang dari sebulan lagi. Berkumpul hanya sekedar iseng dan mengisi waktu yang membosankan bila hanya dilalui di rumah dan sendirian.
"Habis lulus Lo mau kemana, Van?"
"Mm rencananya sih mau ambil S2 dulu. Tapi ya masih agak ragu sih." Revan menjawab dengan rasa bimbang yang kentara.
Revan memang memiliki rencana langsung mengambil S2 setelah strata satunya usai. Namun, Revan tak ingin terus menerus menjadi beban bagi kedua orangtuanya. Ya, walau Revan tahu, kedua orangtuanya takan keberatan sekalipun Ia akan melanjutkan studi sampai S3 sekalipun.
“menurut gue sih ambil S2 langsung aja. Soalnya kalo ntar-ntar an malahan males. Belum lagi yang tiba-tiba nikah punya anak, boro-boro mikir S2. Selagi masih sendiri sih kejar aja,” saran pria berambut gondrong.
Pendengar ada yang mengangguk setuju dan ada yang tak mempedulikan.
Revan mengiyakan, “iya juga sih. Ya udah nanti pikir-pikir lagi deh.”
Akhirnya satu per satu meninggalkan kampus. Revan bangkit berniat menuju kelas Shilla. Tadi Revan sempat melihat kelas yang dimasuki Shilla tak jauh dari sini. Ingin mengetahui keadaan gadis kecil itu. Semoga saja kelas belum selesai.
“heh mau kemana Lo? Main nyelonong aja. Padahal disini masih ada orang.” Sebuah tangan menarik tas yang tersampir di pundak Revan.
Revan tetap menghempas tangan itu kasar dan melanjutkan berjalan. Hanya tersisa mereka disini. Revan dan Cello.
"kepo amat jadi orang,” ketus Revan.
"Duduk. Saya tidak izinkan," perintah Cello.
“heh siapa Elo ngatur-ngatur Gue.” Revan mendesis marah.
“hehe, santai Bro.” Cello menunjukan jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V.
"Emang lo mau kemana sih?" Tanya Cello penasaran dan bangkit mengikuti Revan dari belakang.
"Bukan urusan Lo." Revan yang sedang kesal menjawab pertanyaan sahabatnya itu ketus.
"Widihh,, woles bro." Cello memang sudah terbiasa dengan sikap Revan yang datar dan dingin, jadi menanggapinya biasa saja.
Mereka -Revan dan Cello- sudah lama bersahabat. Bukan satu-dua tahun mereka bersama, sudah sejak pertama memasuki sekolah. Dan kebetulan selalu menempati kelas yang sama.
Revan membiarkan Cello yang mengikuti dari belakang. Menganggap sosok Cello tidak ada disekitarnya.
Revan tiba di depan kelas yang Shilla tempati. Berdiri di balik pintu kaca yang menjadi jalan satu-satunya untuk bisa melihat isi dalam kelas.
“hei kalian.” Tegur suara dari arah belakang Revan.
Revan berbalik, menghadap keamanan yang sepertinya tengah memperhatikan tingkah Revan yang mngintip pintu kelas di hadapannya.
“Kita?” Tanya Revan menunjuk dirinya dan Cello yang ternyata mengikuti dirinya mengintip.
"Iya kalian. Sini,"
Revan dan Cello berjalan menghampiri.
“ada apa ya Pak?” Revan bertanya.
“seharusnya Saya yang tanya. Kalian sedang apa mengintip di depan kelas?”
"Oh, tadi kita lagi itu Pak. Oh iya, tadi kita lagi ngapain sih? Ah saya juga gak tau Pak. Tadi saya ngikutin temen saya ini. Eh kayanya temen saya lagi nyari temennya yang di kelas itu deh Pak." Jawaban jujur Cello membuat Revan menepuk keningnya gemas.
Cello ini entah terlalu jujur atau terlalu bodoh. Memang jujur itu kewajiban, tapi bila jujur itu membawa kita menuju kemarahan seseorang ? Tambah berabe kan.
"Kalo cari temen mending masuk aja. Ijin sama dosen mau nyari temen. Pasti dibolehin kok. Kalo ngintip kaya tadi gak sopan. Mendingan pergi aja sana," usir pak Toni –pihak keamanan- dengan tidak sopannya.
Tuh kan, mungkin tadi jika tidak menjawab terlalu jujur tidak akan seperti ini. Bukannya berbohong untuk kebaikan itu diperbolehkan? Bisa iya, bisa tidak. Hanya Tuhan yang tau.
"kok ngusir sih Pak? Terus temen saya ini gimana? Kan temennya belum ketemu." Tanya Cello dengan watados nya.
“baik Pak. Maaf telah mengganggu.” Revan menyela.
"Eh ogeb. Lo napa tadi ngomongnya jujur amat?" Revan geram.
"Kata mama gue, kita itu harus selalu berkata jujur dimanapun kapanpun dan kepada siapapun." noh, anak mamanya keluar lagi.
Huft
Revan menghela nafas kasar. Dan pergi meninggalkan Cello sendiri. Cello yang menyadari, langsung berlari mengikuti Revan.
Revan menuju bangku panjang yang tak jauh dari kelas Shilla. Feeling nya mengatakan Shilla masih ada di dalam kelas. Ditunggunya sampai kelas di bubarkan. Dilihatnya Shilla berjalan keluar dengan pelan. “Sepertinya sudah baik-baik saja,” batinnya lega.
Kantin menjadi tempat selanjutnya yang akan Revan datangi. Terlalu malas untuk pulang sekarang. Tentu dengan Cello yang mengekori di belakangnya. Seperti anak ayam yang mengekori induknya.
Jus mangga dan baso menjadi pilihan Revan untuk menemani dirinya. Sedangkan makhluk aneh tapi tampan yang ada dihadapannya itu memesan nasi goreng dan es teh.
Dua jam bersama Cello terasa sangat lama. Apalagi ditemani kata-kata mutiaranya yang selalu berawal 'kata mama gue'
Sungguh membosankan.
Revan bangkit dan berjalan santai menuju mobilnya. Ia berencana pulang sekarang. Sepertinya sudah cukup waktu di kampus untuk hari ini.
Mata Revan terpaku. Menyaksikan pemandangan menyesakkan mata yang tak jauh dari posisinya. Tepatnya di taman samping parkiran berada. Kurang lebih 10 meter jarak pandang mata. Terlihat jelas oleh mata Revan, 2 orang berbeda gender tengah mengobrol dan bergurau akrab. 2 orang yang amat dikenalinya. Raka dan Shilla.
Revan menekan dadanya yang tiba-tiba berdenyut nyeri.
“Kenapa sakit?”
“Harusnya gue nyadar diri . Raka itu lebih baik dari gue.”
“Tapi ini terlalu sakit.”
“Apa gue mulai jatuh cinta sama Shilla?”
“Gak mungkin.”
“Lagian Raka juga suka sama Shilla.”
“Kalo gitu, gue yang bakalan mundur aja.”
“Tapi tetap, gue bakalan jagain Shilla dari jauh.”
Perdebatan-perdebatan kecil itu terjadi dalam batin Revan. Satu hal yang perlu digaris bawahi 'Revan cinta Shilla' Sangat terlihat jelas meski tak terucap.
Dan dua hal yang harus diingat 'Revan akan mundur dan menjaga Shilla dari jauh'