9 - Ada yang beda 2

974 Kata
Part 9 Ada yang beda 2 Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Keluarga di rumah ini sedang melakukan ritual makan malam bersama. Shilla juga hadir, bukan untuk ikut makan bersama tapi untuk melayani seperti biasanya. Dapat dilihat dengan jelas bahwa Raka selalu tersenyum selama makan makan berlangsung. Lain halnya dengan Revan, pemuda dua puluh satu tahun itu makan dengan malas. Malas melihat kedekatan Raka dengan Shilla. Malas sakit hati lagi. Tapi jika tadi dirinya menolak mengikuti makan malam, ibunya dapat dipastikan akan berceramah panjang lebar tanpa henti. Sesekali Revan melirik melihat Shilla. Yang berada di dekat Raka dan di hadapan Revan. Hatinya lagi-lagi sakit. Seperti diremas. Lalu di tusuk beribu jarum. 'Sabar' satu kata lima huruf yang setia menemaninya akhir-akhir ini. Tak seperti malam-malam sebelumnya, Revan langsung menuju kamar setelah makan malam usai. Banyak urusan yang harus segera diselesaikan. Wisuda tinggal satu minggu lagi. Tekat Revan sudah bulat. Memutuskan akan melanjutkan strata dua di universitas luar negeri dan tinggal bersama kakek dan nenek dari ibunya. Revan terlalu pengecut menghadapi masalahnya kini. Pergi adalah jalan satu-satunya yang terfikirkan. Niatnya juga sudah ia sampaikan pada kedua orang tuanya. Pertama memang mereka menentang keras kemauan Revan. Karena mereka tak pernah jauh dari anak-anaknya. Tapi akhirnya luluh juga oleh usaha Revan yang tak henti membujuk. Waktu terus berlalu. Hanya tinggal menunggu hari untuk Revan keluar dari Negara ini. Mengenai Shilla dan Raka, mereka semakin dekat dan dekat. Dimana ada Shilla, disana ada Raka. Rachel, gadis itu tak sesering dahulu mengganggu Shilla. Belajar mandiri. Sikapnya juga jauh lebih baik. "Van, lo yakin mau pergi?" tanya Cello untuk kesekian kalinya. Saat ini mereka -Revan dan Cello- berada di cafe. Memanfaatkan waktu yang tersisa sedikit dengan sebaik-baiknya. Revan memandang Cello datar. Harus berapa kali lagi menjawab pertanyaan yang sama? "Iya abang Cello anaknya mama Clara." "Terus gue sama siapa dong?" tanya Cello. Wajahnya memelas. "Kan masih banyak yang lain kali," jawab Revan kesal. Cello juga memutusakn untuk melanjutkan studinya. Namun masih tetap di dalam negri. Mungkin di kampus ini juga. "Tapikan gue deketnya ama Lo. Gue kira kita bakalan bareng-bareng terus. Eh malah lo nya ke luar." "Ih, jijik gue dengernya. Ya maaf kalo yang itu. Lagian nanti kan bakal ketemu temen baru lagi. Coba dulu aja." Revan penuh kesabaran. "Iya deh, gue pasti coba. Kata mama gue, harus coba dulu sebelum bilang gak bisa," akhirnya. Revan menghembuskan nafas lega setelah mendengar perkataan Cello. "Emang lo kenapa mutusin buat lanjut di luar sih?" Tuh kan mulai lagi penyakitnya Cello. Pelupa. "Kan udah di jelasin tadi," gerutu Revan. "Emang udah? Kok gue lupa yah?" Gumam Cello pelan, tapi masih dapat didengar Revan. "Gue pengin temenin kakek sama nenek gue disana. Kan mereka cuma berdua. Pengin jadi cucu yang berbakti gue," jelas Revan entah keberapa kali. "Eh, iya. Gue inget lo tadi ngomong gitu." Tanpa merasa bersalah sedikitpun Cello berceletuk. "Untung temen," gumam Revan. "Eh, apaan Van?" Tanya Cello yang mendengar sedikit gumaman Revan. "Gak kok. Bukan apa-apa." "Yaudah. Gue balik dulu ya. Udah siang juga," ucap Cello. "Oke." Proses kelulusan sudah Revan selesaikan. Menunggu kurang lebih tiga minggu lagi untuk penerimaan hasil. Revan sudah mulai berkemas dan mengurus surat-surat yang sekiranya dibutuhkan. Sebenarnya ini sangat disayangkan beberapa pihak. Bagaimana tidak? Revan sudah ditawari beasiswa di universitas tempatnya menyelesaikan strata satu kemarin. Pernah sesekali hatinya ragu akan keputusan itu. Tapi berkali-kali pula ia meyakinkan lagi. Hasil belajar Revan selama 4 tahun seperti biasa, sangat memuaskan. Tepat satu hari sebelum keberangkatan, satu angkatan mengadakan pesta perpisahan. Perpisahan satu angkatan yang akan mulai menjalani hidupnya masing-masing. Mereka disatukan oleh pendidikan. Dan dipisahkan oleh keadaan dan masa depan. Revan yang tak tau apa-apa mengikuti Cello saja yang mengajak. Karena sebelumnya Revan tak ada niatan untuk hadir. Cello juga sebenarnya tak terlalu mengerti akan rencana teman-teman yang lain. "acaranya di mana sih?" tanya Revan tak sabar. Bagaimana bisa sabar, dua puluh menit sudah dia dibawa Cello menggunakan mobil Cello. Tapi tak tau kapan akan berhenti mobil ini. "Diem aja sih lo." "Ya tapi coba kasih tahu gue tempatnya dimana. Kali aja gue tahu. Jadi gak perlu muter-muter kaya gini.” "gue tahu kok. Tenang aja." Revan akhirnya bungkam. Lelah mendengar jawaban Cello. "Nah udah sampai," ucap Cello menyadarkan Revan. "Ini.. di club?" tanya Revan heran. "Kok di club yah?" gumam Cello merasa heran juga. "Kenapa lo ngajak gue ke club?" Revan bertanya pada Cello. "Gue juga ga tau kali, acaranya di club. Emang lo gak baca undangan?" celetuk Cello. "kan emang gak niat datang.” "Masuk dulu aja deh," usul Cello yang sebenarnya langsung ditolak mentah-mentah oleh Revan. Tapi setelah meyakinkan dengan segenap usahanya, Revan mau juga. Mereka memasuki club malam itu. Tidak susah memasukinya, ya karena memang tempat ini sudah disewa teman seangkatan Revan dan Cello. Suara musik yang memekakkan telinga menyambut kedatangan mereka. Bau asap rokok dimana-mana. Di tengah dance floor telah berkumpul beberapa orang yang tak asing wajahnya. Mereka meminta Revan bergabung. Cello yang ada di sampingnya menarik lengan Revan untuk mendekat. "Hai Van," sapa teman-temannya saat sudah berada di depan mereka. "Hai." singkat. Memang itu yang bisa Revan keluarkan. "Kita semua ngadain party ini buat acara perpisahan. Secara kita gak bakal bareng-bareng lagi seperti kurang lebih empat tahun ini. Kecuali ya yang mau nerusin pendidikan bareng, kerja bareng, atau hidup bareng," jelas salah seorang panjang lebar. Revan mulai bisa menerima acara ini akhirnya. Mengobrol dan bersantai bersama teman-temannya. Hal yang tak pernah dilakukan selama ini. Semakin malam semakin menggila, Revan meminum yang seharusnya tidak diminum. Itu akibat paksaan teman sebayanya. Revan yang tak bisa lagi menolak akhirnya meminum juga. Pukul dua dini hari Revan tiba di kediamannya. Dalam keadaam mabuk. Untung saja orang rumah sudah tidur. Dengan pelan memasuki pintu utama menuju kamar. Ya, Revan membawa kunci cadangan sendiri. Saat akan menaiki tangga, Revan melihat seseorang tengah duduk dan menenggak segelas cairan berwarna merah. Sepertinya jus stroberi atau jambu? Revan mendekat dan mendekat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN