Bab 7. Khawatir Bayu

1032 Kata
Selesai kuliah jam pertama, Bayu meluncur ke kantin kampus pagi itu. Dia merogoh sakunya, mengambil dompet, dan dia ternyata lupa mengambil uang dari laci kamar mamanya yang beberapa hari ini selalu ditinggalkan untuk jajan sehari-hari. Sementara di dalam dompet hanya ada uang lima belas ribu, terpaksa Bayu membeli roti untuk mengganja rasa laparnya. Apalagi tadi pagi dia lupa pula sarapan pagi, tentu dia merasa sangat lapar. “Bayu!” “Eh, Dut. Aduh, kebetulan nih, aku pinjam sepuluh ribu deh. Mau makan besar.” Bayu tidak jadi membeli roti. Duta tertawa sambil memegang perutnya. Wajah Bayu lucu ketika lapar, dan dia tahu Bayu pasti lupa membawa uang. “Gih, pesan makananmu dulu. Biar aku yang bayarin.” “Nanti aku cium kakimu, Dut.” “Udah, sana!” Duta mendorong bahu Bayu kuat. Bayu lega, dia tidak perlu antri pagi menjelang siang hari itu, karena tidak terlalu banyak mahasiswa di kantin. Kini sudah ada satu piring nasi berisi lauk pauk lengkap di tangannya. Dia lalu duduk di samping Duta yang justru membawa bekal makan siang. “Kacau juga sejak mamaku kerja di rumah pak Tirta,” gumam Bayu, biasanya mamanya tidak lupa menyiapkan bekal makan siangnya. Mau tidak mau dia harus jajan dalam beberapa hari ini. “Nggak apa-apa. Kamu dong belajar masak.” “Iya juga ya.” Bayu menghempaskan napasnya, cukup menyesal karena dia dan adik-adiknya selalu dimanjakan mamanya selama ini. “Mama kamu nggak pulang minggu ini?” “Katanya sore ini pulang sih.” “Nah, kamu manfaatkan waktu belajar masak.” Bayu mengangguk sambil menikmati makanan yang dia beli. “Enak?” tanya Duta, tersenyum dalam hati melihat wajah Bayu yang kurang semangat. “Enakan masakan mamaku.” Duta tersenyum kecil dan menggeleng, masakan mama di rumah memang tiada duanya. Bagaimanapun, Bayu akhirnya merasa kembali bertenaga setelah merasa cukup kenyang. Tiba-tiba ponsel Bayu berbunyi, dan dia tersenyum cerah. “Kenapa, Yu?” “Mamaku pulang sore ini. Katanya jam lima sudah di rumah.” “Asyik. Pesta pasti di rumah.” “Iyalah. Mama itu kalo malam minggu biasanya masak besar. Mau join?” Duta menggeleng. “Malam minggu ini aku ada janji.” Bayu mengernyitkan dahinya karena Duta seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Duta masih senyum-senyum sambil mengunyah makanannya yang tinggal sedikit. “Ah, cewek pasti. Nadiya?” Duta menggeleng, “Laika.” Bayu tersenyum lebar, “Ah, aku suka kamu sama dia. Semoga jadian.” Laika adalah salah satu teman baik Bayu saat SMA. Duta beberapa hari ini memang sudah menceritakan kepada Bayu bahwa dia ingin memiliki pacar, dan Bayu tentu saja mendukungnya. “Hm … si Krista gimana, Yu? Dia nanyain kamu terus lo,” ujar Duta setelah menghabiskan makanannya. Krista adalah saudara sepupu Duta, yang sedang kuliah di Singapura. Mengenal Bayu saat liburan sekolah beberapa bulan lalu saat Bayu main ke rumah Duta. Bayu langsung menggeleng. Dia belum mau berpikir tentang pacaran. “Krista orangnya pengertian kok, Yu. Aku tahu kamu mikir tentang keluargamu.” “Nggak ah. Bilang aja cari yang lain, kek nggak ada pilihan.” Duta tersenyum kecut dan kecewa, dia sebenarnya berharap Bayu bisa berpacaran dengan sepupunya. “Oiya, mama kamu nggak ngeluh kerja di rumah om Tirta, Yu?” tanya Duta yang sekarang mengalihkan pembicaraan. “Nggak tuh, emangnya kenapa?” “Nggak. Kalo ada keluhan kata mamaku ngomongin saja, biar papa dan mamaku yang selesain.” Bayu mendelik heran, “Emangnya ada something dengan pak Tirta, Dut?” Duta tertawa kecil dan memainkan matanya. “Yah, biasalah. Kadang dia suka error. Hm, genit … mama kamu, ‘kan cantik.” “Ya, awas saja kalo macam-macam. Aku yang turun tangan.” Bayu mengepalkan kedua tangannya. Lalu dia bertanya, “Lah, kenapa orang tua kamu malah usul mamaku kerja di sana, Dut? Mau ngerjain mamaku?” “La karena mamamu butuh kerja dan uang. Lagi pula mamaku yakin tante Nindya orangnya nggak gampangan. Terus juga om Tirta nggak sembarangan genit ke cewek-cewek. Tenang saja, Yu. Mama dan papaku tetap mantau kok.” Bayu menghela napas pendek dan pikirannya yang mulai dipenuhi dengan kekhawatiran. “Nggak apa-apa, Yu. Jangan terlalu dipikirin. Om Tirta orangnya baik kok. Aku jamin deh mama kamu nggak akan kenapa-napa.” Duta melirik ke jam tangannya, “Yuk ah, kita ke kelas saja sambil tunggu jam kuliah berikutnya,” usulnya, tidak mau Bayu terlalu mengkhawatirkan tentang pekerjaan mamanya. *** Pulang dari kegiatan berenang, Naomi dan Cecilia bersorak saat pulang ke rumah, mendapatkan Nindya yang sudah siap mengajak mereka pulang ke rumahnya, juga tas-tas mereka yang berisi pakaian yang sudah disiapkan Nindya untuk dibawa. Para pembantu terperangah melihat Cecilia dan Naomi yang tanpa sungkan memeluk erat Nindya. Lince langsung mendekati Nindya dan berbisik pelan, “Bu, jangan peluk-peluk begitu, kalo bu Lestari tahu bisa-bisa Ibu dipecat.” Nindya tentu saja terperangah mendengar kata-kata Lince yang mencemaskan dirinya. “Duh, gimana, Mbak Lince. Tapi mereka malah mau menginap di rumah saya.” “Selama nggak ketahuan nggak apa-apa, Bu. Rumah ini, ‘kan ada CCTVnya. Takutnya bu Lestari mantau atau gimana.” Nindya mengangguk mengerti, dia tidak lupa berterima kasih kepada Lince yang telah mengingatkannya. “Nggak apa-apa, Bu. Saya malah senang mereka menginap di rumah Ibu malam ini dan malam Minggu besok. Saya bisa nyantai dua malam ini.” Nindya mencubit pinggang Lince dan wajahnya terlihat sewot, membuat Lince tertawa iseng. Tak lama kemudian, muncul dua anak perempuan itu yang sudah bersih dan wangi. Tapi mata Nindya terbelalak melihat keduanya membawa mainan yang sangat banyak. “Duh, nggak perlu bawa sebanyak ini, Cecil.” “Tau tuh. Tadi aku bilang nggak usah bawa sebanyak ini, tapi dia nggak mau dengerin aku, Bu.” Nindya duduk di depan Cecil, membujuk, “Sedikit aja ya?” Cecil memandang wajah Nindya ragu, lalu melirik ke keranjang mainan besarnya yang penuh dengan mainan dan boneka. “Jangan semua, yang Cecil suka aja ya?” bujuk Nindya lagi, sambil memegang satu tangan Cecil dan mengusap-usapnya. Cecil melirik ke arah kakaknya yang mengangguk ke arahnya. Naomi saja sudah memeluk boneka beruang pink antagonis Lotso. “Mau Ibu bantu pilihkan?” tawar Nindya. “Iya, aku bantu juga, Cecil.” Naomi akhirnya ikut membantu Cecilia untuk memilih mainan-mainan yang dibawa ke rumah Nindya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN