Slice 5

1179 Kata
Rosmala dan Fauzan, ibu dan ayah Kenanga, kini sedang berada di dalam rumah gedek milik Mbah Samijan. Rumah gedek adalah rumah sederhana zaman dulu, yang seluruh dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Lantainya juga masih berupa tanah, yang ditutup tikar anyam pula. Rosmala dan Fauzan duduk di atas tikar anyam itu, di hadapan Mbah Samijan, yang sedang melakukan sebuah ritual. Mbak Samijan yang mengenakan pakaian serba hitam, tengah duduk bersila sembari memejamkan matanya. Mulut Mbah Samijan sesekali juga komat - kamit entah mengucapkan mantra apa. Kedua mata Mbah Samijan sesekali memejam sangat rapat. Namun beberapa saat kemudian memejamkan normal. Sepertinya saat memejam rapat, ia mendapatkan sebuah penglihatan. Rosmala dan Fauzan awalnya merupakan tipe manusia yang skeptis. Tidak mempercayai ilmu klenik, cenderung menyalahkan orang - orang yang masih mempercayai hal - hal seperti itu. Tapi sejak putri mereka menghilang, entah ke mana hilangnya jiwa skeptis mereka. Segala macam cara telah mereka lakukan demi bisa menemukan Kenanga kembali. Mereka menunggu dalam diam. Menunggu dengan was - was. Dengan terus berdoa, berharap benar - benar akan ada jalan untuk menemukan Kenanga kembali. Di luar sana, berita tentang hilangnya Kenanga di gunung Lembu sudah menjadi konsumsi masyarakat di seluruh negeri. Berita di koran - koran terbagi menjadi banyak versi. Juga prediksi para orang pintar, dan ahli ilmiah yang berseberangan opininya. Detak jantung Rosmala dan Fauzan semakin terpacu detaknya, ketika melihat Mbah Samijan akhirnya membuka matanya. Laki - laki itu terlihat kelelahan dan terengah - engah, seakan - akan baru saja melakukan pekerjaan yang begitu berat. Salah satu cucu Mbah Samijan segera menyodorkan air minum pada sang kakek. Mbah Samijan langsung menenggak airnya, kemudian berusaha kembali fokus. "Bagaimana, Mbah?" tanya Rosmala setelah merasa bahwa Mbah Samijan sudah siap untuk menjawab pertanyaan. Raut wajah Mbah Samijan terlihat sedih. Seperti menyesal akan sesuatu. "Anak kalian ...." Suara Mbah Samijan terdengar bergetar hebat. Meski suara laki - laki itu memang sudah serak karena pengaruh usianya yang sudah renta, namun tetap terlihat dan terdengar jelas betapa emosionalnya laki - laki itu saat ini. "Bagaimana dengan putri kami Kenanga, Mbah?" Fauzan kali ini yang bertanya. Mbah Samijan menarik napas dalam. "Dengan sangat menyesal ... putri kalian ... Kenanga ... dia telah ... meninggal dunia." Mbah Samijan langsung menunduk dalam setelah mengatakannya. Tak ingin melihat secara langsung reaksi kedua pasangan suami istri di hadapannya, yang pasti akan merasa sangat hancur. Ini lah yang tidak ia sukai. Ini lah yang membuatnya selama ini ragu untuk menolong orang lagi. Karena ia sudah terlalu tua untuk menyaksikan betapa menyakitkannya menjadi saksi kesedihan yang dirasakan orang tua, ketika kehilangan putra - putrinya. Terlebih ketika mendapat kabar bahwa anak mereka telah tiada. "Dari sekian banyak orang pintar yang menerawang keberadaan Kenanga, baru Anda yang mengatakan bahwa putri kami telah tiada." Fauzan mengutarakan hal itu di tengah isak tangisnya. "Bagaimana bisa? Kenapa Anda begitu tega? Seharusnya sejak awal Anda tidak perlu melakukan penerawangan." Tentu saja Fauzan tidak terima dengan vonis yang diberikan Mbah Samijan itu. Dengan masih menunduk, Mbah Samijan berkata, "Putri kalian berada di sebuah dasar jurang, dekat dengan tempat peristirahatan kelompok mendakinya. Jurang itu sangat curam, sehingga membutuhkan waktu dan cukup banyak orang untuk mencapai dasar. Tapi saranku, sudah benar dengan memberhentikan pencarian. Karena tubuh anak kalian disembunyikan secara gaib. Kata mereka, mereka hanya ingin melindungi jasad suci putri kalian. Katanya putri kalian tidak layak kembali ke dunia yang sudah begitu jahat padanya. Bahkan hanya sekadar untuk dimakamkan di dunia ini." Mbah Samijan tahu, ia mengerti. Orang tua mana yang akan terima ketika anaknya dinyatakan sudah meninggal setelah dinyatakan hilang berminggu - minggu. Tentu saja Fauzan dan Rosmala akan melakukan penolakan atas fakta yang ada. Namun Mbah Samijan tetap menjelaskan keadaan sebenarnya, sesuai dengan apa yang muncul dalam penerawangannya. Ia percaya, lambat laun Fauzan dan Rosmala akan mengerti dan menerima semua ini. Mbah Samijan sengaja menyembunyikan fakta yang terjadi sebelum Kenanga jatuh ke jurang. Karena ia yakin, justru itu yang akan membuat Rosmala dan Fauzan akan semakin sulit menerima kenyataan ini, dan jiwa mereka akan dipenuhi kebencian pada sosok Adi. Mbah Samijan sengaja diam. Karena yakin suatu saat Adi akan mendapatkan hukum karma atas perbuatan tidak bermoralnya itu. Fauzan dan Rosmala yang emosional, akhirnya dibawa keluar oleh cucu - cucu Mbah Samijan. Berita tentang hilangnya Kenanga semakin besar saja setiap harinya. Terlebih setelah ada penerawangan dari Mbah Samijan. Pencarian kembali dilakukan selama satu minggu untuk mencari Kenanga di area sekitar penerawangan Mbah Samijan. Dan benar apa kata laki - laki itu, Kenanga tidak pernah ditemukan lagi. Hanya baju yang ia kenakan terakhir kali dan juga tasnya yang ditemukan. Namun dengan ditemukannya dua benda itu, kini orang tua Kenanga bisa terima dan percaya bahwa putri mereka memang sudah meninggal dunia. Untuk mengenang putri mereka yang bahkan tidak bisa mereka kuburkan dengan layak di akhir hayat, mereka akhirnya memasang batu nisan pada tebing jurang itu. Berharap setiap pendaki yabg melihat nisan itu akan turut mendoakan ketenangan putri mereka. Hingga hari berganti tahun. Dan berita tentang hilangnya Kenanga akhirnya mereda. Hingga detik ini, tak pernah sama sekali ditemukan jasad atau sekadar sedikit dari ribuan susunan tulang - tulangnya. *** Brasta kembali pada dirinya yang sedang diseret ke gunung Lembu. Tepatnya di area sekitar tebing, tempat batu nisan Kenanga berada. Brasta benar - benar terkejut setelah mengetahui fakta sebenarnya di balik berita besar selama ini, yang ternyata salah besar. Karena tidak ada yang mengungkapkan kebenaran di balik kelakuan tak bermoral yang dilakukan oleh Adi. Adi yang saat ini bahkan hidup bahagia. Ya, tentu saja Brasta sebagai seorang pendaki gunung sejati, sangat tahu siapa Adi. Mereka bahkan beberapa kali bertemu dalam pendakian di gunung yang sama. Adi saat ini memang sudah tidak muda lagi. Tapi masih aktif mendaki gunung. Kebiasaan mendaki gunung membuat fisiknya begitu bugar dan kuat meski usianya telah tua. Adi sangat populer dan sering dijadikan panutan dalam mendaki. Mereka mengagumi Adi atas cerita dirinya yang setia menemani Kenanga bahkan sampai kebingungan mencari pertolongan untuk gadis itu. Tanpa semua orang tahu apa yang sebenarnya Adi lakukan pada Kenanga. Adi juga sering diundang dalam akun youtube para pendaki untuk ditanya jawab perihal pengalaman mendakinya. Bahkan ia juga masih sering ditanya perihal ceritanya bersama Kenanga. Yang jelas - jelas semua yang dikatakannya adalah sebuah kebohongan semata. "Lalu bagaimana, Brasta? Apakah setelah kamu tahu cerita yang sebenarnya, lantas kamu akan diam saja?" Kenanga akhirnya kembali buka suara. Raut wajahnya kini begitu murung. "Saat ini ragaku sudah tidak lagi disembunyikan oleh mereka. Karena aku meminta pada mereka untuk melepaskan aku. Karena aku ingin dikuburkan dengan layak. Tulang belulangku kini sudah tampak nyata di bawah sana. Jika kamu mau membantu aku mengungkapkan kebenaran ini. Dan jika kamu bersedia membongkar apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. Aku akan sangat berterima kasih, Brasta. Semoga Tuhan selalu memberkati manusia baik seperti kamu." Brasta menatap Kenanga dengan iba. Benar - benar berbeda dengan tatapannya saat pertama kali Kenanga mencoba berkomunikasi dengannya. "Aku - ...." Baru satu kata yang dikatakan oleh Brasta, namun ia seakan kembali dilemparkan dengan begitu keras, sama seperti saat Kenanga membawanya ke tempat ini. Tubuhnya terhempas, melesat dengan begitu cepat, seakan sedang menaiki wahana roller coaster yang begitu panjang, seakan tak berujung. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN