Mencari Kepastian

1036 Kata
‘Karena setiap kita memang dibentuk untuk siap dengan kehilangan.’ Allah Jodohkan Kita ~Thierogiara *** Sepanjang acara pemakaman Akram dan Haura berusaha saling menguatkan, akhirnya tubuh Rani tertutup dengan tanah menyisakan permukaannya yang ditaburi bunga-bunga. Haura masih terduduk di samping makan Rani, Akram masih berdiri memayungi gadis itu, baju koko putihnya sudah kotor di beberapa bagian sebab tadi ikut masuk mengantarkan Rani ke liang lahat. Akram berjongkok. “Ayo pulang,” ajaknya, mereka tak bisa terus diam di sana, hari sudah hampir gelap dan orang-orang di rumah yang bertamu tetap harus ditemui. Haura mengangguk dengan lemah, Akram membantunya bangkit berdiri, dia kemudian membawa Haura menuju mobil. Akram menyetir sambil sesekali melihat ke arah Haura, terakhir kali Akram melihat gadis itu seolah kehilangan cahayanya adalah ketika papanya meninggal, hari ini cahaya itu seolah hilang dan Akram seolah tak memiliki gambaran akankah cahaya itu kembali lagi. Dulu bundanya menjadi penghiburnya kala sang papa pergi, namun kini bundanya menyusul pergi. Akram? Entahlah, bahkan setelah ini dia tak tahu akankah Haura menerima kenyataan bersamanya atau tidak. Saat sampai, Akram sudah keluar mobil, Haura masih melamun di dalam, Akram menghela napasnya kemudian berjalan kembali ke mobil untuk meminta Haura turun. Akram membuka pintu mobil. Namun Haura bergeming, Akram menarik napasnya. “Ra...” panggil Akram. Haura masih diam. Akram memegang bahu gadis itu, Haura menoleh dengan pandangan kosongnya. “Ada apa Om?” tanyanya, Akram membuang pandang. “Masuk yuk,” ajak Akram tanpa melihat ke wajah Haura, dia terluka melihat Haura menjadi seperti ini walau sebenarnya wajar, namun tetap saja Akram merasa terluka dengan luka-luka yang Haura rasakan. Haura kemudian tersadar kalau mereka sudah sampai di depan rumah, gadis itu melepaskan sabuk pengamannya kemudian keluar dari dalam mobil. Akram menutup pintu mobil kemudian berjalan mengikuti Haura dari belakang, Haura berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Gadis itu langsung menuju kamar mengabaikan sanak saudara yang masih berada di sana, untungnya tak ada yang terlalu dekat, hanya beberapa saudara jauh sebab Rani adalah anak satu-satunya dulu, lagipula kedua orang tua Rani juga sudah meninggal. *** Haura dan Akram duduk berhadapan, beberapa orang sudah pulang dari rumah duka, sekarang benar-benar hanya tinggal mereka berdua. Selalu seperti itu, Haura hanya mengaduk makanannya hingga tak berbentuk, Akram menatap tangan gadis di depannya setelah itu menghela napas. “Di makan Ra,” suruh Akram. “Nggak bisa ketelen Om,” kata Haura. “Di dunia aja papa sama bunda kamu selalu sedih kalau kamu nggak mau makan, apalagi di alam sana, mereka mungkin udah nangis, kamu nggak mau makan dan mereka udah nggak disamping kamu lagi,” terang Akram. Haura menatapnya. “Kayaknya aku lebih baik nyusul mereka biar ada di samping mereka,” ujar Haura, matanya masih saja redup tak bercahaya, bahkan gadis itu seperti sedang berbicara dengan patung bukan manusia, di sana terlihat taka da kehidupan. Akram menatap mata Haura. “Kalau kamu masih diberi napas dan bisa menatap dunia hari ini itu karena Allah masih baik sama kamu, seharusnya kamu nggak boleh menyesali keberadaan kamu di dunia ini sebab itu hanya bagian kecil dari belas kasih Allah,” ujar Akram memasukkan makanan ke dalam mulutnya, kalau dituruti juga ia sebenarnya tak selera, namun dia adalah manusia, menghargai setiap rezeki pemberian Allah kewajiban untuknya. Haura terdiam. “Sakit banget Om, sekarang aku nggak ada siapa-siapa,” kata Haura. “Terus kamu pikir aku apa?” tanya Akram, omong kosong macam apa yang ia dengar barusan, mereka berdua di sana, artinya Haura tak sendirian. “Ya nggak gitu, suatu saat kita bakal punya hidup masing-masing, Om juga pasti akan mengejar apa yang ingin Om kejar dan aku juga gitu.” “Lah terus kenapa kita nggak melakukannya sama-sama?” tanya Akram. Haura terdiam menatap Akram, apa bisa? Mereka adalah dua manusia berbeda gender, bagainapun suatu saat mereka akan berpisah untuk sebuah rumah idaman masing-masing. “Jangan bebani pikiranmu soal hal yang buruk-buruk, jalani saja dan semua akan baik-baik aja,” ungkap Akram. “Tapi...” “Aku di sini dan akan selalu di sini.” *** Malamnya Ghani—pacar Haura—datang kembali ke rumah duka untuk takjiah, semua orang berdoa di sana, termasuk Akram. Selesai acara membacakan doa-doa untuk orang-orang yang sudah meninggal, Ghani tak lantas pulang seperti bapak-bapak yang lain. Dia memutuskan untuk menemui Haura sebentar, Akram terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya, namun tampaknya Ghani tak terusik dengan itu. Haura datang dengan segelas kopi hangan menghadap Ghani. “Jadi sekarang kamu tinggal berdua sama Om kamu?” tanya Ghani. Haura mengangguk. “Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi,” jawab Haura. Ghani mengangguk, Haura meremas-remas tangannya sendiri, sebenarnya tinggal berdua dengan Akram masih mengganggu pikirannya, bagaimana selanjutnya? Akram adalah adik angkat Rani dan dirinya adalah keponakan tiri Akram jadi mereka sama sekali taka da hubungan darah. Hubungan antara mereka hanya terjalin sebab mereka tinggal 1 rumah. “Kamu nggak ada niatan serius sama aku?” tanya Haura langsung, meski hubungan mereka baru berjalan 6 bulan, tapi Haura harus menanyakan kepastian karena hanya dengan menikah dia bisa keluar dari rumah. Ghani menelan ludahnya. “Ya ada, tapi nggak sekarang,” jawab Ghani, agak ragu namun tetap terlihat tenang. “Kapan? Dalam waktu dekat nggak bisa?” tanya Haura, ya paling tidak dia bisa tenang karena sudah ada kepastian. Ghani menggeleng. “Aku masih kuliah dan kamu juga kan? Aku belum ada penghasilan Ra, mau jadi apa rumah tangga kita nanti?” tanya Ghani. “Bukannya menikah membuka pintu rezeki ya?” tanya Haura, Ghani juga lumayan paham agama setahunya. “Iya, tapi kan menikah itu bukan sesuatu yang bisa kita buat untuk coba-coba, sekali nyemplung kita nggak tau gimana baliknya, jadi aku nggak mau menjalani sesuatu tanpa persiapan, aku nggak mau kamu dan anak-anak kita susah nantinya,” terang Ghani masuk akal memang namun tetap saja sebagai wanita Haura butuh kepastian. “Jadi?” tanya Haura. “Untuk saat ini aku belum siap,” kata Ghani. “Kalau gitu berapa lama lagi aku harus menunggu?” Haura bertanya seperti ini karena tak ingin waktunya sia-sia mencintai sosok yang pada akhirnya menjadi masa depan orang lain. “Dua atau empat tahun lagi atau sampai aku beli rumah mungkin,” jawab Ghani. Haura hanya menghela napas, berapa lama lagi? Bahkan kini Ghani masih belum memiliki pekerjaan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN