Ada Penawaran

1880 Kata
Serlin membaca lagi tulisan bab baru novelnya yang baru saja ia ketik. Ia menulis adegan ciuman yang begitu mesra hingga sang wanita melenguh nikmat karena sentuhan tangan lelaki yang membuai tubuh moleknya. Ciuman yang terjadi dengan panasnya di dapur. Gerakan tangan Serlin yang sedang menyentuh keypad untuk menggulir layar sontak terhenti. Ia menyentuh bibir bagian bawahnya sambil terdiam sesaat. Entah sadar atau tidak, tapi Nicholas memberi inspirasinya untuk menulis adegan ciuman ini. Rasa-rasanya, penggambaran di tulisannya semakin nyata, gamblang dan jelas—itu karena Serlin sendiri sudah merasakan bagaimana rasanya berciuman dengan panas. Serlin kemudian menghela napas berat, walaupun kejadian ciuman itu membuatnya sakit hati, tapi tetap saja bisa menimbulkan inspirasi baginya. Dulu Serlin pernah mendengar, kadang patah hati bisa membuat kamu berkarya dengan baik. Patah hati dengan Nicholas? Tidak, Serlin terlalu awal untuk hal itu. Dia juga tidak ingin berurusan lagi dengan Nicholas. Mungkin bukan patah hati, tapi kecewa karena di permainkan. Kemudian Serlin sadar akan sesuatu, untuk apa juga ia terus memikirkan kejadian itu? Jadi Serlin sekarang lebih memilih mengirimkan chapter baru novelnya ke Abian yang seperti biasa selalu menjadi pembaca pertamanya. Karena bagaimanapun Bian adalah editornya, bian mengoreksi naskahnya dan Serlin juga perlu komentar dari Bian. Serlin: Kak Bian, aku ngirim chapter baru naskahku. Menurut kamu gimana buat chapter itu? *** Bian tersenyum miring membaca chapter terbaru naskah n****+ Serlin dan kemudian mengetikkan balasan pesan pada Serlin, lalu membaca pesan n****+ itu kembali. "Gila, penulis gue hebat banget lah ini." Kata Bian pada Nicholas, karena mereka berdua sedang ada di rumah Nic. Nicholas yang sedang menonton film sontak menoleh sambil mengernyit. "Penulis? Si Red itu maksud lo?" Abian mengangguk. "Iya. Chapter baru yang dia tulis ada adegan ciuman di dapur. Hebat aja cara penulisannya, detail dan gue nggak nyangka kalau ciuman di dapur bisa sepanas ini." Tanpa banyak bicara, Nicholas langsung mengambil ponsel Bian dan membaca juga chapter baru n****+ yang dikirimkan Serlin. Ketika membaca baris demi baris kalimat di n****+ Serlin, otak Nicholas seakan ditarik ke kejadian dimalam saat Nicholas mencium Serlin di dapur rumahnya. "Nggak usah baca lo!" Bian menarik lagi ponselnya tidak santai. "Awas ntar jadi kepingin, bisa-bisa cium Arletta sampe bibirnya bengkak." Nicholas hanya berdecak. "Eh, yan, tanya ke Serlin dong dia lagi dimana sekarang?" Sejenak Bian menyipitkan matanya kearah Nicholas. "Kok lo tau nama dia?" "Dia adek tingkat gue di kampus, sahabatnya mantan gue." "Mantan yang mana nih?" "Astaga, bacot banget sobatku ini." Eluh Nicholas. "Tinggal tanyain aja kenapa?" "Dih, ngapain gue tanya-tanya." "Ayolah, please..." ucap Nicholas memelas. "Enggak! Lo kenapa sih, ah?" tanya Bian ngeri. Nicholas menghela napasnya, wajahnya begitu melas dihadapan Abian. "Gue tuh kenal Serlin..." Dan Nicholas mulai menceritakan ke Bian tentang pertemuannya dengan Serlin, tentang kedua ibu mereka yang berusaha menjodohkan, tentang perkenalan Serlin dan Arletta, sampai tentang ciuman malam itu. "Wah, gila! Gue tau lo fakboi tapi ini parah, man." Abian sampai geleng-geleng kelapa dengan kelakuan sahabatnya ini. "Makannya gue susah banget sekarang ketemu dia. Gue temuin di kampus, gamau ketemu. Gue sampai minta nomornya dia lewat nyokap, gue chat di block, anjing." "Merasa bersalah banget lo kayaknya?" "Bukan kayaknya lagi, merasa bersalah banget ini." Nicholas bergeming. "Gue nggak nyangka dia senangis itu." Abian sontak mengernyit. "Terus Arletta apa kabar? Lo nggak merasa bersalah gitu ke cewek lo?" dan Nicholas sontak tercenung. "Lo cium cewek lain disaat lo punya pacar, man." "Khilaf gue." Nicholas mengusap wajahnya dengan frustasi. "Sepenasaran itu gue sama Serlin." "Awal-awalnya sih khilaf, endingnya ketagihan mampus lo." Bian kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. Melihat Nic yang hanya diam melamun, membuatnya berdecak kesal untuk kesekian kalinya. "Serlin ada di rumahnya." "Hah?" "Lo nyuruh gue nanyain, kan? Noh, udah gue tanyain. Puas lo?!" Kata Bian sambil memperlihatkan layar ponselnya. "Okay, great." Wajah Nicholas langsung sumringah. Ia segera meraih hoodie hitamnya dan menyemprotkan parfum. "Masih bau rokok, nggak?" "Jangan bilang lo..." Nicholas menyengir. "Habis gue selesaiin urusan sama Serlin, gue juga bakal selesaiin urusan sama Arletta, kok." Abian hanya mengangkat kedua tangannya, tidak mau tahu-menahu. Itulah kenapa ia tidak mau menjalin hubungan dulu sebelum ia benar-benar di wisuda dan sukses dalam pekerjaannya. Karena mengurusi wanita dan cinta sama ribetnya. *** Serlin keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Ia duduk di pinggir kasur, tersenyum kecut melihat balasan pesan dari Bian. Abian: next chapter harus bisa nulis adegan yang seolah nyata gini ya Abian: sumpah kerasa banget feelnya! Serlin bingung harus membalas apa. Bagaimana ia bisa menulis adegan yang menjelaskan s*x secara nyata apabila ia belum pernah melakukannya. Yang kemarin juga kebetulan yang buruk baginya karena berciuman dengan Nicholas. "Serlin!! Makan dulu!!!" Teriakan mamanya bahkan langsung terdengar dari kamarnya untuk menyuruh Serlin makan malam. Serlin hanya menghela napas dan membuka pintu kamarnya, mamanya itu biasa suka berteriak dari anak tangga bawah dan memanggilnya untuk makan malam bersama. Kemudian Serlin menuruni anak tangga dengan santai sambil membenarkan kancing piyamanya. "Tante, ini ayam panggangnya mau ditaruh dimana?" dan suara seorang lelaki itu langsung menghentikan langkah Serlin yang hendak masuk ke ruang makan. Dari koridor yang menghubungkan antara ruang makan dan dapur, Nicholas yang sedang membawa nampan kaca berisi ayam panggang langsung melemparkan senyum pada Serlin. "Hai, Serlin. Habis mandi ya?" sapa Nicholas basa-basi. Keterkejutan jelas terlihat dari wajah Serlin. Ia langsung diam membeku, tapi tatapan Nicholas yang menatap rambut panjangnya yang sedikit basah karena habis keramas, kemudian turun lagi menatap d**a Serlin—yang terlihat menonjol karena ia sengaja tidak memakai bra jika di rumah. Serlin langsung melebarkan matanya dan menyilangkan kedua tangan di depan d**a, kemudian membalikkan badan memunggungi Nicholas begitu saja. "Eehh, Serlin, mau kemana kamu?" teriak Fara ketika melihat anaknya kabur begitu saja menaiki tangga lagi. "Ada Nicholas ini, disapa dulu bisa dong, nak!" "Gapapa, tante." Ucap Nicholas sembari tersenyum kecil. "Sini tante bawakan ayam panggangnya." Fara mengambil nampan kaca berisi ayam panggang itu dari tangan Nicholas. "Kamu ini, pakai repot-repot bawain ayam panggang segala." Nicholas menyengir seadanya. "Mau bertamu masa datang dengan tangan kosong sih, tan." "Ya gapapalah, anak muda punya modusnya masing-masing." Sahut Papa Serlin yang sudah ada di ruang makan, membuat Nicholas tertawa juga. "Om tahu aja nih trik-nya." Jawab Nicholas. Suara tawa dan obrolan-obrolan ringan dari ruang makan membuat Serlin mengernyit heran ketika memasuki ruang makan—kali ini dia sudah memakai bra, dan kemudian menatap Nicholas waspada. "Nah, ini yang kamu cari kan, Nicholas?" tanya Papa Serlin. Kernyitan di dahi Serlin makin dalam, sejak kapan papanya bisa sesantai ini berbicara dengan orang baru? Papanya adalah tipe lelaki kaku, susah akrab dengan orang baru, terutama teman pria Serlin. Serlin bahkan tidak pernah membawa seorang pria sebagai teman dekatnya datang ke rumah untuk bertamu. "Ngapain lo kesini?" tanya Serlin ketus sambil menarik kursi yang berjarak dari Nicholas. "Serlin," Fara mengintrupsi. "Yang sopan dong sama Nicholas. Panggilnya Mas Nicholas." Nicholas sontak memasang senyum lebar, yang menurut Serlin adalah senyum paling tengil Nicholas. Makan malam keluarga Serlin-pun berlangsung, Nicholas menjadi bintang utama pada makan malam ini. Nicholas seolah pintar menarik hati Papa Serlin dengan tidak menyombongkan dirinya, kemudian menceritakan tentang usahanya frenchise-nya jika ditanya, sampai bercerita tentang hal-hal lucu saat proses skripsinya ini dan bimbingan dengan dosennya yang Nic anggap konyol. "Serlin aja yang cuci piring, ma." Ucap Serlin sambil mengambil piring-piring kotor diatas meja makan. Sedangkan Nicholas menemani papanya merokok di halaman belakang. "Lin," panggilan mamanya membuat Serlin menoleh. "Hubunganmu sama Nicholas, kelihatannya makin lancar, ya?" Serlin hanya mengedikkan bahunya. "Biasa aja, ma." "Nic kayaknya suka sama kamu." "Ma," Serlin melenguh pelan. "Baru juga ketemu beberapa hari dan Nic kesini. Kaya gitu mama bilang suka? Siapa tahu Nic cuma terpaksa kesini karena disuruh tante Vivi, kan mama nggak tahu." Serlin kemudian melangkah ke dapur begitu saja untuk mencuci piring. Meninggalkan Fara yang larut dalam pikirannya sendiri tentang hubungan anaknya dan Nicholas. Ketika sedang mencuci piring, diam-diam Serlin melirik kearah pintu kaca yang menghubungkan dengan halaman belakang. Ia melihat papanya dan Nicholas yang saling mengobrol di depan kandang burung lovebird yang besar karena berisi banyak burung. Papanya memang menyukai burung lovebird, tipikal bapak-bapak sekali. Serlin berharap setidaknya dengan mencuci piring, ia bisa mendengarkan apa yang dibicarakan papanya bersama Nicholas. Tapi sepertinya sia-sia, Serlin tidak mendengar apapun, selain mendengar pintu kaca halaman belakang yang bergeser dan langkah papanya dengan Nicholas yang memasuki dapur. "Jangan capek-capek, Lin. Temani Nicholas ngobrol dulu ini. Bosen mungkin dia ngobrol sama bapak-bapak mulu." Celetuk Papanya yang membuat Nicholas hanya tertawa canggung. "Bentar lagi juga selesai, Pa." Ucap Serlin. "Yasudah, Papa tinggal dulu ya, Nic." "Iya, Pa." Jawab Nicholas. Serlin yang sedang membilas piring sontak langsung menoleh, menatap Nicholas dengan protes. Seakrab apa Nicholas dan Papanya sampai Nic sudah bisa memanggil "Papa" hanya dalam satu kali pertemuan?! "Mau dibantuin nggak?" tanya Nicholas yang kini sudah berdiri disamping Serlin. "Nggak." Jawab Serlin ketus. "Mending kamu pulang." Nicholas tidak memperdulikan ucapan ketus Serlin. Ia menggulung lengan hoodie-nya dan mengambil piring yang sudah dibilas Serlin dengan sabun, lalu Nicholas bilas dengan air mengalir. "Kan kesini mau ketemu kamu. Baru habis itu pulang." Jawab Nicholas. "Oh, buat apa kamu nemuin lagi cewek yang berciuman paling payah dan awkward ini?" sindir Selin ketus. Dia kemudian melepas apron-nya dengan kasar dan meninggalkan Nicholas. Nicholas ikut menyusul Serlin yang duduk di sofa ruang keluarga dan menyalakan televisi. "Serlin, aku kesini untuk minta maaf." Kata Nicholas tulus. "Kamu tahu kenapa aku mengatakan itu saat ciuman kita? Karena aku takut, Lin. Aku takut... kamu tampar." "Hah?" Serlin langsung menoleh dan menatap Nicholas tidak paham. "Secara, aku tiba-tiba cium kamu yang ternyata belum pernah ciuman sama sekali, kan?" Nicholas lalu menghela napasnya. "Kamu mau aku jujur, nggak?" Serlin hanya diam, terlihat tidak mau tahu. Padahal sebenarnya ia ingin mendengarkan lebih lanjut. "Jujur itu memang ciuman terkaku yang pernah aku rasakan. Karena itu juga pertama kalinya aku cium cewek yang masih belum pernah berciuman sama sekali." Nicholas lalu tersenyum kecil. "Rasanya memang lucu. Tapi aku salah malam itu, karena mengungkapkannya dengan kata-kata kasar. Maafin aku, ya?" Pipi Serlin bersemburat merah karena Nicholas mengatakan apa yang ia rasakan soal ciumannya bersama Serlin. Sejujurnya ia sudah tidak mau mengingat tentang ciuman itu lagi, namun Nicholas malah mengungkitnya. "Di maafin nggak, nih?" tanya Nicholas karena Serlin terus diam. "Kata Bian, tulisan kamu makin bagus dan terasa nyata. Kamu tadi ngirim chapter baru novelmu kan ke Bian, adegan ciuman di dapur. Apa jangan-jangan, aku yang jadi inspirasi buat kamu?" "Jangan kepedean, deh." Elak Serlin walaupun itu sebenarnya benar. Dan Nicholas hanya mengulum senyum, kemudian menggeser duduknya makin dekat dengan Serlin. "Kapan nih di maafinnya?" "Iya, iya aku maafin." "Terpaksa nggak nih?" "Aduhh, pertanyaannya kayak anak SD yang barusan baikan deh." Omel Serlin dan Nicholas sontak terbahak. Nicholas lalu menjentikkan ujung telunjuknya ke dahi Serlin. "Kalau mau belajar hal-hal baru yang lain, bilang aja." "Maksudnya?" "Tahu arti kata friend with benefit?" tanya Nicholas balik. "Mungkin, kita bisa jadi kaya gitu." "Bukannya kamu punya pacar?" Nicholas lalu tersenyum kecil. "Aku memang punya pacar. Tapi kalau hubungan kita makin dekat, bukannya menguntungkan buat mama-mama kita? Dan kita jadi nggak diribetin lagi sama mereka. Nggak ada perjodohan lain, dan nggak ada kencan dengan cewek atau cowok lain kalau kita dekat di depan mereka. Jadi... gimana?" --- Author Note Jangan lupa klik love di bagian sinopsis untuk menambahkan cerita ini ke reading list kamu. Tolong tinggalkan komentar yang menyenangkan! Follow me on dreame & Innovel.  Also follow me on IG: segalakenangann
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN