"Sudah saya bilang, Pak, dia itu pacar saya. Mungkin dia hanya sedang marah pada saya makanya bersikap begitu." Pemuda bernama Charlie itu terus membela diri membuat Doni stress karena tidak dapat menyelesaikan laporannya.
Doni mengetuk-ngetukan penanya di atas meja. Gaya Doni yang garang itu membuat Charlie ngeri juga. "Saya kayaknya pernah tahu Bapak, Bapak selebgram yang terkenal itu, kan? Saya juga follow Bapak," ujar Charlie berupaya merebut hati Doni.
Doni mendesah. Wibawanya sebagai aparat sudah dipandang remeh gara-gara i********: laknat itu. "Bapak foto genik ya, pose selfie Bapak selalu bagus. Nggak kayak selfie. Kayak dicuri orang gitu. Ajarin, Pak, caranya. Saya juga pengen nambah follower." Charlie menambahkan.
Doni menggebrak meja sehingga Charlie terkesiap. "Kenapa kamu jadi bahas i********:! Ingat kamu bisa di sini gara-gara apa!" sentak Doni.
"Ya sudahlah, saya pasrah saja, Pak. Kalau mau dihukum ya saya terima saja. Lelaki memang selalu salah," ucap Charlie.
Doni tepekur. Satu kalimat Charlie itu membuatnya luluh juga. Sebagai sesama lelaki yang sering disalahkan, Doni merasa senasib dan sepenanggungan. Apalagi mereka adalah korban dari orang yang sama. Si Lucky yang selalu play victim.
"Charlie." Doni menatap biodata pemuda itu pada berkas di hadapannya. "Kamu ini masih muda, dari keluarga baik-baik, punya pekerjaan yang baik dan juga gaji yang lumayan. Lupakan saja cewek itu dan cari yang lain." Doni mengangkat kepalanya, lalu menatap mata Charlie. "Artis tidaklah sempurna seperti yang kamu pikirkan. Mereka punya banyak celah yang harus ditutupi. Saat kamu tahu sifat asli mereka, kamu hanya akan kecewa."
Doni lalu menunjuk pintu keluar. "Kamu boleh pulang, tapi ini peringatan terakhir. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi."
Charlie mengucapkan terima kasih lalu bangkit. Pemuda yang lebih muda tiga tahun dari Doni itu lau berpamitan dan melangkah pergi dari mabes polri. Charlie melangkah dengan gontai lalu memesan taksi. Dia tidak menduga harinya akan berakhir seperti ini. Semuanya karena Lucky.
Lucky. Dulu selalu menganggap gadis itu adalah keberuntungannya, tapi tidak untuk malam hari ini. Setelah melewati perjalanan panjang, Charlie sampai juga di apartemennya dengan selamat. Cowok itu mengganti bajunya sembari memikirkan tentang Lucky. Mengapa Lucky tiba-tiba bersikap aneh seperti itu? Beberapa hari yang lalu mereka memang sempat bertengkar, tapi bukankah masalah itu sudah selesai? Apakah Lucky harus marah seperti itu? Dan memperlakukannya sebagai stalker? Charlie tidak habis pikir.
Setelah selesai mandi, Charlie hendak berlibur ke pulai kapuk. Akan tetapi dering ponsel menganggunya. Charile meraih ponselnya di atas nakas dan mendesah ketika melihat nama kontaknya. "Just My Luck". Akhirnya cewek ini menelepon juga.
"Kamu mau apa? Ada perlu apa menghubungi stalkermu!" bentak Charlie.
Charlie mendengarkan jawaban wanita dari dalam ponsel itu kemudian tertawa. "Apa sebenarnya maumu? Kamu mau putus? Oke! Kita putus sekarang juga, kamu tidak perlu memperlakukanku seperti stalker lagi!"
Tidak terdengar apa pun dari dalam ponsel itu sehingga membuat Charlie mengerutkan kening. "Kenapa kamu diam saja! Katakan apa maumu!"
"Aku akan ke apatemenmu malam ini," kata gadis itu, "Tunggulah aku di atap gedung jam satu. Kita selesaikan semua urusan kita."
***
Lucky melangkah menuju ruang rias khusus untuknya didampingi oleh Bella. Hari ini mereka akan tampil dalam malam anugrah insan musik tertinggi di Indonesia. Lucky merasakan dadanya berdebar-debar. Dia berdoa, semoga saja tahun ini dia bisa mendapatkan penghargaan lagi. Tak sengaja mereka berpapasan dengan seorang gadis bergaun merah yang rambutnya disanggul dengan cantik.
Lucky berdecak, dia tidak terlalu menyukai wanita itu. Anggun namanya, dia lebih muda dari Lucky dua tahun, tetapi debut lebih dulu sebagai penyanyi cilik. Anggun adalah pribadi yang sesuai dengan namanya, selalu berpenampilan bak putri raja yang berkelas dan angkuh. Bagi Lucky sendiri, Anggun hanya beruntung karena ayahnya adalah seorang produser. Anggun jarang menyanyikan lagu secara live. Dia lebih sering lipsing. Itulah yang membuat Lucky tak menyukainya. Bagi Lucky, lipsing adalah penghinaan bagi fans. Jika hanya ingin memperdengarkan suara kaset, untuk apa fans harus membayar mahal untuk tiket konser? Mereka bisa mendengarkannya sendiri di rumah. Lucky yakin Anggun sebenarnya memiliki suara yang tak seberapa bagus, karena itu dia kurang percaya diri pada acara konser musik live.
"Hai, Anggun," sapa Lucky sok ramah.
"Hai, aku akan menyanyikan dua lagu on air nanti," terang Anggun sambil tersenyum penuh kesombongan. "Berapa lagu yang kamu nyanyikan?"
"Empat." Lucky mengembangkan senyum, merasa menang. "Tiga laguku sendiri dan satu lagu kolaborasi duet bersama Kak Chaka."
Lucky bersorak dalam hati ketika melihat Anggun menaikkan alisnya. Lucky yakin gadis itu kebakaran jenggot. Semua penyanyi wanita Indonesia pasti mendambakan duet bersama Chaka, penyanyi senior yang menjadi legenda musik Indonesia. Lucky pun melompat-lompat bahagia, dua hari lalu ketika mendengar bahwa Chaka sendirilah yang menginginkan berduet dengannya.
"Kamu beruntung," ucap Anggun sambil menyeringai kecil.
"Karena itulah namaku Lucky," jawab Lucky diplomatis.
"Kita lihat saja, berapa lama keberuntunganmu itu akan bertahan," dengus Anggun. Gadis itu lalu menabrak bahu Lucky dan melangkah pergi. Lucky menjulurkan lidahnya pada punggung Anggun.
"Kakak!" tegur Bella sembari bergeleng-geleng. "Bisa nggak sih, Kakak jangan nambah musuh terus."
Lucky menyeringai kecil. "Dia yang duluan nyombong, aku cuman bales aja." Lucky membuka pintu ruang rias yang ditempeli namanya. Di dalam sana ada seorang penata rias telah menunggunya dan menyambut kedatangannya.
"Selamat datang, Nona Lucky," sapa wanita cantik berambut ikal itu.
Lucky terdiam sejenak kemudian berteriak histeris dan memeluk wanita itu. "Kak Ami!" seru gadis itu riang.
Make up artist yang dipanggil Kak Ami itu tertawa. "Aku pikir kamu nggak akan inget sama aku," kata wanita itu setelah Lucky melepaskan pelukannya.
"Mana mungkin bisa lupa!" seru Lucky sambil menggenggam tangan Ami erat. "Ayo kita ngobrol, ngobrol dulu," usul Lucky.
"Hush! Sudah jam berapa ini, dua jam lagi kamu tampil!" Ami menunjuk jam dinding. Lucky hanya tertawa kering. Manajemen waktu adalah salah satu kelemahannya. "Sudah duduk saja di sini. Kita bisa ngobrol sambil aku merias wajahmu." Ami menepuk-nepuk kursi hidrolik dan mempersilakan Lucky duduk di sana. Gadis itu pun menurut dengan senang hati. Ami adalah salah seorang yang sangat berperan dalam karir Lucky. Jika tidak bertemu Ami, mungkin Lucky tak akan pernah menjadi seorang artis.
Lucky ingat ketika masih SMA, dirinya adalah seorang gadis yang gendut dan dekil. Tak jarang dia mendapat cemoohan dari teman-temannya karena bentuk fisiknya yang tak sempurna. Hingga suatu hari, Lucky berdiri di beranda kelas sembari membersikan kaca jendela. Karena merasa sepi, dia menyanyikan sebuah lagu. Saat itulah, tiba-tiba muncul kepala dari jendela yang sedang dibersihkannya. Doni ada di sana dan menyapanya.
"Suaramu bagus sekali," puji cowok itu.
Lucky terkejut. Doni adalah salah satu most wanted boy dari kelas sebelah. Lucky selama ini pun sering mengagumi cowok itu dari jauh. "Pensi bulan depan, aku pengen tampil, tapi aku nggak bisa nyanyi. Kamu mau kolaborasi bareng aku? Tapi aku main gitar doang, kamu yang nyanyi."
Lucky terperangah mendengar tawaran Doni itu. Apakah dia sedang mimpi? Pangeran sekolah mengajaknya berduet.
"Kok diem? Mau nggak?" tegur Doni karena Lucky tak segera menjawab.
"A-apa nggak apa kamu duet bareng aku?"tanya Lucky.
Doni mengerutkan kening. "Emang kenapa?"
"Ya, aku kan jelek, kamu ganteng. Nanti aku bisa mengurangi kekerenanmu."
Doni terbahak mendengar penjelasan Lucky itu. "Kamu tenang aja, aku ini keren banget. Kekerenanku nggak akan berkurang kalau bareng kamu."
Cowok itu lalu menyibak rambut depan Lucky yang menutup sebagian wajahnya. Lucky tertegun, jantungnya berdetak begitu cepat. "Lagian kamu cantik kok," puji Doni sambil tersenyum menunjukkan deretan giginya yang tertata rapi.
"Ka-kamu nggak usah bohong gitu! Semua juga tahu aku jelek,"tuduh Lucky.
Doni tersenyum lalu meletakkan kedua tangannya di bingkai jendela untuk menyangga kepalanya. "Dengar, Lucky, kata kakakku, di dunia ini nggak ada cewek jelek. Hanya ada cewek rajin dan cewek malas."
"Aku masuk yang mana?" tanya Lucky bingung.
Doni tertawa lagi. "Kamu mau aku kenalin sama kakakku?"
"Ky, Lucky."
Suara panggilan Ami itu membuyarkan lamunan Lucky. Gadis itu terkesiap. "Ya, Kak, kenapa?"
Ami menyeringai. "Hayo, ngelamunin apa? Ngelamunin mantan ya!" tuduh Ami.
Lucky terbelalak. Kok bisa sih Kami membaca pikirannya. Tapi tentu saja Lucky mengelak dengan geraman. "Ih! Ngapain!"
Ami tergelak, "Tutup mata dong, aku mau kasih eye liner," ujar Ami. Lucky menurut dan menutup kedua kelopak matanya.
"Kak, tolong sampaiin ke adikmu ya," pinta Lucky.
"Hm, apa? Kalau kamu masih suka dan pengen balikan sama dia?" tanya Ami.
"Nggaklah!" Lucky melolot sehingga membuat Ami jantungan, untung dia belum memberi eyeliner di mata itu.
"Merem dulu! Merem!" protes Ami. Lucky kembali menurut.
"Bilang sama dia, dompetnya ada di aku."