PARTE 7

2645 Kata
Shawn berdiri di dekat sekat kaca dengan arah pandangan tertuju lurus pada sosok yang sedang makan di kantin kantor. Perempuan itu sudah kembali pada tampilannya yang biasa. Rambut dijalin, kemeja polos warna abu-abu dan celana hitam panjang. Tampilan normal ala Namira. Ia terlihat berbaur dengan baik bersama teman-teman kantornya yang lain. Malam itu Namira menolak diantar sampai depan kos karena ternyata ada temannya menunggu di sana. Kini Shawn melihat Namira sedang mengobrol dengan teman yang ia maksud itu.  "Itu namanya siapa?" tanya Shawn menarik perhatian Theo dari ponselnya.  "Hah? Yang mana, Pak?"  Shawn lantas menoleh pada PA nya itu. "Kamu udah ketularan hah Namira ya?"  "Hah?"  Shawn menatap Theo datar dan itu membuat Theo semakin bingung. Biasanya Shawn menatap dirinya datar ketika ia membuat kesalahan. Tapi kali ini Theo tak tahu kesalahan apa yang sudah ia lakukan.  "Itu siapa?" ulang Shawn.  "Hmm, oh itu Krisna, salah seorang PJ di adm.."  "Krisna.." Shawn kembali pandangi dua orang yang sedang berbincang seru itu. Tadi Shawn ke taman balkon dan dia tidak menemukan Namira di sana. Ternyata Namira makan di kantin. Itu artinya Namira tak membawa bekal.  "Kenapa, Pak?" Theo membuyarkan lamunan Shawn.  Shawn tak menjawab. Ia membuang napas pelan lalu melengos pergi begitu saja. Theo hanya bisa mengekor tanpa berkomentar.  ...  Namira mencuci tangannya. Ia kemudian pandangi dirinya di kaca. Yang Namira lihat di sana adalah dirinya. Tampilan Namira yang biasa. Namira dengan rambut yang dijalin. Namira dengan kemeja lusuh. Namira dengan wajah nyaris polos. Tadi pagi Namira memoles tipis bibirnya dengan lipstik. Kini lipstiknya sudah hilang terbawa makanan dan minuman yang masuk ke dalam mulut. Ingin memoles lagi Namira terlalu enggan. Lipstiknya tertinggal di dalam tas di atas meja.  Alasan Namira menatap dirinya kini adalah karena kejadian malam minggu kemarin. Namira masih memikirkan alasan Shawn membawanya ke pesta ulang tahun Renz. Namira ingin melupakan dan menganggapnya biasa. Tapi semakin ia ingin lupa ia malah semakin ingat.  "Namira, kamu beneran udah naksir berat sama Pak Shawn ya?" otak Namira bertanya pada sang hati.  Namira menatap lurus pantulan dirinya di kaca.  "Gila kamu." Namira seperti sedang dimarahi dirinya sendiri. Tapi seperti apapun Namira menolak, kenyataannya Namira memang menyukai Shawn. Namira benar-benar menyukai Shawn. Bukan sekedar kagum karena kecerdasan atau ketampanan Shawn. Tapi Namira benar-benar menyukai Shawn dengan alasan yang tak bisa Namira jelaskan. Pantas saja Shawn tak mau keluar dari kepalanya sejak hari itu. Namira memang benar-benar sudah jatuh hati pada bos besarnya itu.  "Aku harus apa sekarang?" Namira menyuarakan isi hatinya. Memiliki Shawn jelas sebuah kemustahilan. Namira tak pernah benar-benar jatuh hati pada seorang laki-laki. Selama ini ia terlalu sibuk berjuang untuk bisa tetap bertahan hidup. Namira tak punya waktu mengurus soal hati dan pria. Kini Namira sudah punya cukup waktu untuk itu. Tapi kenapa harus pada orang yang jelas-jelas tak mungkin bisa digapai?  Shawn cinta pertamanya. Dan Namira ingat betul kalimat yang pernah diucapkan temannya. "Cinta pertama tidak pernah berhasil."  "Kamu tau harus apa kan, Namira? Iya. Melupakan perasaan kamu." Namira menarik napas dalam kemudian meninggalkan toilet.  ...  "Aku dijemput sama gebetan aku. Doain ya, hari ini mau ngedate.." Putri tersenyum malu-malu. Ia poleskan lipstik di bibirnya. Padahal bibirnya masih merah. Tapi seperti tak puas, Putri kembali oleskan kuas lipstiknya beberapa kali di sana.  Namira geleng-geleng. Teman-temannya sudah mulai meninggalkan meja mereka. Tapi Namira masih di kursinya dengan komputer yang menyala.  "Udah Mir jangan terlalu diforsir. Kamu juga harus mulai pacaran. Kayaknya Mas Krisna naksir kamu deh.."  Namira melotot. "Jangan sembarangan.."  "Ih aku serius tau. Kalau enggak ngapain dia ngotot mau ngeliat kamu ke kosan coba?"  "Jangan ngawur. Itu kebetulan aja. Mas Krisna kan emang baik.."  Putri mencibir. "Coba aja lihat. Aku sih yakin kalau dia suka sama kamu. Aku udah telat nih. Dia udah di depan. Aku pergi dulu ya. Bye.."  Namira tersenyum dan melambaikan tangannya.  "Duluan ya Mira.."  "Duluan Mir.."  "Udah Mir sambung besok aja.."  Namira tanggapi teman-teman divisinya itu dengan senyuman. Kini benar-benar hanya Namira yang ada di dalam ruangan itu. Namira melirik jam di sudut komputernya. Sebenarnya bukan jam yang Namira lihat di sana, tapi tanggal. Sudah beberapa bulan Namira tidak bertemu neneknya. Semenjak merantau ke Jakarta belum sekalipun Namira bisa pulang. Ia baru mengirimkan duit saja ke kampung.  "Ibuk.." Namira tersenyum pada layar ponselnya. Di sana terpampang foto kedua orang tua, nenek, dan dirinya. Mereka berempat tersenyum pada kamera. "Selamat ulang tahun, Buk. Maaf ya, Nana belum bisa jadi anak yang membanggakan. Nana masih banyak kurang. Belum bisa juga bahagiain Nenek.."  Itu adalah foto pertama dan terakhir Namira bersama kedua orang tuanya. Saat itu ia kelas 3 sd. Beberapa hari setelah foto itu diambil, kedua orang tua Namira meninggal dalam kebakaran pabrik tempat mereka bekerja. Hidup Namira berubah sangat drastis setelah kedua orang tuanya meninggal sebab satu-satunya yang bisa Namira harapkan kala itu adalah neneknya. Nenek Namira mengambil alih tanggung jawab membesarkan dan membiayai hidup mereka.  "Nana sayang Ibuk sama Abah.." Namira mencium layar ponselnya. Ia kemudian tersenyum. Namira menarik napas dalam kemudian kembali fokus pada layar komputernya.  ...  Shawn melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.  "Bapak udah mau pulang?" Theo muncul dari balik pintu kaca.  "Iya.." Shawn mengambil ponselnya kemudian bangkit. Theo kemudian menjelaskan jadwal penting Shawn untuk besok.  "Bapak nggak lewat lift ini?" tanya Theo saat Shawn justru lewat lift umum. Shawn menggeleng. Theo kemudian menyusul Shawn masuk ke lift umum. Theo melirik bosnya itu sesekali. Ada yang ingin Theo tanyakan. Tapi Theo tak berani. Ia takut kena semprot. Shawn memang bukan Bos yang galak. Tapi pertanyaan yang akan Theo tanyakan adalah pertanyaan yang cukup pribadi. Jadi Theo tak yakin tanggapan seperti apa yang akan Shawn berikan.  Mereka sampai di lantai dasar. Keduanya keluar dari lift. Tak ada karyawan lain karena memang jadwal kantor sudah selesai dari tadi. Begitu memasuki lobi, tak hanya Theo saja, Shawn pun terkejut melihat siapa yang ada di kursi tunggu. Perempuan cantik itu langsung tersenyum lebar kemudian melambaikan tangannya.  "Shawn.."  "Naomi. Sejak kapan kamu di sini?" Shawn tak bisa sembunyikan senyuman di wajahnya. Ia langsung memeluk Naomi begitu ia sudah berdiri di depan perempuan itu. "Kenapa nggak ke atas atau nelpon aku?"  "Aku mau kasih kejutan.." Naomi mengedipkan sebelah matanya.  "Hai Theo.." Naomi menyapa.  Theo tersenyum. "Mbak.."  Kini Theo mengerti kenapa Shawn ingin lewat lift umum. Shawn kemudian menyuruh Theo pulang lebih dulu karena ia akan pergi dengan Naomi. Theo kemudian pamit.  "Aku kangen banget sama kamu tau nggak. Kenapa kamu makin kurus gini?" Shawn mengusap lembut pipi Naomi. Perempuan itu tersenyum.  Tak jauh dari sana, Namira menyaksikan kemesraan dua orang itu. Namira membuang napas pelan kemudian tersenyum tipis. Niatnya Namira ingin pulang terakhir agar tak bertemu siapa-siapa. Tapi Namira malah harus menyaksikan kemesraan Shawn dan Naomi. Namira tak pernah bertemu langsung dengan Naomi. Tapi kini ia melihat kekasih bosnya itu secara langsung. Naomi memang sangat cantik. Sekali lihat saja sudah terlihat kalau perempuan itu sangat cerdas. Laki-laki mana yang tak akan jatuh cinta pada perempuan seperti Naomi?  Namira sudah tahu dia harus apa. Pertama Namira harus menjauhi Shawn. Sebisa mungkin tidak bertemu atau melihat Shawn. Namira takut dia makin jatuh cinta pada Shawn karena sikap baik pria itu padanya. Namira takut hatinya terus salah paham atas kebaikan Shawn. Orang bilang cinta pertama sangat susah untuk dikendalikan. Namira takut cinta pertamanya membuat bekas besar di dalam hatinya. Jadi Namira inisiatif untuk meredam rasa itu sebelum ia berubah menjadi semakin besar.  Namira kemudian melangkahkan kakinya setelah memastikan Shawn dan Naomi pergi. Namira menghembuskan napas panjang. Hujan turun lagi.  ...  Begitu Shawn memasuki rumahnya, Renz langsung berlari mengejar pria itu.  "Halo ganteng.." Shawn berikan kecupan di pipi Renz.  "Halo my sweety boy.." Naomi menoel pipi Renz. Tapi respon yang Renz berikan sama seperti sebelum-sebelumnya. Ia tak begitu menanggapi. Naomi tak tersinggung karena Renz memang selalu begini. Tak hanya pada dirinya tapi pada orang lain juga. Selain Mami dan Papinya, Renz benar-benar hanya welcome pada Shawn, Askala dan Jilla. Pada Yasmine yang paling manis pada anak-anak saja Renz tak begitu tertarik. Alin yang sering bertemu dengan Renz pun masih belum bisa mengambil hati Renz. Apalagi Naomi yang frekuensi bertemu Renz sekali sewindu.  Wendy menyambut kedua tamunya itu. Kalau Shawn sudah sering ke rumahnya. Naomi memang hanya sesekali datang karena Naomi sangat sibuk.  "Naomi, kapan sampai?" tanya Pane yang baru turun dari lantai 2. Sepertinya dia baru selesai mandi.  "Baru. Nih bayar hutang karena kemarin nggak bisa datang ke ulang tahun Renz.."  Renz terlihat sibuk menggoda Shawn dan sebaliknya. Sesekali suara kikikan keduanya terdengar. Wendy dan Pane tersenyum. Pemandangan begini bukan pemandangan yang aneh lagi bagi mereka. Tapi sampai saat ini baik Wendy atau Pane masih tetap terpesona melihat kedekatan Renz dan Shawn. Rasanya masih seperti sesuatu yang baru dan rasanya sangat hangat melihat bagaimana cerah wajah Renz.  "Gimana kemarin pestanya? Maaf ya nggak bisa datang.."  Wendy dan Pane saling pandang kemudian tersenyum. Sepertinya Naomi tak tahu kalau kemarin Shawn datang dengan perempuan bernama Namira. Memang tak ada yang membahas siapa Namira dan kenapa Shawn datang dengan perempuan itu. Karena sepertinya sosok Namira tak begitu penting. Sebab Shawn pun terlihat biasa saja seolah memang tak ada hal yang perlu dibesarkan. Lagipula siapa yang tidak tahu bagaimana cintanya Shawn pada Naomi?  Jadi semua seperti sudah sepakat untuk tak mengungkit lagi nama Namira. Sebab ini kisah Shawn dan Naomi. Nama Namira mungkin hanya hadir sesaat sebagai figuran. Itupun kalau mau dibilang figuran. Sebab sosok Namira memang tak penting dan tak mengambil peran apapun.  "Acaranya seru. Si Shawn nih kalah main game.." dan obrolan itu mengalir dengan lancar seperti biasanya. Tak ada yang berbeda. Semua masih sama seperti biasa. Baik Pane atau Wendy masih melihat sorot yang sama dari mata Shawn. Sorot yang menunjukkan bahwa cinta Shawn pada Naomi tak pernah memudar.  ...  Perempuan yang mengenakkan kemeja motif bunga itu berlari kencang memasuki gedung menjulang tempat ia mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Namira terlambat hari ini. Jangan tanya apa alasannya karena Namira tak punya waktu untuk menjelaskan. Namira harus sampai secepat mungkin di ruangannya. Karena tak hati-hati Namira nyaris terjatuh karena tersandung pot bunga. Untung Krisna sempat menyambutnya.  "Hati-hati Mira.."  "Duh maaf Mas. Lagi buru-buru.."  "Kaki kamu nggak apa-apa?"  Namira menggeleng. Sebelum berlalu ia sempat berikan Krisna senyuman. Namira langsung absen dan statusnya terlambat. Namira memang terlambat hampir setengah jam.  "Aku pikir kamu nggak masuk, Mir. Kamu ke mana aja?"  Namira sudah kalang kabut mengatur napasnya. Ia kehausan. Namira mengambil air yang ada di atas meja Putri dan meneguknya habis.  "Bernapas dulu Mir. Tenang aja, Supervisor nggak ada. Lagi keluar beliau.."  Namira menghembuskan napas lega. Dia sudah takut setengah mati. Tak masalah status absennya terlambat. Tapi Namira takut jika sampai tertangkap basah oleh supervisornya.  "Kamu ke mana aja setengah jam? Nggak dapat angkot?"  Namira menggeleng. "Lebih parah dari sekedar nggak dapat angkot.." Namira menyalakan komputernya. Padahal napasnya belum teratur.  Putri menatap temannya itu dengan kening mengerut.  "Ada masalah di kos.."  "Masalah di kos? Kenapa?"  Namira kemudian ceritakan apa yang terjadi tadi hingga menyebabkan dirinya terlambat setengah jam. Jadi sebenarnya pasangan suami istri pemilik kos Namira itu akan berpisah. Jadi keduanya bertengkar lagi pagi ini berebut masalah harta gono-gini. Sang suami kekeuh ingin mempertahankan kosan itu. Tapi istrinya ingin menjual tanah itu. Beberapa anak kos Namira sudah pindah kemarin. Namira masih bertahan di sana karena Bapak kosnya bilang akan mempertahankan kosan itu. Tapi pagi ini Namira ragu. Sebab sepertinya masalah ini tidak akan selesai dalam waktu dekat.  "Jadi kamu mau pindah?"  Sebenarnya Namira tak ingin pindah. Ke mana dia akan mencari kos murah dalam waktu singkat? Ini saja Namira dapat kos murah karena keberuntungan.  "Iya, mau nggak mau. Anak-anak kos udah mulai pindah satu persatu. Tadi pagi aja kayaknya ada yang langsung pindah. Soalnya separuh rumah kosnya udah digembok sama Ibuk."  "Ntar aku bantuin kamu cari kosan yang murah. Tapi yang aku tau kebanyakan tuh lokasinya jauh dari kantor. Kayak sejam-an gitu. Itu juga belum termasuk macet."  Namira menghela napasnya. Bisa-bisanya masalah begini muncul sekarang. Gajian masih beberapa hari lagi.  "Makasih ya.."  Putri mengangguk. Namira menghembuskan napas panjang kemudian arahkan fokus pada layar komputernya. Masalah kos akan Namira pikirkan lagi nanti. Saat ini dia harus fokus pada pekerjaan atau dia akan diusir juga dari perusahaan ini.  ...  Namira memperbaiki ikatan rambutnya. Tadi dia tak sempat menjalin rambut karena sudah diburu waktu. Namira menarik lengan kemejanya hingga siku kemudian mulai membuka kotak bekal yang ia bawa. Bukan, ini bukan kotak bekal yang Namira buat sendiri. Ini kotak bekal yang diberikan teman kosnya tadi malam. Karena tadi malam sudah kenyang, jadi Namira menyimpannya di dalam rice cooker. Untung Namira tak lupa membawanya tadi pagi.  Namira sedang menikmati kunyahan saat sebuah suara berat berbunyi entah dari mana. Suara yang muncul tiba-tiba itu berhasil membuatnya tersedak. Namira terkejut. SANGAT TERKEJUT.  "Bapak ngapain di sini?" Namira mengelap mulutnya dengan tisu. Ia hampir mengeluarkan isi mulutnya tadi.  Shawn mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua.  "Tumben kamu makan di sini.."  Namira mengerjap beberapa kali. "Bapak butuh sesuatu? Supervisornya lagi keluar, Pak.." Namira mengabaikan kata-kata Shawn.  Shawn kini arahkan pandangannya lurus kepada Namira. "Saya nggak nanya supervisor kamu."  "Oh. Terus?"  "Saya tanya tumben kamu makan di sini. Kenapa nggak di balkon?"  "Oh. Panas Pak di sana."  "Hah?"  Namira mengangguk. "Iya, hari ini agak panas jadi saya nggak ke sana. Di sini lebih adem, bisa sambil kerja juga."  "Ini jam istirahat. Kamu mau jam istirahatnya saya kurangin?"  Namira meloading selama beberapa detik. "Eh, bukan gitu, Pak. Jangan dikurangin."  "Terus ngapain masih kerja waktu jam istirahat?"  "S-saya.." Tak ada jawaban untuk pertanyaan itu. Namira mau menjawab apa jika sepertinya apapun jawaban yang akan ia berikan akan tetap salah di mata Shawn.  Keduanya sama-sama terdiam dibalut keheningan. Namira yang awalnya duduk kini sudah berdiri dengan kepala tertunduk dalam. Ia seperti seorang murid yang ketahuan menyontek saat ujian dan dimarahi oleh guru pengawas.  "Sepatu kamu mana?"  Mampus. Namira memejamkan mata merutuki kebodohannya. Namira kesal pada dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia ceroboh begini. Sudah tahu ada Shawn malah lancang tidak mengenakkan sepatu.  "A-ada, Pak.."  Shawn menunduk sedikit melihat ke arah kaki Namira. Perempuan itu langsung menyembunyikan sebelah kakinya.  "Itu kenapa?"  "Nggak kenapa-kenapa, Pak. Maaf, Pak, saya pakai dulu sepatu saya.."  "Namira."  Dipanggil begitu Namira langsung mati kutu. Bisakah ia lebih sial dari ini? Kenapa hari ini banyak sekali cobaan untuknya?  Shawn berjongkok kemudian menarik kaki kanan Namira. Perempuan itu melotot kaget.  "Pak, ngapain?" Namira menarik kakinya tapi Shawn malah menahannya.  "Udah diam."  "Pak, saya--"  Shawn menghela napas kencang membuat Namira kembali membeku.  "Duduk.." perintah Shawn tanpa bisa dibantah. Namira menurut seperti anak kucing. Shawn menarik kaki Namira agar ia bisa melihatnya dengan lebih jelas. Punggung kaki Namira tampak memerah dan ada goresan di sana. Sepertinya efek ia tersandung pot bunga tadi pagi.  "Ini kenapa bisa gini? Kamu habis ngapain?" tak ada nada ramah dari suara Shawn. Intonasinya terdengar sangat dingin.  "T-tadi pagi saya kesandung p-pot bunga.." Namira menjawab dengan sangat pelan nyaris mencicit. Tapi sepertinya Shawn bisa mendengar jawaban Namira.  "Nanti dikompres es batu juga sembuh, Pak." Namira beranikan diri menarik kakinya dan Shawn tak mencegah kali ini.  Pria itu kemudian bangkit.  Namira masih menunduk. Ia tak berani bertatap muka dengan Shawn. Padahal Namira merasa ia tak melakukan kesalahan apapun.  Shawn menatap pegawainya itu dalam keheningan. Shawn bukannya tak tahu apa yang terjadi pada kaki Namira. Sebab Shawn melihat sendiri kejadian itu tadi pagi. Shawn melihat bagaimana Namira berlari sekuat tenaga dari lobi karena sudah terlambat. Awalnya Shawn tersenyum melihat Namira yang berlari dengan lucu. Tapi senyuman itu hilang saat Shawn melihat Krisna memeluk Namira yang hampir terjatuh karena tersandung pot bunga.  Tanpa mengatakan apa-apa Shawn kemudian pergi. Namira melongo dibuatnya. Dalam gerak lambat Namira menoleh ke belakang-ke arah Shawn pergi.  "Dia ke sini cuma mau marah-marah?" tanya Namira entah pada siapa.  ...  "Pak.." semua karyawan menunduk saat Shawn melewati mereka. Namira pun ikut menunduk. Shawn melengos begitu saja melewati mereka. Ia hanya mengangguk sekilas sebagai balasan. Namira menatap punggung Shawn yang menjauh menuju pintu utama bersama Theo dan Natali. Sepertinya mereka ada kegiatan penting di luar. Ini sudah jam pulang dan Natali ikut bersama Shawn dan Theo.  "Kaki kamu nggak apa-apa, Mir? Nggak mau dicek ke rumah sakit atau puskesmas?"  "Nggak apa-apa. Cuma sakit dikit. Nanti dikompres juga bengkaknya hilang.."  Putri mengangguk kecil.  "Kan bener Naomi lagi di sini. Nih ada yang lihat mereka lagi dinner kemarin.." seperti biasa, gosip tentang Shawn dan Naomi masih menjadi topik yang paling diminati.  "Ih tambah cantik aja si Naomi. Bodynya juga tambah mantep.."  "Eh kira-kira kenapa ya mereka belum nikah? Atau jangan-jangan sebenarnya Pak Shawn sama Naomi lagi persiapan buat nikah?"  "Atau jangan-jangan sebenarnya mereka udah nikah diam-diam?" celetuk seseorang.  "Ih nggak mungkin. Ngapain juga mereka nikah diam-diam?"  "Ya mana tau aja kan karena karir model Naomi.."  Namira adalah satu-satunya orang yang tidak bersuara. Namira lelah dan satu-satunya hal yang ia inginkan saat ini adalah segera sampai di kos. Terserahlah Shawn dan Naomi mau menikah atau sudah menikah diam-diam. Namira hanya ingin tidur.  *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN