Chapter 3

1645 Kata
DDD 2 Rahasia termanis akan aku bawa pergi bersama meniti masa depanku yang sudah pasti tidak ada kamu di sana. Anggap aku ini pengecut, namun sungguh aku tak sanggup terluka lebih dari ini. Melihat wajah tampanmu yang aku tahu pasti tak pernah mengarah padaku. ♥ Tanti melirik sekilas pada kakak bungsunya yang berdiri menatapnya dengan pandangan datar, mengangguk sebagai tanda terima kasih sebelum akhirnya menjauhkan diri dari biang onar kekacauan hatinya, seraya berlari kecil segera pergi dari sana. Tanti menekan dadanya tempat jantung berada seraya bersyukur dengan kehadiran saudaranya itu. Jika tidak, ia tidak tahu bagaimana caranya ia bisa menjawab pertanyaan Javier yang menuntut seperti itu, seolah ia peduli yang nyatanya sudah pasti tidak. Tanti tahu benar pria itu membencinya dan mungkin mendendam tentang sesuatu yang jelas sekali bukan kesalahannya. Sekali lagi Tanti memilih diam dan menghindar daripada menjelaskan namun akan dianggap sebagai omong kosong oleh seorang Javier Berto. Tanti ingin segera mengubur semuanya dan tak ingin menggali lagi, cerita usang. Cukup dirinya saja yang tahu dan menyimpan semuanya. “Mau apa kamu ke sini, sengaja menyusul asikmu?” tanya Javier dengan ketus dan dingin kepada Dany. “Aku sudah tekankan padamu bukan, jauhi adikku yang sering kau anggap sebagai lebah pengganggu dahulu,” jawab Dany dengan mengacuhkan pertanyaan Javier. “Kau tidak bisa melarangku untuk mendekati Tanti.” “Kau gila atau gimana sih?! Bukannya kamu tidak suka dengan adikku? Jangan bilang karena pernikahan Kamini dan Mas Diran menjadikan kamu lebih leluasa mendekati adikku. Aku tahu niatmu kepada Tanti dan setahuku itu semua tidaklah baik. Jauhi dia dan jangan membuatnya terluka.” “Terluka? Seorang Tanti Ekadanta terluka? Yang benar saja, dia tampak baik-baik saja. Di sini kau tahu,” ujar Javier seraya menunjuk dadanya, “di sini sakitnya tak terperi dan semua adalah sebab perbuatan adikmu.” “Kau salah jika ingin melampiaskan dendammu kepada Tanti. Kau tidak tahu apa yang sudah dirinya lalui selama ini.” “Dan kau merasa tahu segalanya? Bahkan seingatku kamu tidak pernah ada untuknya,” tukas Javier sengit. Aura permusuhan terpancar jelas dari keduanya hingga keberadaan mereka yang menghalangi pintu lift tidak berani di tegur oleh seorangpun yang berlalu-lalang di sana. “Jangan konyol Javier, aku ini kakaknya. Kami satu rumah, jika pun kami melakukan hal lainnya lebih dari sekedar bertatap muka. Apa iya kamu harus tahu?” Kalimat ambigu dari Dany sontak menimbulkan pemikiran negatif Javier. Javier mendengkus jijik kepada Dany. “Memangnya kalian berbuat apa?” Tak urung pun ia bertanya. “Apapun yang aku lakukan terhadap adikku, kau tak perlu tahu. Jauhi dia, karena aku sudah memilihkan pendamping untuknya.” “Kau pikir ini jaman Siti Nurbaya? Pakai perjodohan segala.” Javier semakin menatap jijik dan jengah kepada Dany. “Jangan lupa, Kamini dan mas Diran juga menikah karena perjodohan.” “Perlu kamu tahu, apa yang terjadi pada adikku semua karena perbuatan laknat kakak iparmu. Keluarga kalian memang tidak ada yang beres,” ujar Javier yang sudah tersulut amarahnya. Ia tentu saja marah seperti juga kakak sulungnya Edgar mendapati sang adik bungsu yang baru kembali kepelukan mereka mendapatkan perlakukan yang tidak benar dari salah satu anggota keluarga Ekadanta. Namun Javier memilih diam, karena sang kakak sulung telah turun tangan terlebih dahulu. “Hati-hati dengan ucapanmu, sebelum kamu menyesal nantinya dan menjilat ludahmu sendiri. Aku sangat serius dengan ucapanku bahwa telah memiliki jodoh untuk Tanti, jangan dekati adikku. Aku tahu bibirnya yang membengkak pasti karena ulahmu.” Setelah berkata demikian Dany memilih berbalik badan dan menekan tombol lift untuk kembali ke lantai atas. Namun sebelum pintu lift tertutup dan Javier yang masih berdiri di luar sana seraya menatapnya tajam ia pun menambahkan, “Oh ya satu lagi. Perlu kamu ketahui sekalipun seekor lebah pengganggu, tanpa kehadiran dirinya semesta tak akan berjalan sebagaimana mestinya.” Seringai khas Dany tersungging sebelum pintu lift menutup. Javier menatap marah dengan matanya yang memerah ke arqah pintu lift. Jika saja ia tidak ingat di mana ia berada saat ini. Ingin rasanya ia mematahkan leher Si b*****h, Dany. Javier kemudian mendengkus dan mencari keberadaan Tanti. Kali ini ia akan mulai rencana balas dendamnya. Tanti tidak boleh bahagia dan Javier akan menggagalkan pernikahan mereka bagaimanapun caranya. Membuat calon suaminya mati misalnya. Itu terdengar lebih baik, semoga Tanti akan meratapi kepergian calon suaminya dengan hati yang hancur berkeping-keping, seperti yang sampai detik ini ia rasakan. Hati Javier membuncah bahagia namun juga terselip sebuah rasa gundah yang ia sendiri amat sangat tidak ia sukai. Sebagai pria normal tentu saja ia menyukai berdekatan dengan wanita secantik Tanti apalagi tadi ia sudah merasakan tubuh empuk dan hangat wanita muda itu. Lalu tekstur bibir dan rongga mulutnya yang seketika membuat aliran darah Javier terpompa dengan derasnya. Desir nikmat dirasakannya saat ini hanya dengan membayangkan bibir itu di bawah kendali dirinya, lagi. ♥ Tanti menarik napas dan menghembuskan perlahan begitu sampai di depan apotek, ia tidak ingin terlihat kacau walaupun ia tahu banyak pasang mata melihat ke arahnya. Seketika ia meraba keningnya yang mulai berdenyut. Sial, tonjokan Edgar mulai terasa kini. Ia pasti terlihat seperti korban KDRT saat ini. Pantas saja mereka melihat ke arahnya seperti itu. Pening mulai menyerangnya dan ia sedikit oleng saat menginjakkan kakinya di undakan terakhir sebelum melangkah memasuki pintu Apotek. “Ada yang bisa saya bantu, Kak?” tanya seorang SPG. “Mbak bisa tolong carikan bedak gatal,” ucap Tanti yang terdengar lemah saat ini. Kerutan di keningnya semakin dalam, begitu juga dahinya yang sudah menampilkan butir-butir peluh di sana. SPG itu tidak beranjak dari tempatnya, ia memilih mengkhawatirkan keadaan Tanti. “Mbak duduk aja dulu, saya bantu carikan apa saja yang Anda butuhkan.” Tanti pun mengikuti saran SPG tersebut dan bersandar dengan lemas. Mengucap terima kasih kepada SPG tersebut dan membayar belanjaanya. Tanti tidak membuang waktu lama di sana. Ia risih dengan pandangan orang-orang yang seolah ingin tahu apa yang telah terjadi pada dirinya. “Mbak, tidak ingin menghubungi seseorang mungkin?” tawar SPG tadi. Ia mengira Tanti adalah seorang korban KDRT. Wajah Tanti jelas tidak bisa berbohong, sangat terlihat seperti korban penganiayaan. “Nggak usah Mbak, ini juga saya dari rumah sakit kok. Cuma belikan anak saja, bedaknya habis.” Tanti segera beranjak dari sana sebelum ditanya macam-macam lagi, sungguh ia ingin segera kembali dan merebahkan diri seraya memeluk Asoka pelipur lara dan rindunya pada seseorang. Tanti memilih mendesah kecewa saat layar ponselnya tidak juga kunjung menyala, karena sibuknya ia mengurusi ketiga keponakan tampannya membuat dirinya melupakan untuk mengisi daya ponsel. Ia pun bergegas ke gerai mesin ATM terdekat dan segera mengirimkan sejumlah uang kepada eyangnya di Jawa Tengah. Tepukan di bahunya mengagetan dirinya, sampai ia spontan berbalik seraya mendekap dadanya. “Mas Ferdi? Kok ada di sini?” “Salam dulu kek, sama Mas,” ujar pria tampan itu. Wajah Tanti merona, tersipu malu dan hal itu tak luput dari perhatian Javier yang kalah cepat mendekati gadis tersebut. Javier mengerutkan keningnya dengan rahangnya yang beradu kekat, amarah kembali tersulut hingga tanpa sadar ia mengepalkan kedua tinju di samping tubuhnya. “Mas? Yang benar saja. Murahan sekali. Cih!” gumam Javier bersungut-sungut sebelum berbalik pergi. Namun sebelumnya ia mengarahkan ponselnya untuk mengambil gambar sepasang pria dan wanita muda itu sebelum berlalu dari sana. Javier segera mengetikkan sesuatu seraya mengirim gambar yang sempat ia ambil tadi dan menghubungi orang kepercayaanya. “Cari tahu siapa pria yang bersama dengan Tanti Ekadanta,” titah Javier begitu sambungan telepon di terima dari seberang sana. Javier menyeringai licik setelah mengakhiri panggilannya. Jangan harap kamu akan mudah lepas dari aku, Tanti. Langkahi dulu mayatku, sebelum aku menghancurkan hidupmu. Jangan sebut aku Javier Berto. “Mas apa kabar?” tanya Tanti setelah berdeham mengatasi kegugupannya. Bukan gugup karena melihat rupa rupawan itu namun karena hal lain. Ia tidak ingin dipergoki oleh anggota keluarganya. “Baik Dek, Mas habis tengok teman. Kamu ingat Ismi?” tanya Ferdi yang kemudian melanjutkan setelah mendapatkan anggukan dari Tanti, “dia dirawat di sini karena kabur dari rumah. Ia tidak mau dijodohkan dengan anak Pak Lurah.” Tanti yang semula akan membuka suara kembali bungkam begitu Ferdi sudah menjelaskan sebab gadis itu di rawat di sini. “Kamu tahu sendiri bukan, Ismi itu sudah 25 tahun, sudah waktunya berumah tangga. Apalagi kami tinggal di desa. Sudah pasti akan menjadi pergunjingan orang jika tidak segera menikah, julukan perawan tua sungguh tidaklah keren menurut Mas.” Tanti terkekeh geli sekaligus waspada dan sedikit khawatir karena usianya yang sudah menginjak 27 tahun pun masih setia menjomlo. Bagaimana nasibnya jika ikut tinggal di sana? Walaupun ia cantik tidak menutup kemungkinan mulut usil akan menggunjingkan dirinya juga nantinya. “Mas berapa lama tinggal di sini?” tanti memilih mengalihkan pembicaraan. “Sekitar dua hari, begitu Ismi diperbolehkan pulang. Mas akan bawa dia kembali sebelum orang tuanya membuat laporan orang hilang.” Wajah Tanti berseri seketika. “Kalau begitu, jika Mas nggak repot. Boleh tidak, Tanti titip oleh-oleh buat dedek dan eyang?” “Tentu saja boleh, dua hari lagi kita ketemu di kafe depan sana bagaimana?” ujar Ferdi seraya menunjuk pada kafe yang dimaksud. Tanti mengikuti arah petunjuk Ferdi namun dengan cepat ia pun menggeleng dengan tegas. Jelas Tanti tidak ingin mengambil resiko dua hari lagi berarti keluarganya masih akan menghabiskan waktu di rumah sakit ini dan ia jelas tidak ingin mengambil resiko ketahuan oleh mereka. “Jangan di sini ya Mas. Nanti Tanti kabari.” “Memangnya apa yang kamu khawatirkan dan apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ferdi curiga. “Kenzo patah kakinya. Makanya kami semua di sini.” “Astaga, lalu bagaimana keadaannya?” “Sudah selesai operasi sih. Sejauh ini berjalan baik.” “Pantas saja kamu tidak ingin bertemu dekat sini. Baiklah, Mas mengerti. Jika kamu butuh sesuatu jangan sungkan hubungi Mas langsung ya.” “Mas janji kan? Akan jemput Tanti awal bulan depan?” “Iya Mas janji. Sebelum ulang tahun Dedek, Mas akan jemput kamu di sini.” “Loh, kok di sini? Jemput di bandara saja ya Mas. Biar nggak repot, ajak dia juga.” “Mas nggak repot kok. Mas mau melakukan perjalanan darat dengan kamu.” “Janganlah Mas capek nanti. Tanti juga nggak berani bawa kendaraan jika lintas provinsi.” “Ya sudah, terserah kamu saja deh. Mas ngikut.” “Kalau begitu Tanti pamit dulu ya Mas. Sebelum Bunda telepon. Ponsel Tanti kehabisan daya, jangan sampai mereka panik.” “Iyalah, pasti Tante panik nanti. Anak gadis tercantiknya hilang.” “Mas bisa aja,” ujar Tanti seraya menepuk bahu Ferdi dengan lembut dan segera berlalu. Ferdi yang ditinggalkan hanya menatap punggung Tanti sampai wanita itu menghilang ke dalam gedung khusus. Ferdi menarungkan alisnya, ia tahu gedung itu dikhususkan untuk pasien VVIP dan pemilik rumah sakit. Tentu saja harga perawatan di sana tidak terbilang murah untuk semalamnya dengan fasilitas seperti hotel bintang lima. Ferdi mendengkus. Andaikan kamu mau membuka hatimu padaku, Tan. Aku juga mampu memberikan kebahagiaan kepadamu dan bertanggungjawab penuh, tentu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN