Lima

1953 Kata
Adam mendadak tenar di sekolah barunya. Hampir semua siswa mengenalnya. Meski dirinya bisa dibilang tidak terlalu ramah. Tetap saja ia jadi idola. Bagi Adam sendiri hal tersebut sudah biasa ia alami sejak SD. Karena itulah ia cuek saja seperti biasa. Sebenarnya ia agak heran juga. Toh di sekolah itu siswa tampan tidak hanya dirinya. Banyak siswa blasteran. Mulai dari bule ala hollywood sampai bollywood. Sedangkan dirinya pencampuran Eropa dan Asia. Apa bedanya coba. "Dam, Elu di panggil Pak Wardana," ucap Dika. Adam mendongak dan menatap ketua kelasnya. Tumben kepala sekolah memanggilnya. "Ayo gue anter." Adam mengangguk. Mereka berdua berjalan beriringan. Rani memandang keduanya dengan tatapan curiga. Ia segera menyikut teman sebangkunya. Tiara. "Cowok elu mau ngapain sama Adam." "Hahh." Tiara tak mengerti apa yang Rani maksud. "Ih, sebel deh, untuk urusan beginian otak elu langsung loading. Lemut amat sih." Rani menyilangkan kedua tangannya di depan d**a dengan wajah cemberut. "Ya kan gue emang kagak ngerti," sahut Tiara polos. "Yaudah ayo ikut gue." Dengan kasar Rani menarik Tiara keluar kelas menyusul Adam dan Dika. Di tempat lain Dika mendadak berhenti menahan Adam. Keduanya bertatapan. Adam mengernyit tak mengerti sedangkan Dika memandangnya dengan tajam. Di tempat mereka berdiri lumayan sepi. Tidak ada siswa yang melewati jalan itu. Sebab jalan itu jarang dilalui kecuali jika para siswa punya urusan dengan guru dan memilih jalan tersebut sebagai jalan pintas. "Ini untuk kekesalan gue selama ini." BUGH. Sebuah pukulan mendarat di perut Adam. Ia sengaja tidak menghindar. Ia juga tidak meringis sama sekali. Dika tidak suka karena murid baru yang ia pikir merusak hubungan percintaannya itu tidak membalas pukulannya. Bahkan Adam tidak menunjukkan rasa sakit. Membuat Dika semakin kesal dan memukul wajah Adam hingga sudut bibirnya terluka. Lagi-lagi Adam tidak berekspresi. Dika semakin emosi. "Elu ngeremehin gue ya." BUGH. BUGH. BUGH. Kini bukan hanya satu serangan yang ia lancarkan. Pukulan demi pukulan ia berikan dan membuat wajah Adam yang putih pucat terlihat merah dan sebagian membiru. Adam hanya diam. Entah mengapa ia bisa mengetahui isi pikiran Dika. Sehingga ia bisa memahami mengapa ia memukulnya. Dika terlihat kelelahan. Ia merasa seperti pengecut karena memukuli orang yang sama sekali tak melawannya. "Kenapa elu diam. b******k!!!" teriak Dika geram. Ia mencengkram kerah baju Adam dengan kasar. Di saat itulah Rani dan Tiara melihatnya. "Astaga, elu gila ya Dika!" Teriak Tiara, "Lepasin dia." Sementara Rani langsung ke ruang guru meminta pertolongan agar bisa melerai keduanya. "Gue gak bakalan lepasin. Gara-gara dia, elu nolak cinta gue. Padahal sebelum dia dateng, sikap elu seolah menunjukkan kalo lu suka sama gue." Tiara menutup mulut. Ia tidak menyangka Adam dipukuli hanya karena dirinya. Dika telah salah paham akan alasan mengapa ia menolak cintanya. "Lepasin dia Dik. Elu salah paham," teriak Tiara. "Jangan cari alasan. Buat nge-bela dia." "Sumpah Dik. Gue nolak elu karna gue gak ada perasaan. Dan juga kita masih sepupuan kan Dik. Gue justru mau elu jadi sahabat gue. Bukan karna dia," terang Tiara jujur. Dika diam sesaat ia melepas cengkramannya. Saat itulah guru datang dan membawa Dika ke ruangan BK untuk di interogasi. Tiara mendekati Adam. Dia merasa kasihan melihat wajah tampan Adam yang babak belur. Ia mencoba menyentuh luka di sudut bibir Adam. "Jangan sentuh gue," dengusnya menghindar. "Tapi elu butuh obat. Ke UKS yuk," ajak Tiara. "Kagak usah," tolaknya kasar. Adam segera meninggalkan tempat. Berhubung pengeras suara telah mengumumkan waktunya untuk pulang. Rani dan Tiara hanya mampu memandang tubuh tegap Adam menjauh. Tiara merasa sangat bersalah akan kejadian itu. Terlebih lagi sudah tiga hari Adam tak pernah bertegur sapa dengannya sejak malam itu ia kerumahnya. "Ayo kejar," suruh Rani. "Tapi__" "Udah sana cepet," dorong Rani. Tiara mengejarnya. "Dam. Pliss ke UKS dulu," ucapnya sambil menahan Adam dengan memegang lengannya yang berotot. Adam berhenti dan menatapnya tak suka. "Lukamu bersihkan dulu," ucap Tiara lagi. Tanpa menunggu jawaban ia menarik Adam ke ruangan UKS. Sayang sesampainya di sana dokter dan anak-anak kesehatan yang piket sudah pulang. Namun Tiara tak menyerah ia membimbing Adam kemudian mengambil obat dan kapas. Sambil mengobati Tiara berucap, "maafin aku. Kau terluka karena diriku," ucap Tiara. Adam rasanya ingin tak peduli namun wajah mereka yang berdekatan tak ayal membuat Adam mencium aroma tubuh Tiara. Ralat. Itu aroma darah yang Adam tidak tahu. Aroma Vanila. Adam menyukai aromanya ia menghirup wanginya dan tanpa sadar mata mereka bertemu dan secara naluriah Adam menatap bibir ranum Tiara. Entah atas dorongan apa tanpa sadar ia mendekatkan dirinya dan mencium bibir Tiara. Cup. Tiara terkejut sesaat, namun akhirnya ia terlena. Justru posisi terbalik. Dialah yang pertama melumat bibir Adam dan saat itulah Adam tersadar. Ia mendorong Tiara kasar. Jantungnya berdegub kencang. Terngiang ucapan Samuel. Hal yang paling terlarang. Jangan bersentuhan dengan wanita meski itu nafas sekalipun. Mengingat itu wajah Adam pias. Tanpa sepatah kata pun ia meninggalkan Tiara. Astaga. Apa yang telah ia lakukan. Adam telah melanggar larangan tingkat tinggi paman Samuel. Semoga paman tidak tahu, harapnya. Ia juga merasa menyesal atas dorongan apa ia menyentuh Tiara. Menyentuh gadis manapun belum pernah ia lakukan. Dan sekarang, ia malah mencium gadis yang paling harus dijauhi.   ***   Pak Parmin sangat mafhum akan keadaan itu. Melihat wajah tuan mudanya yang bonyok dan mulai bengkak. Ia meyakini pasti terjadi sesuatu di sekolah dan diamnya tuan Adam merupakan pertanda kalau dia sedang tidak ingin di ganggu. Adam langsung turun dan membuka pintu rumahnya sambil menunduk. Frans yang hafal betul dengan aromanya langsung keluar menyambutnya. "Kau sudah pulang ? Gimana kabar sekolahmu hari ini? Lah, wajahmu kenapa Dam?" tanya Frans terkejut mendapati kondisi wajah anak tuannya. Adam tak menyahut. Ia langsung menaiki tangga. Masuk ke kamarnya dan mengunci pintunya. Frans segera menelepon kepala sekolah Adam untuk bertanya kejadian yang sebenarnya.   *** Rani turun dari mobilnya bersama Tiara. Hari ini mereka menaiki mobil milik Rani berhubung mobil Tiara di pakai semua. Dengan membawa buah-buahan di tangannya Tiara memasuki halaman rumah Adam. Betapa mereka berdua terkejut melihat Dika sudah berdiri di depan pintu. "Mau apa elu kemari. Sudah puas nyakitin anak orang," sergah Rani setelah tiba di dekatnya. "Jangan ngomong gitu lah Ran. Gue sangat menyesal ngelakuin ini," ucap Dika dengan raut wajah penuh penyesalan. "Makanya jadi orang jangan gampang nyalahin orang," sungut Rani. Tiara hanya diam menyaksikan kedua temannya beradu mulut. "Oi, Kenapa rame di depan rumah orang." Suara itu mengejutkan ketiganya dan melihat ke arah di mana suara itu berasal. Wajah itu sangat tidak asing bagi ketiganya. Meski tidak satu kelas, Hari cukup dikenal karena merupakan salah satu murid berprestasi di sekolah seperti Tiara dan Rani. "Lu ngapain di sini?" tanya tiara. "Harusnya gue yang nanya ma elu pada. Ngapain di rumah sahabat gue." "Sahabat ?" ucap ketiganya barengan sambil saling pandang. "Sejak kapan elu sahabatan sama Adam ?" tanya Tiara. "Bukan urusan elu," jawab Hari cuek meniru gaya Adam. “Ishhhh.” Rani mencibir melihat tingkahnya. Ia hendak mencecar Hari, namun urung karena pintu rumah tiba-tiba di buka. "Wah, sepertinya hari ini tamu Adam banyak ya," sapa lelaki bule yang sudah akrab di mata Tiara dan Rani. "Iya Om Frans, kami mau jenguk Adam," sahut Tiara. "Benar Om kami hawatir. Gara-gara orang gegabah. Adam jadi korban." Lirik mata Rani pada Dika yang langsung membuang muka. "Ya sudah ayo masuk semua." Mereka masuk berbarengan. Hari dan Dika yang baru kali itu ke rumah Adam menatap takjub pada desain dan perabot rumah yang bernilai seni tinggi. "Om ambilin minum bentar," ucap Frans. "Jangan Om. Kami langsung mau ketemu Adam saja," cegah Dika. "Hemm. Gimana ya, yang boleh masuk ke kamarnya hanya yang cowok. Soalnya dia alergi ma cewek." Rani dan Tiara melongo tak percaya. Yang benar saja. Alergi cewek ? Tiara pias mengingat kejadian di UKS. Bahkan semalam ia tidak bisa tidur memikirkan hal itu. "Kalau gitu kami saja Om," ucap Hari yang langsung mengajak Dika berdiri. "Baguslah, Kalian ke atas lalu ada kamar dengan pintu warna hitam ada lambang kelelawar di sana itu kamarnya.” Hari dan Dika mengangguk. Mereka segera menaiki tangga meninggalkan dua orang gadis di ruang tamu. Sesampainya di atas keduanya langsung menemukan kamar yang di maksud. Hari membukanya pelan. Dilihatnya Adam sedang tertidur di ranjangnya yang berukuran King Size. Ia hanya mengenakan celana dalam pendek dan membiarkan tubuhnya di terpa suhu pendingin ruangan. "Busyet, keker amat nih anak. Nge-gym melulu kali dia ya," ucap Dika. Ia masih tak habis pikir. Dengan kondisi tubuhnya yang berotot kenapa Adam tidak melawannya dan malah membuat Dika memukulnya hingga babak belur. "Kapan ya gue punya tubuh kayak gitu," sambung Hari. "Eh, Jadi muka bonyok gitu kerjaan elu Dik. Wah elu gak tahu dia kali ya. Dia itu jago berkelahi. Gue pernah di selametin dia dari Ramond," ucap Hari lagi setelah melihat memar di beberapa bagian wajah Adam. "Ah yang bener lu. Ramond yang punya genk itu. Gerombolan anak yang paling di takuti di sekolah?" tanya Dika tak percaya. Hari mengangguk dan menceritakan kejadian malam itu. "La terus kenapa dia diem pas tadi siang gue pukul?" "Nah, soal itu Cuma dia sendiri yang ngerti kenapa ngebiarin elu mukulin dia." Dika dan Hari masih berbicara dengan nada yang tinggi. Saking serunya mereka tidak tahu telah membangunkan Adam. "Berisik...!!!!!..KELUARRRRR!!!" Bentak Adam dengan mata masih terpejam. "Yaelah Dam. Buka mata kali. Masa sahabat elu dateng elu cuekin," ucah Hari. Tak ada sahutan bahkan Adam memunggungi keduanya. Otak Hari yang cerdas dan jail memiliki ide brilliant agar Adam mau bangun. "Eh, ada Tiara dan Rani. Ini Adam ada di sini kalian masuk saja," teriak Hari. Sedangkan Dika menatapnya dengan mulut gembung menahan tawa. Mendengar kedua nama cewek itu mendadak Adam bangkit dan duduk. "Cewek gak boleh masuk. Guee__" Belum sempat ia meneruskan Hari dan Dika sudah meneruskannya. "Alergi cewek." Hari dan Dika kompak. "Syuh.syuh. sana pergi. Ngapain lagi elu kemari," usir Adam ketika melihat wajah Dika. "Dam, gue minta maaf ya." "Hmmm," sahut Adam. "Gue heran kenapa elu gak ngelawan sih," Tanya Dika. "Serah gue." "Mulai hari ini kita sahabatan ya," "Gak." Hari cekikikan. Ajakan Dika untuk berteman ditolak Adam. "Pokonya elu teman gue. Yuk gue kompres bonyoknya," ucap Dika seraya meraih handuk yang sudah dingin di samping baskom. "Ogah, sana keluar kalian berisik!!" teriak Adam lagi. Ia bangkit lalu menyeret kedua temannya keluar dari dalam kamarnya, kemudian menutup pintu dengan keras. BLAM. Dika menatap pintu itu dengan datar. Hari mengajaknya turun. Percuma memaksa Adam. Sesuai berjalannya waktu jika dia mirip gunung es, maka suatu saat mungkin ia akan mencair dengan sendirinya. Kedua gadis yang tadinya bercengkrama melihat kedatangan Hari dan Dika dengan tanda tanya besar di kepalanya. Namun belum sempat di tanya. Hari sudah menjawabnya duluan. "Kami diusir," ucapnya dengan wajah lesu. Frans terkekeh, "Kalian jangan menyerah jika ingin Adam berteman dengan kalian. Jika kalian berhasil, maka kalian akan menjadi teman pertamanya." "Jadi selama ini dia belum punya teman ?" tanya Rani. "Yah, lebih tepat ia lebih suka menghabiskan waktu dalam kesendirian. Paman saja sulit berbicara dengannya. Jadi paman harap kalian bisa jadi temannya." Frans tersenyum kepada empat remaja di hadapannya. Ia tahu, dengan mengatakan itu otomatis ia telah berseberangan pendapat dengan Samuel. "Lebih baik tidak usah. Kalian harus menjauh darinya," ucap seseorang kasar. Ia baru datang. Pakaiannya yang formal menunjukkan bahwa ia baru datang dari kantor. Keempat remaja itu bertanya di dalam hati apakah dia itu ayah Adam. Berhubung semua sosok yang ada di sini sama sekali tidak berwajah indo. "Sudah, abaikan dia. Dia itu Samuel. Paman Adam juga. Sama kayak paman." Keempatnya mengangguk. Aura tidak bersahabat dari Samuel langsung mereka rasakan. Karena itulah mereka memutuskan untuk pamit pulang. "Oia, kepada dua gadis yang cantik ini. Jaga jarak sama dia. Maksudnya jangan sampai bersentuhan kulit. Paman serius lo kalau dia alergi sama cewek," ucap Frans. Rani mengangguk paham sementara Tiara menunduk. Lagi, Frans tersenyum menatap ke empatnya sampai mereka hilang di balik pintu pagar yang tinggi. "Aku mencium wangi Adam menempel pada gadis itu. Mungkinkah, tidak mungkin. Ini hanya perasaanku saja," lirih Frans.                                    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN