Survival 34

1243 Kata
Saat Yeona datang ke basecamp keesokan harinya, semua orang menatapnya dengan kasihan yang sama sekali tidak dia mengerti. Bahkan Ben yang biasa sangat cuek padanya, menampakkan senyum lebar yang sebenarnya terlihat cukup menyeramkan dengan gigi taringnya yang mencuat di mana-mana. Satu-satunya yang tampak berbeda adalah Iyan, yang biasanya sangat ramah padanya, kini belum mendongak sekalipun meski Yeona sudah masuk dan disapa beberapa orang. Apakah karena masalah kemarin? Yeona baru saja ingin menghampiri pria itu ketika Cathy menepuk pundaknya. "Apa yang kau bawa?" tanyanya. "Sarapan untuk Qiu Shen." Yeona memperlihatkan kantong kertas yang dia bawa. "Seseorang meninggalkannya di gerbang." Setelah mendengar itu, Cathy menatap Ben, yang kemudian menatap Iyan, namun tidak mendapatkan reaksi yang dia inginkan. Yeona mengerutkan kening. “Kenapa kalian jadi begitu aneh? Apakah sesuatu terjadi setelah aku pergi kemarin?” “Huh? Tidak ada, apa yang bisa terjadi?” Cathy tertawa canggung dan merangkul Yeona ke tangga. “Ayo, kau bilang mau membawakan sarapan itu ke Qiu Shen kan?” “Tidak, biasanya yang membawa ini adalah Iyan.” “Iyan sibuk, kau saja yang bawa.” Ben merangkul Iyan dan membawanya keluar dari basecamp. “Tapi ini masih sangat pagi, sibuk ap ... Sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, Cathy sudah membawanya naik ke lantai dua dan menghentikan langkahnya di depan pintu ruangan Qiu Shen. “Nah sampai, ketuk saja dan masuk. Dia biasanya masih tidur sekarang.” “Tidak perlu, aku bisa meninggalkan makanannya di sini saja.” “Tidak boleh, bagaimana jika seseorang mencurinya.” Cathy mengetuk pintu tiga kali sebelum membukanya untuk Yeona. “Masuk dan bawa sendiri.” Lalu tanpa aba-aba mendorong Yeona ke dalam sebelum menutupnya kembali. Yeona bahkan terlalu bingung untuk melakukan perlawanan. Di luar, Cathy tersenyum malu dan menepuk-nepuk pipinya. “Ah! Aku serasa masuk n****+ romansa yang ... Eh Karen? sejak kapan kau di sana?” Karen sedang berdiri di depan pintu perpustakaan yang berdampingan langsung dengan kamar Qiu Shen, bersandar dan menatapnya dengan datar. “Sejak kau menyeret Yeona naik,” jawabnya. “Apa maksudmu menyeret?” Cathy tertawa malu dan menghampiri Karen, menyenggolnya dengan siku sambil tersenyum jail. “Aku hanya ingin mereka menghabiskan pagi bersama.” Karen memutar mata dan beranjak. “Jangan terlalu banyak ikut campur urusan orang lain.” “Eh! Akukan hanya ingin membantu.” Cathy mengejar. “Ngomong-ngomong, kau tidak cemburu kan? Kau tidak serius suka pada Qiu Shen kan?” Karen berhenti melangkah dan menoleh. “Kapan aku bilang suka padanya?” “Tapi sejak dia pertama kali masuk kau sangat perhatian padanya, bahkan sangat jelas berusaha mendekatinya.” Cathy mengerucutkan bibir. “Kau tidak boleh melakukan itu sekarang, akan lebih baik jika mereka berdua bisa berpacaran kembali.” Dia menghapus air mata imajiner dari pipinya. “Yeona sudah sangat malang” Karen menghela napas dan melanjutkan langkahnya yang sempat tertahan. “Aku mendekatinya karena berpikir penampilanku bisa membuatnya lebih setia pada guild, tapi karena sudah seperti ini, aku bisa apa?” Sementara itu, di dalam ruangan Qiu Shen, Yeona yang sejak masuk hanya berdiri mematung di belakang pintu akhirnya bergerak, sembari mengamati sosok yang tengah tertidur di sofa dengan satu tangan yang menggantung ke lantai. Matahari yang menyentuh sisi wajah Qiu Shen terlihat begitu mengganggu, jadi sebelum menghampiri pria itu, Yeona terlebih dahulu menutup tirai rapat-rapat. Tapi, begitu dia berbalik, sudah ada tatapan tajam yang mematainya. Yeona berkedip terkejut dan mencengkeram kantong kertas yang dia pegang dengan erat. “Aku membawakan sarapan, dan umm maaf karena masuk tanpa izin.” Qiu Shen masih di posisi semula, hanya menggulirkan pandangannya ke kantong kertas yang Yeona bawa. “Apa itu?” “Daging asap,” jawab Yeona. Qiu Shen akhirnya bangkit dan merenggangkan otot-ototnya. “Letakkan di meja.” setelah itu pergi ke kamar mandi. Tapi di belakang, setelah meletakkan sarapannya ke meja, Yoena mula dilema. Apakah dia harus keluar sekarang atau menunggu Qiu Shen keluar dulu? Keluar masuk dari kamar orang lain tanpa izin sangat tidak sopan, namun menunggu Qiu Shen selesai mandi juga agak canggung. ‘Jadi, apakah aku harus keluar sekarang atau menunggunya selesai mandi?’ Yeona bergerak-gerak tak nyaman, menatap pintu kamar dan kamar mandi bergantian. Untungnya, Qiu Shen keluar dari kamar mandi tak lama kemudian dan masih berpakaian lengkap. Hanya meletakkan handuk kecil di kepala untuk mengeringkan rambutnya. “Umm, aku keluar dulu.” Meski Qiu Shen pakai baju, Yeona tidak berani menatap ke sana. “Hn. Terima kasih.” Yeona mematung sejenak sebelum menoleh, menatap Qiu Shen takjub. Qiu Shen bingung dengan tatapannya. “Apa?” “Kau baru saja berterima kasih.” “Lalu?” “Ini pertama kalinya aku mendengarnya.” Qiu Shen berhenti menggosok rambutnya. “Kau bilang mau keluar.” “Oh, benar. Aku keluar sekarang.” Yeona tersenyum canggung. “Nikmati sarapannya.” Tapi begitu Yeona hendak membuka pintu, dia menemukan gagangnya tidak bisa diputar, bahkan setelah dia mengerahkan semua tenaganya, gagang itu masih tidak bergerak. “Apa pintunya rusak?” “Minggir.” Qiu Shen menggeser Yeona ke samping, meraih gagang pintu dan terlihat memutarnya dengan sangat mudah, namun sangat bertentangan dengan garis otot yang muncul ketika dia melakukannya. Lalu ketika Qiu Shen menarik pintu, beberapa orang dan sosok berbulu coklat terjatuh di hadapannya. Ben bangun dengan cepat, menggaruk tengkuknya dan tertawa. “Wah kau punya tenaga yang sangat kuat.” Qiu Shen menatap datar sedangkan Yeona kebingungan. “Oke, kalian lajutkan saja, permisi.” Ben menghilang dengan cepat, disusul oleh pria lain yang jatuh bersamanya. Tapi Yeona masih belum bisa mencerna adegan yang baru saja terjadi. Dia menoleh pada satu-satunya orang yang bisa ditanyai. “Apa yang ... Tapi, sebelum dia bisa menyelesaikan pertanyaannya, Qiu Shen mendorongnya keluar dan menutup pintu. Sangat jelas tidak mau menjelaskan apa-apa. Setelah itu, Yeona selalu merasa semua orang bersikap sangat aneh padanya, tapi dia masih bisa mengabaikan semuanya karena sedang berkonsentrasi untuk latihan. Dan juga merasa sedikit lega ketika melihat instruktur bela dirinya bukan Iyan lagi maupun seorang pria. Di malam hari, Yeona duduk di teras belakang rumahnya untuk menunggu Qiu Shen, yang tak lama kemudian mengetuk pintu gerbang. “Pakai penutup kepalamu.” Qiu Shen langsung memerintah begitu pintu terbuka. “Huh? Kita tidak latihan di sini?” tanya Yeona. “Tidak.” “Lalu mau ke ... baiklah, tunggu sebentar.” Karena tatapan Qiu Shen mula tak sabar, Yeona berhenti bertanya dan menurutinya saja. Qiu Shen mebawa Yeona tak begitu jauh, namun ke tempat yang cukup sepi. Dari luar, Yeona bisa melihat stadion tua yang pekarangannya sudah dipenuhi ilalang, gerbangnya bahkan mengeluarkan suara memekakkan yang membuat gigi Yeona geli. Tapi mengejutkannya, di dalam stadion itu masih sangat bagus. Rumput manila tumbuh sangat baik dan hijau, dengan lampu sorot yang menyala terang benderang hingga tak ada bedanya dengan siang hari. “Jadi, kita akan latihan apa?” meski masih takjub, Yeona tidak lupa apa tujuannya datang kemari. Qiu Shen menunduk, menggerak-gerakkan kakinya diantara rerumputan dan menginjak sesuatu. “Archery,” jawabnya, bersamaan dengan terbukanya permukaan tanah di belakang mereka, yang kemudian mengeluarkan rak dan gantungan tempat berbagai macam bentuk busur dan anak panah, juga target yang jaraknya sekitar beberapa meter di depan. “Kenapa Archery?” jujur saja, Yeona merasa yang paling dia butuhkan saat ini adalah ilmu bela diri, terlebih, dibandingkan peluru, kecepatan panah masih sangat lambat. “Pistol terlalu berisik, satu tembakan bisa mengundang lebih banyak zombie atau monster.” Qiu Shen menarik busur dan satu kantong anak panah kemudian menyodorkannya kepada Yeona. “Era senjata api berakhir bukan tanpa alasan.” Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN