Survival 24

1150 Kata
Selama beberapa hari itu, Yeona terus menitipkan sarapan untuk Qiu Shen, entah apakah itu roti berlapis selai stroberi dan yogurt hingga sandwich telur dan jus. Terkadang, jika Yeona tidak sempat bertemu Iyan di depan gerbang, dia hanya akan meninggalkan sarapan itu di pagar dan hanya meninggalkan pesan singkat yang menandakan bahwa itu untuk Qiu Shen. Yeona pun sadar bahwa tindakannya ini sangat beresiko, terlebih saat Qiu Shen sendiri seolah tidak ingin berinteraksi dengannya lagi setelah turun dari kereta. Tapi tetap saja, ketika melihat pria itu berbaring di tempatnya yang biasa ditemani oleh bekas-bekas makanan yang dia berikan, memberi Yeona kepuasan tersendiri. Yeona bahkan tidak sadar bahwa saat dia pulang, hal pertama yang akan dia periksa adalah keberadaan Qiu Shen di rumah seberang. Lalu suatu pagi, saat Yeona sedang berjalan menuju tempat kerja seperti biasa dengan kantong kertas berisi sarapan pagi, yang dia temukan berdiri di depan gerbang guild BeeOne adalah pria yang ingin dia berikan sarapan itu. Berdiri dengan santai dengan kedua tangan yang tenggelam di saku. Yeona langsung menghentikan langkahnya, berdiri mematung dengan tubuh kaku. Namun saat Qiu Shen menoleh, refleksi tubuh Yeona justru bergerak dengan sangat cepat untuk bersembunyi di balik pohon. Yeona mendengar detak jantungnya memukul-mukul rongga dadanya dengan sangat cepat, di saat batinnya berkecamuk dengan banyak pertanyaan. Seperti, kenapa Qiu Shen di sini? Biasanya dia hanya akan menghabiskan semua waktu berbaring dan bersantai di lantai dua. Apakah menunggu seseorang? Siapa? Apakah aku? Yeona menunduk untuk menatap kantong kertas yang dia bawa dan mengerutkan kening. Mulai bertanya-tanya apakah mungkin ada masalah dengan sarapan yang dia titipkan. Tidak mungkin! Karena Qiu Shen selalu menghabiskannya, bukankah itu berarti dia suka? Yeona menopang tubuhnya ke pohon yang ada di depannya dan mengintip. Huh? Di mana Qiu Shen? Yeona mengerutkan kening dan menatap ke sekitar pagar namun masih tidak menemukan ke mana Qiu Shen pergi. "Mencariku?" Yeona terkesiap dan langsung berbalik. Di sana, entah sejak kapan, Qiu Shen sudah berdiri di belakangnya. "Qi ... " Yeona menutup mulutnya dengan cepat, mundur selangkah untuk menempelkan punggungnya ke pohon dan mengubah suaranya agar lebih rendah. "Siapa kamu?" Qiu Shen menatap datar. "Bukankah aku sudah bilang lupakan semua apa yang terjadi di kereta? Termasuk semua yang berhubungan denganku." "Kereta apa?" Yeona menelan ludah. "Aku tidak mengerti maksudmu?" Qiu Shen menyipitkan mata dan menurunkan pandangannya ke arah kantong kertas yang Yeona bawa, namun gadis itu dengan sigap menyembunyikannya. "Apa kau pikir aku tidak akan bisa mengenalimu?" 'Ya, aku benar-benar berpikir kau tidak mengenaliku karena kau sangat cuek sampai hari ini.' Tentu Yeona hanya berani mengatakan itu dalam hari. Yeona memilih untuk tetap berpura-pura bodoh dan semakin menundukkan kepala, agar tudung jubahnya bisa menyembunyikan wajahnya lebih sempurna. "Apa? Aku tidak paham apa maksudmu." Qiu Shen berdecak dan melangkah mendekat, sangat mudah membuat gadis di hadapannya untuk mengaku, dia hanya perlu membuka tudungnya dan semuanya selesai. "Qiu Shen? Apa yang kau lakukan di sini?" Qiu Shen berbalik dan Yeona melirik. Di belakang Qiu Shen, Karen, Cathy dan Ben sedang menatap mereka dengan bingung. "Siapa dia?" tanya Karen lagi. Yeona menatap tiga orang itu dan Qiu Shen bergantian, lalu tiba-tiba punya ide. Dia mengeluarkan kantong kertasnya kembali. "Maafkan aku." Dia bercicit dengan suara bergetar. "Kau bisa mengambil semuanya, jika mau." Qiu Shen beralih padanya dengan tatapan aneh, tapi sebelum dia bisa mengeluarkan suara, Yeona sudah menjejalkan kantong kertas ke tangannya. "Kau ... "Aku cuma punya itu ... Oh, dan ini juga." Yeona mengeluarkan dompetnya dan langsung memasukkan ke dalam saku Qiu Shen. "Semuanya sudah habis, permisi." Sebelum Qiu Shen bisa bereaksi, Yeona menggunakan semua keahlian atletiknya semasa sekolah menengah atas untuk berlari sambil memegangi tudung jubahnya agar tidak tertiup angin. Hanya dalam sekejap, dia sudah menghilang dari pandangan ke empat orang itu. "Wah, anak baru itu membajak seorang gadis. Jahat sekali." Ben berbisik pada Cathy, namun dengan suara beruangnya, dia sama sekali tidak bisa berbisik, karena semuanya tetap di dengar oleh orang yang bersangkutan. Cathy mengangguk-anggukkan kepalanya dan memberikan Qiu Shen tatapan menuduh. Karen adalah satu-satunya yang tetap tenang. "Berapa banyak yang dia berikan?" Dia mendekat dan hendak meraih dompet yang baru saja Yeona masukkan ke saku pria itu, namun Qiu Shen menghindarinya dengan mudah. "Kita harus mengembalikannya, kau tidak boleh mengambil uang dari seorang gadis," ujar Karen. Qiu Shen mendorong dompet itu agar tenggelam lebih dalam ke sakunya. "Ini urusanku." Setelah itu mendahului mereka masuk ke basecamp. *** Setelah hampir tertangkap basah, untuk beberapa hari setelahnya, Yeona tidak lagi berani menitipkan makanan, dan juga menghindari jalanan di depan basecamp, dia lebih memilih bangun pagi dan berjalan memutari rumah dan taman untuk pergi bekerja. Yeona benar-benar berpikir bahwa semuanya aman asalkan dia tidak terlihat oleh Qiu Shen. Siapa yang tahu, siang itu, setelah Yeona pulang bekerja, di taman belakang yang selalu dia lalui selama beberapa hari belakangan, Qiu Shen sedang berbaring di atas kursi taman, memejamkan mata seolah sedang tertidur. Yeona menghentikan langkah beberapa meter jauhnya dan bahkan memelankan suara napasnya, ragu-ragu apakah dia harus berbalik melewati semak belukar lagi atau mengendap-endap melewati Qiu Shen. Lagipula, pria itu benar-benar terlihat sedang tidur. Dengan keyakinan setengah-setengah di tambah rasa malas untuk melewati semak belukar yang membuatnya gatal-gatal, Yeona melepaskan alas kakinya dan berjalan sambil berjinjit, berusaha menghindari daun-daun kering yang bisa menimbulkan suara. Namun, ketika Yeona tepat di sisi kursi panjang tempat pria itu berbaring, angin berhembus dan selembar daun jatuh ke wajah Qiu Shen. Yeona menarik napas dan mengehembuskannya dengan lega ketika Qiu Shen sama sekali tidak bangun. Tapi, Yeona tiba-tiba melihat seekor ulat di atas daun itu, yang mulai bergerak-gerak ke ujung daunnya, yang tepat berada di atas bibir Qiu Shen. Yeona mengepalkan tangan dan berupaya untuk mengabaikannya, namun matanya terus kembali ke sana. Buka atau tidak? Tapi jika Qiu Shen bangun bagaimana? Yeona menggigit bibir dengan wajah khawatir. Tapi ulatnya bisa masuk ke mulut ... Masuk ke mulut? Yeona membelalak karena ulat itu benar-benar sudah hampir menyentuh bibir Qiu Shen. Tanpa bisa berpikir panjang lagi, dia berlari dan mengambil daun itu dari wajah Qiu Shen. Di saat bersamaan, pria yang sejak tadi terus menutup matanya terbangun, refleks menangkap pergelangan tangan di depan wajahnya dan menarik pemiliknya hingga membungkuk. Daunnya jatuh, dan ulat merangkak ke daun kering lain, tapi Yeona terperangkap oleh genggaman yang kuat. 'Bisakah aku menyimpan dendam pada seekor ulat?' batin Yeona menangis. Yeona menahan tubuhnya agar tidak menimpa Qiu Shen dengan menggenggam sandaran kursi. "Um hello, aku tidak berniat mengganggu tidurmu, tadi ada seekor ulat yang ... " Yeona tidak lagi melanjutkan ucapannya karena kerutan di dahi Qiu Shen sudah sangat dalam. Sepertinya marah? Yeona menarik tangannya untuk bangun, namun Qiu Shen tidak melepaskan genggamannya. "Apa yang terjadi pada wajahmu?" Suara bariton Qiu Shen yang terdengar sangat dekat mengingatkan Yeona pada malam ketika pria itu menyelamatkannya untuk pertama kalinya. "Huh?" Qiu Shen mengulurkan tangannya yang lain dan menurunkan jubah yang menutupi wajah Yeona, kemudian menyingkap rambut merah bata yang menghalangi pandangannya dari wajah gadis itu. "Aku tanya, apa yang terjadi dengan wajahmu?" Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN