~EMPAT~

1219 Kata
Vania menggigit jempol tangan kanannya sembari memejamkan mata. Sesaat kemudian ia kembali ke alam sadarnya dan segera menggoncangkan tubuh Christy. "Jadi tadi Dokter Andrea mendengar pembicaraan kita ya Chris?" Vania. "Sepertinya iya." jawab Christy lemah. Vania memutar tubuhnya kemudian menabrakan keningnya ke dinding dengan cukup keras. Christy sampai khawatir di buatnya. "Astaga, Dok!" Vania menghentakan kakinya berkali-kali seperti anak kecil. "Dev nggak siap jadi pengangguran, Papa!" teriaknya. "Dok," panggil Christy sembari menyentuh bahu Vania. "Dev nggak mau dipecat. Nanti Dev makan apa? Utang di Helen aja masih banyak, pasti dia nggak mau minjemin Dev uang lagi. Hwaaaaa!!!" "Dok... ya ampun. Saya yakin Anda tidak akan di pecat hanya karena masalah seperti ini kok." Christy. Vania dengan cepat memutar tubuhnya kembali, membuat Christy terkejut bukan main. "Lalu aku harus bagaimana sekarang?" tanya Vania cepat. "Mm..minta maaf?" Christy. "Maksud kamu minta maaf pada Dokter Andrea?" Vania. Christy mengangguk. "Mana mungkin bisa? Kamu tahu kan kalau dia itu orangnya..." Cepat, Christy membungkam mulut Vania. Ia tidak mau kejadian dua menit yang lalu terulang. "Dok, jangan menghina Dokter Andrea lagi! Nanti kalau Beliau dengar masalahnya bisa semakin runyam." keluh Christy "Hwaaaa....kenapa hari ini aku sial banget sih?" geram Vania pada dirinya sendiri. Christy menghela napas. "Sudah, Dok lebih baik sekarang Anda pakai saja sendal dari Dokter Andrea. Ini sudah lewat jam visit Anda ke bangsal loh." Christy. Vania diam. Ia berpikir sejenak, kemudian berjalan ke washtafle untuk mencuci wajahnya yang tampak kucel. Lalu ia memakai sendal dari Dokter Andrea seperti saran Christy. "Ini, Dok saya pinjami ikat rambut." ujar Christy sembari memberikan sebuah benda kecil berwarna hitam. Vania menerimanya lalu memakainya. "Sudah?" tanya Vania yang meminta pendapat Christy terhadap penampilannya. Christy mengangguk. Dua tenaga medis berjenis kelamin perempuan itu selanjutnya berjalan ke sebuah bangsal kelas tiga untuk menjalankan tugas mereka. Seperti biasa, keduanya memasang senyum termanis yang mereka bisa. Menyapa satu per satu pasien dengan ramah dan penuh ketulusan. "Dokter Vania telat lagi ya? Kok baru visit?" tanya seorang pasien. Vania tertawa kecil dan membenarkan pertanyaan pasiennya. "Bagaimana kondisinya, Bu Mirna? Sudah baikan?" tanya Vania ramah "Sudah, Dok. Hanya saja masih sering pusing kalau dibuat duduk." jawab Bu Mirna, pasien pertama yang Vania periksa pagi ini. "Ibu saya ini kalau disuruh minum obat susah, Dok." sambung anak Bu Mirna. Vania berdecak gemas. Hampir sepuluh hari wanita yang separuh rambutnya telah berwarna putih itu menginap di rumah sakit. Dan penyakitnya pun sebenarnya tidak terlalu parah, jika saja sang pasien mau meminum obat secara teratur. "Saya sudah tua, susah menelan pil sebesar itu, Dok." adu Bu Mirna mengharap belas kasihan Vania. Vania terkekeh sebentar. Ia hafal betul dengan tingkah Bu Mirna yang senang mengadukan masalah apapun padanya. Mulai dari perawat jaga yang kurang ramah, anaknya yang telat datang menunggui, dan sekarang masalah ukuran pil yang harus beliau minum sehari tiga kali. "Ya sudah, nanti saya minta ke perawatnya agar pilnya digerus ya, Bu biar gampang Ibu minum." Vania. "Tapi kan pahit, Dok." Bu Mirna "Sudahlah, Bu. Toh nanti kalau Ibu sembuh Ibu nggak harus minum itu lagi. Makanya Ibu yang rajin minum obatnya biar cepat sembuh." imbuh sang anak. Vania membenarkan ucapan anak Bu Mirna. Bu Mirna pun akhirnya mengalah dan mau mendengarkan saran Vania.. "Ya sudah ya, Bu. Saya permisi dulu. Semoga lekas sembuh." pamit Vania. Vania pun keluar dari ruangan Bu Mirna diikuti Christy di belakangnya. "Jangan lupa dicatat dan sampaikan ke perawat jaga ruangan ini ya!" ujar Vania pada Christy. "Baik, Dok." Christy. Hampir dua jam Vania dan Christy berjalan mengitari dua buah lorong panjang. Keduanya sama-sama menghela napas panjang setelah berhasil menyelesaikan sebagian tugas mereka hari ini. "Aku mau ke ruangan Linzy dulu. Kamu boleh duluan." Vania. "Saya ikut Anda saja, Dok." Christy. Vania dan Christy pun berjalan melewati bangsal Flamboyan menuju ke bangsal Melati. Di depan ruangan yang Vania yakini milik Linzy, tampak seorang wanita paruh baya yang kebingungan sembari duduk di kursi tunggu. Wanita itu tampak frustasi. Seperti memikirkan beban berat yang tak dapat ia bagi pada siapapun. "Ibunya sudah meninggal, dan ayahnya sudah menikah lagi. Sementara, keluarga besarnya mayoritas ada di Lampung. Itu yang saya tahu." Ucapan suster Ari kemarin kembali terngiang di telinga Vania. 'Siapa wanita itu?' batinnya. "Dok..." Vania terpenjat dan tersadar dari lamunannya. Ia refleks menoleh ke arah Christy.  "Kita jadi ke ruangan Linzy?” tanyanya. Vania mengangguk kemudian berjalan mendahului Christy. Ia menghampiri wanita paruh baya yang tampak rapuh itu. "Selamat siang," sapa Vania ramah. "Se..selamat siang," kaget wanita itu. Vania duduk di sebelah wanita itu sembari tersenyum hangat. "Anda wali dari pasien Linzy?" tanya Vania. Wanita itu mengangguk. "Maaf, Anda siapanya ya kalau saya boleh tahu? Dan kenapa Anda baru ke mari?" lanjut Vania. "Saya hanya orang yang bekerja pada keluarga Non Linzy sejak Non Linzy belum lahir, Dok." jawabnya lemah. Vania masih terdiam, menantikan jawaban dari satu pertanyaannya yang lain. "Dan saya disini karena saya sedang bingung. Saya sudah tidak punya uang lagi untuk membiayai pengobatan Non Linzy. Dan Non Linzy pun seakan sudah kehilangan semangat hidupnya. Dia merindukan ayahnya, Dok. Dan saya tidak bisa melakukan apapun." terang wanita itu. Vania menghela napas kemudian mengusap bahu wanita di sampingnya. Berupaya menyalurkan kekuatan agar wanita itu tidak menyerah akan usahanya. Sementara itu, pikirannya berputar berusaha mencari solusi untuk permasalahan Linzy yang cukup rumit. Linzy adalah pasien pertamanya. Dan gadis kecil itu memiliki kisah yang terlalu rumit di samping penderitaan fisiknya. Dan rasa empati itu muncul begitu saja. "Kalau boleh tahu, kenapa Anda harus menjadi penanggung jawab tunggal dari Linzy kalau status Anda, maaf, hanya pekerja di rumahnya saja? Dimana keluarga Linzy?" Vania. "Ibunya sudah meninggal. Sementara ayahnya pergi dan kami kehilangan kontak dengan Beliau. Lalu, keluarga besarnya tidak ada yang mau membantu pengobatan Linzy. Semua seakan tutup mata. Karena terlalu banyak masalah diantara keluarga besar mereka dulu." "Dan saya, bagi saya Bu Irma itu seperti malaikat. Bu Irma yang membiayai pengobatan anak saya dua belas tahun lalu, sampai anak saya bisa bertahan lebih lama dari seharusnya. Maka dari itu, saya merasa sangat berhutang budi dan harus melakukan hal yang sama. Lagi pula, saya terlanjur menyayangi Non Linzy seperti anak saya sendiri. Nasibnya, mirip dengan anak saya dulu, Rano. Bedanya, Rano tidak dapat bertahan lebih lama lagi karena kanker di tubuhnya sudah menyebar." Penjelasan wanita itu cukup membuat Vania mengerti. Hanya satu yang sampai saat ini tidak dapat Vania mengerti. Kenapa semua keluarga besar, bahkan ayah Linzy tega menelantarkan gadis tak tau apa-apa seperti Linzy? Padahal, di darah Linzy juga mengalir darah leluhur mereka. Linzy adalah bagian dari mereka. Linzy menoleh ke arah Christy. Christy menggeleng. Memberi kode bahwa ia juga tak memiliki jalan keluar atas masalah Linzy. "Anda tenang saja ya, Bu. Masalah biaya rumah sakit, nanti saya coba bantu pikirkan. Tapi saya tidak bisa janji untuk membantu, tapi tetap akan saya usahakan yang terbaik untuk Linzy." Vania. "Kenapa Dokter mau membantu memikirkan permasalahan ini? Padahal kita belum pernah kenal sebelumnya." "Karena Linzy adalah pasien saya. Dan saya tidak akan membiarkan pasien saya kehilangan kesempatannya hanya karena biaya. Saya akan mengusahakan yang terbaik untuk pasien saya." jawab Vania tegas. Wanita itu memeluk Vania sembari menangis. Vania sempat kaget, namun dengan segera ia membalas pelukan wanita itu dan mengusap punggungnya. "Yang harus Ibu lakukan saat ini adalah terus membangun semangat Linzy untuk sembuh. Linzy sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekelilingnya. Dan hanya Ibu yang dia punya." tambah Vania. 'Ada apa dengan perasaanku ini?'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN