Selesai mengabsen, Isabelle langsung mengambil piring-piring yang ada di troli dan meletakkannya di depan meja masing-masing. Mereka membuka piring masing-masing dan berdecak kagum melihat isinya. Rasa kantuk tadi telah menghilang digantikan oleh rasa lapar.
Sarapan mereka pagi itu adalah salmon panggang yang dilapisi bumbu harum hingga membuat mereka sanggup meneteskan air liur. Ada sandwich telur dengan sosis sebagai pendampingnya. Isabelle juga menyediakan teh, s**u, hingga kopi di setiap meja. Kebutuhan mereka benar-benar dipenuhi selama di pulau itu.
Kelima orang itu secara otomatis langsung menyantap sarapan mereka dan hanya terdengar denting sendok dan garpu. Isabelle telah meninggalkan mereka kembali ke dapur.
Satu per satu mereka mulai meninggalkan meja makan karena Isabelle tidak datang menghampiri mereka kembali. Itu artinya mereka sudah bebas melakukan apapun setelah sarapan pagi. Warren langsung pergi ke ruang santai di lantai dua sementara Ian kembali menguap dan masuk ke kamarnya. Nampaknya ia ingin melanjutkan tidurnya lagi.
Grissham juga berjalan ke lantai dua tanpa mengatakan apapun pada Selena yang hanya memandang mereka pergi dengan bingung. Ia memang sangat lambat saat makan hingga selalu tertinggal. Thomas masih berada di ruang makan itu sambil menyeruput tehnya. Selena hanya memandanginya sambil terus mengunyah.
“Apa yang akan kau lakukan nanti, Tom ?” tanyanya dengan mulut penuh. Thomas menoleh ke arahnya.
“Kurasa aku akan mencari cincin itu di rumah ini terlebih dahulu.” jawabnya dengan tenang. Selena hanya mengangguk mendengarnya.
“Bagaimana denganmu ? Kau mau mencarinya kemana ?” Thomas terfokus padanya. Selena terlihat berpikir sesaat.
“Aku mau menjelajah di hutan saja. Bukannya cincin itu hilang saat Sir Rudolph sedang berburu ?” kata Selena dengan polosnya. Mata Thomas langsung membelalak.
“Ya ! Kau benar ! Aku tidak ingat dengan petunjuk itu ! Err... boleh aku ikut denganmu ?” tanya Thomas. Selena tersenyum, “Tentu saja. Aku juga bisa kesulitan mencari barang itu sendirian.”
Selena telah menyelesaikan sarapannya dan ia keluar dari ruang makan itu bersama Thomas. Ia memberitahu pria itu bahwa ia ingin mengambil beberapa barang sebelum keluar dari mansion. Selena kembali menaiki tangga menuju kamarnya. Mansion itu sama sekali tidak seram saat matahari telah muncul. Selena hanya menggeleng-geleng pelan saat melewati lukisan Sir Rudolph Tramonde dan mengejek dirinya sendiri karena ketakutan tidak jelas tadi malam.
Matanya mengerling ruang bersantai di ujung lorong dan melihat Grissham dan Warren sedang sibuk membongkar beberapa perabotan. Nampaknya pemikiran mereka sama untuk mencari cincin itu di ruang bersantai. Selena membiarkan mereka sibuk mencari sementara ia pergi ke kamarnya mengambil tas kecil yang biasa disandangnya. Dimasukkannya memo kecil berisi petunjuk dari Isabelle kemarin, salep untuk luka ringan, dan minyak angin. Siapa tahu saja udara di luar dingin, pikir Selena dan ia beranjak dari ranjangnya untuk kembali ke dapur.
Tiba-tiba matanya memandang senter yang ada di meja samping ranjangnya. Ia terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya mengambil senter itu dan memasukkannya juga ke dalam tas.
Selena kembali ke dapur dan melihat Isabelle sedang sibuk mencuci piring sarapan mereka tadi. Ia langsung berjalan ke arah kulkas dan membukanya. Selena mengambil dua apel dari kulkas dan sebotol air mineral.
“Isabelle, aku boleh mengambil ini 'kan ?” tanya Selena sambil menunjukkan apel dan air mineralnya. Isabelle hanya mengerlingnya sesaat sebelum kembali mencuci piringnya.
“Tentu saja. Anda bebas melakukan apapun di rumah ini, nona.” jawabnya pendek.
Selena langsung memasukkan apel dan botol air itu ke dalam tasnya. Ia keluar kembali ke aula dan melihat Thomas telah menunggunya tanpa membawa apapun. Ia hanya mengenakan jaket berwarna cokelat.
“Kau tidak membawa apapun ?” tanya Selena mengamatinya. Thomas menggeleng, “Aku tidak tahu harus bawa apa.”
Selena hanya menaikkan alisnya dan langsung berjalan ke pintu depan. Thomas mengikutinya dan mereka keluar dari mansion itu.
Mereka mulai berjalan ke arah patung air mancur yang berada tidak jauh dari arah mansion. Ada empat cabang jalan di sana dan mereka mulai bingung harus memilih jalan yang mana.
“Apa kita tidak akan tersesat dengan banyaknya belokan di sini ?” Thomas memandang Selena dengan sebelah alis terangkat.
“Kurasa kita harus membuat sebuah penanda agar kita tahu jalan mana yang sudah kita lalui. Err... bagaimana dengan ini ?” Selena mengambil memo kecilnya dan merobek sticky notes yang ada di belakang memo itu. Dipilihnya kertas yang berwarna merah.
Gadis itu menempel sticky notes merah di salah satu pohon pada jalan setapak paling kanan. Ia langsung berjalan memasuki belokan itu dengan Thomas yang mengikutinya tanpa banyak bertanya.
Mereka berjalan sambil memeriksa semak-semak dan pepohonan yang mereka lalui. Selena selalu tidak lupa menempel penanda jalan yang mereka lalui karena sibuknya mencari membuat mereka tidak mengingat jalan mana yang dilalui lagi.
“Tom, lebih baik kita berpencar untuk mencarinya. Jika seperti ini, kita akan kemalaman hanya untuk mencari satu jalan saja.” usul Selena. Thomas terlihat berpikir sesaat sebelum akhirnya ia mengangguk.
Selena membagi sticky notes yang berwarna kuning terang pada Thomas. Sebelum Thomas berbalik, Selena memberikannya sebuah apel yang dibawanya. Thomas memandang apel yang diterimanya dengan alis terangkat.
“Untuk penganjal perut jika kau lapar.” senyum Selena sebelum meninggalkannya.
Gadis itu mulai sibuk mencari ke semak-semak kembali dan tangannya mulai kotor akibat menggais-gais beberapa semak belukar yang berlumur lumpur. Nampaknya kemarin malam hujan hingga beberapa semak-semak di sana masih basah.
Selena berdiri sambil menarik napas panjang setelah berjongkok terlalu lama di dekat semak-semak. Keringatnya mulai membasahi kaos yang dipakainya. Ia menengadah memandang langit yang terang benderang. Selena melirik jam tangannya dan melihat jam sudah menunjukkan tengah hari. Dicarinya pohon yang cukup rindang untuk duduk beristirahat di sana. Ia tidak bisa menghubungi Thomas untuk mengetahui perkembangan pencarian di sana karena tidak ada ponsel.
Selena duduk bersandar di pohon itu dan menenggak air mineral yang dibawanya. Diliriknya apel dalam tasnya tapi gadis itu masih belum merasa lapar. Rasanya sarapan tadi terlalu mengenyangkannya hingga tidak membuat lambungnya merasa kelaparan sedikitpun.
Matanya tiba-tiba menangkap sesuatu yang terlihat janggal di sudut kanan jalan setapak yang berupa semak belukar tinggi seperti dinding. Ada lubang yang cukup untuk dimasuki orang dewasa jika mereka menunduk. Selena beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati lubang semak itu. Ia terlihat ragu untuk masuk ke dalam. Siapa tahu saja itu sarang hewan liar, bisa mati aku...pikir Selena dan ia memperhatikan sekelilingnya untuk mencari ranting yang cukup panjang.
Selena mengambil ranting panjang itu dan menyodokkannya ke dalam lubang itu. Tidak ada yang keluar dari sana sama sekali. Ia menunduk untuk melihat ke dalam lubang dan gelap sekali hingga ia tidak bisa melihat apapun. Selena mengambil senter yang ada di dalam tasnya dan menyorot lubang itu.
Matanya membesar seketika. Cahaya senternya menyinari puncak pepohonan hingga membuatnya terkejut. Nampaknya ada sebuah tempat di dalam sana yang tidak tersinari matahari sama sekali. Selena langsung memberanikan dirinya memasukkan kepalanya ke dalam lubang itu untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Separuh badannya telah masuk ke dalam lubang itu dan Selena berusaha menyinari tempat itu dengan senternya.
Tangan kirinya yang berfungsi menyangga tubuh tergelincir hingga Selena terjatuh seketika ke dalam lubang itu sepenuhnya. Ia menjerit kesakitan akibat jatuh menabrak salah satu akar pohon yang besar di bawah lubang. Selena mengusap bokongnya yang terasa nyeri dan berusaha melihat tempat itu dengan jelas. Ia ternganga melihat pemandangan di depannya.
“Wow... amazing...” gumamnya saat menyadari ia berada di salah satu lembah yang cukup aneh karena ini bukanlah pegunungan.
Tempat itu remang-remang dan banyak kabut yang menutupi pemandangan sekelilingnya. Pohon-pohon tinggi menjulang hingga membuat Selena berpikir ia pastilah berada di bawah pulau. Ada sebuah dek kapal kayu yang ukurannya raksasa membentang di depannya. Sepertinya kapal itu menabrak pulau ini hingga pecah dan bagian dek-nya tertanam di bawah pulau. Dek itu terlihat seperti batas untuk memandang pepohonan dan hutan-hutan yang ada di depannya. Yang cukup mengherankan bagi Selena adalah dek itu sama sekali tidak berlumut dan nampaknya masih baru. Padahal jika melihat kondisinya, tempat itu pastilah sudah ada ribuan tahun yang lalu.
Cahaya dalam lembah itu biru-kehijauan karena kabut dan pepohonan yang menutupi semua cahaya matahari. Udara di dalam sana pun lebih dingin hingga membuat Selena mengusap lengannya beberapa kali. Ia kembali memberanikan dirinya untuk berjalan di tanah yang lunak sekali. Sepertinya kadar air di tempat ini lebih banyak hingga terkadang sepatu Selena menginjak tanah yang basah. Ia harus berhati-hati karena lumut membuatnya bisa tergelincir kapan saja.
Selena memperhatikan dek kapal itu dari dekat dan tidak bisa melihat potongan dek itu sama sekali. Nampaknya tertimbun di tanah hingga hanya ujungnya yang mencuat seperti itu... pikir Selena lagi.
Ia sedikit ragu untuk menjejakkan kakinya di dek itu. Tapi, ia lebih penasaran dengan apa yang ada pada ujung dek itu. Ia ingin melihat bagian bawah dek itu apakah masih bisa dijelajahi olehnya atau tidak.
Tapi, setelah melihat kayu-kayu dek yang kelihatannya masih kokoh, Selena menginjakkan kakinya ke sana. Tidak terjadi apa-apa. Ia menghela napas lega dan mulai berjalan ke ujung dek yang sangat luas tanpa ditumbuhi tanaman merambat apapun.
Selena menunduk untuk melihat bagian bawah dek dan melihat dirinya sendiri dalam pantulan air berwarna hitam pekat. Sepertinya ia tidak bisa turun ke bawah karena setelah ia memperhatikan daerah bawah dek semuanya air tenang berwarna hitam. Gadis itu juga bisa melihat akar-akar raksasa pepohonan yang menjulang di seberangnya bersilangan dari dalam air. Sepertinya rawa-rawa yang lumayan mencekam.
Tatapan Selena berhenti pada satu titik. Ia tidak terfokus ke sana sama sekali karena telinganya sibuk mendengarkan sebuah suara yang samar-samar seperti bisikan. Selena mengernyit berusaha mendengarkan apa yang dibisikkan oleh suara itu.
“...you...not belong...here...”