Bab 18. Ciuman kerinduan

1225 Kata
Semakin dewasa, pengakuan cinta dan kerinduan dengan ucapan yang manis rasanya udah gak perlu. Kalau kenyataannya bahasa tubuh mereka bisa berbicara dan mengngkapkannya lebih baik daripada kata-kata belaka. *** Selama tinggal sendiri, aku jadi lebih leluasa mengekspresikan segala perasaanku di rumah tanpa ada interupsi dari siapapun. Ketika aku bahagia, aku bisa senyum atau tertawa sepuasnya, nyanyi lagu yang gembira, joget-joget gak jelas atau atraksi apapun. Ketika sedih, aku bisa melakukan hal gak penting seperti membongkar ulang isi almari, memisahkan biji jagung dari bonggolnya satu per satu atau nangis semalaman tanpa perlu khawatir ada yang terganggu. Aku lebih berani me-release perasaanku sendiri. Apapun. Senang, sedih, kecewa, terharu, dan lain-lain. Terutama setelah nonton film atau membaca novel yang ceritanya mengena sampai aku bawa ke dunia nyata. Malam ini, perasaanku campur aduk tidak karuan dan aneh. Aku bahagia karena pelanggan Flora semakin banyak dan oendapatan meningkat. Tapi di sisi lain juga ada bagian hatiku yang rasanya mellow. Seminggu ini gak banyak yang terjadi dalam hidupku. Aku melakukan aktivitas seperti biasanya dan itu cukup menyenangkan walaupun kata Anki hidupku monoton. Tapi... itu sebelum aku bertemu Bhaga. Setelah pengakuan perasaannya malam itu dan paginya dia mengirim sarapan, Bhaga gak nampak lagi. Dia gak datang tiba-tiba dan mengajak aku pergi atau dia gak datang dengan alasan mampir lagi. Bahkan sampai aku udah menyelesaikan buku Paper Town itu. Entah apa maksudnya bersikap begini. Bukankah dia harusnya meyakinkan aku tentang perasaanya itu? Kalau begini, pengakuannya kemarin seperti hanya bercanda semata kan? Atau memang dari awal dia cuma mau mempermainkan aku aja. Aishhh!!! Aku hampir membuat bajuku sendiri gosong karena terlalu kuat menekan setrika. Lagian kenapa dari tadi aku uring-uringan begini? Alhasil aku mengalihkan dengan menyetrika satu kerangjang baju yang baru selesai diangkat dari jemuran. Ya ampun, aku kenapa sih? Gimana kalau misal perasaan uring-uringan dan mellow ini sebabnya adalah aku gak ketemu lagi dengan Bhaga. Aku kehilangan dan mengharapkan kehadirannya. Tapi... masak sih? Aku sendiri malu mengakui kepada diriku. Seminggu itu hanya tujuh hari, tapi rasanya lama sekali gak melihat wajah sok cool -memang cool sih- Bhaga. Dan... bau parfumnya kenapa se-damage itu. Astaga. Jangan-jangan dia melet aku sampai 24/7 kepikiran dia terus. Lalu telingaku mendengar deru mobil memasuki halaman rumah. Aku lupa tutup pagar tadi. Tapi itu siapa yang datang? Aku mencabut colokan setrika dan melenggang ke jendela untuk mengintip siapa gerangan. Namun belum sampai aku membuka gordennya, bel pintu berbunyi dan kemudian disusul suara ketukan pintu yang terdengar tergesa. Bulu kudukku terangkat. Gak biasanya orang yang udah memencet bel lalu mengetuk pintu. Bel ya bel aja, ketuk ya ketuk aja. Tapi ini dua-duanya. Membuat aku berpikir yang negatif aja. Salahku juga sih udah jam sepuluh malam tapi aku lupa nutup pintu gerbang. Ketukan itu semakin rapat ritmenya. Oke, aku berani. Sapta udah ngajarin aku gimana menangani hal-hal kaya gini. Ku ambil payung di sutut ruangan, jaga-jaga kalau dia orang jahat. Setelah menyiapkan mental, aku membuka pintu itu dengan gerakan cepat dan tetap waspada. Mataku membulat dan kening berkerut. Aku mendapati orang yang sejak tadi ada di otakku, kini berdiri dengan kemeja hitam yang lengannya udah digulung asal sampai siku. Rambut yang berantakan dan pandangan sayu lebih ke pucat. Dia tersenyum. "Ga! kirain siapa." Aku mengelus d**a kemudian karena lega. "Yas. Boleh minta minum?" Hah? Bertamu jam sepuluh malam dan meminta minum. Apa coba motivasinya. Apa di rumahnya gak ada minum? Tapi tunggu sebentar. Ada yang aneh. Aku menyipitkan mata dan memperhatikan Bhaga denngan seksama, dia bukan habis mabuk, kena begal atau sebagainya sampai wajahnya pucat begitu. Akhirnya aku berjinjit dengan postur tubuhnya yang tinggi, aku menyibakkan rambut-rambutnya yang jatuh diwajah dan menempelkan punggung tanganku ke dahinya. Lalu kurasakan kulit tanganku hangat. Perkiraanku benar, Bhaga sakit. *** Bhaga meminum teh chamomile. Aku menyobek tablet paracetamol untuk dia minum. "Maaf. Udah ngrepotin. Kamu pasti mau istirahat." Aku menggeleng cepat, tapi lalu ku sesali karena gengsi mulai mendominasi. Aku gak mau terlihat terang-terangan kalau ternyata aku agak senang orang yang aku pikirkan ada di depanku. "Enggak, aku lagi nyetrika tadi." tunjukku ke ruang laundry. "Kamu pulang kerja?" "Aku baru nyampe dari Bali. Turun dari pesawat, kepalaku berat, badanku lemas dan tulangku rasanya patah semua. Tapi gak tahu kenapa aku pengen ke rumah kamu. Aku udah bersiap pulang kalau memang kamu gak bukain pintu karena udah tidur." Jelasnya, lalu menyandarkan tubuhnya di sofa. Matanya sangat sayu dan ada kantung berwarna agak gelap di bawahnya. "Kamu sebenernya kerja apasih?" "CEO. Aku baru aja ditunjuk mengelola perusahaan orang. Perusahaan periklanan yang hampir gulung tikar. Dan harus ekstra kerja keras buat perbaikan manajemen cabang sana-sini." Bhaga cerita dengan mata yang dari tadi berkedip dan sesekali tertutup lama. Kayaknya dia memang lelah banget. Aku beringsut dan menuju kamar mengambil selimut. Lalu ku sibakkan untuk menyelimuti bagian tubuh Bhaga. "Yas... Gak perlu. Aku udah mau pulang kok." Ujarnya lirih dan mengusap wajahnya dengan kasar. Bhaga pun menegakkan tubuhnya, bersiap untuk berdiri dan sepertinya dia merasakan pusing lagi sampai menutup matanya agak lama. "Ga, jangan pulang sekarang." Aku menjegal tangannya dan menahannya berdiri. "Bahaya nyetir malem-malem dengan kondisi kamu kayak gini." Aku lalu menarik Bhaga untuk duduk bersandar kembali. Walaupun awalnya dia menolak dan tetap mau pulang, setelah nadaku sedikit tinggi, akhirnya dia menurut. Dulu setahuku Bhaga jarang sakit, tapi sekalinya sakit, dia udah gak bisa melakukan aktivitas apapun selain tiduran, mama sampai kerepotan harus setiap kali mengeceknya di kamar. Sekarang aku berhasil menariknya ke kamar dan tiduran di ranjangku. Aku gak mungkin biarin dia nyetir malam dengan kondisinya yang lemas, gak mungkin juga menyuruhnya tidur di sofa dengan postur tubuhnya yang tinggi besar itu. Pasti gak muat. Rumah ini ada kamar tamu, tapi biasanya untuk tidur Yasya kalau datang. Akhirnya kubiarkan dia tidur barang sejenak di kamarku atau sampai besok pagi, terserah. Aku bisa tidur di kamar tamu berbaur dengan setumpuk maianan Yasya dan bau-bau bayi. Itu lebih baik. Sebelum keluar dari kamar, aku memastikan suhu tubuhnya lagi. Panas ditubuhnya membuat matanya mungkin terasa pedas dan memerah hingga mengeluarkan air mata di sudut-sudutnya. Tanganku reflek mengusap sudut matanya yang basah itu. Bhaga mengerjap agak lama. Lalu tangan kanannya yang dingin tiba-tiba meraih tanganku dan agak menariknya hingga tubuhku otomatis mendekat. Jarak kami bahkan gak sampai 10 cm dengan dia yang berbaring dan wajahku diatas wajahnya. "Makasih." Ujarnya pelan dengan suara yang semakin parau. Di situ, Tatapan kami bertemu. Sangat lama sampai bisa menyelami satu sama lain tanpa ada yang saling berniat membuka pembicaraan. Sunyi meraja kamarku ini dan bersamaan dengan suara hujan yang turun derasnya di luar sana, Bhaga mengangkat sedikit kepalanya dan menciumku. Bibirnya menempel lembut di bibirku. Hanya seperdekian detik, tapi sukses membuatku melebarkan mata karena kaget. Jantung dan nafasku hampir aja berhenti. Aku yang masih menumpu tubuh bungkukku dengan kedua kaki, nyaris terhuyung kalau aja aku gak bisa mengontrol kakiku yang udah kayak jelly ini. Namun aku gak peduli dengan rasa yang berimbas langsung pada fisikku atau apapun itu. Yang ada hanya perasaan di d**a yang tiba-tiba membuncah dan meletup-letup bagaikan popcorn rasa karamel yang baru matang dan mulai menari. Meledak-ledak dan berdesakan keluar dari tutup panci. Aku merasa dicintai. *** Setelah kecupan singkat dibibirku, tangan Bhaga membelai rambutku dan menyelipkannya di belakang telinga dengan gerakan yang teramat lembut. "Aku suka model rambut kamu yang dulu, tapi sekarang lebih suka. Ini fakta." Aku tersenyum. Dari sekian hal yang aku tunggu untuk Bhaga katakan, dia malah memuji rambutku yang pendek sebahu dan sekarang berantakan ini. Lalu... "Yas, Kangen."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN