Cerita Pilu Berakhir Lucu

1270 Kata
Langkah kaki yang terlalu cepat itu menimbulkan suara detak. Menghentikannya tepat di samping kursi yang terbuat dari bilah bambu. Mata Pricilla menatap lurus ke arah pintu tengah. Di sana, terlihat Alya yang sedang membawa nampan berisikan nasi beserta sambal tempe dan segelas air putih. Pricilla tersenyum melihat perhatian kecil dari ibunya. Berjalan satu langkah ke depan untuk duduk di kursi itu. Tak lama kemudian, Alya telah sampai di ruang itu. Ruang kecil nan sempit dan jauh dari kata mewah. Tapi, ruangan itu mampu menghangatkan hubungan ibu dan anak setiap harinya. Mereka duduk bersebelahan sembari bersenda gurau. Menikmati angin-angin malam yang berhasil masuk melalui celah-celah dinding bambu. Memang, rumahnya telah diperbaiki, tapi tetap hanya berdinding anyaman bambu. Sebab, dana yang tak mencukupi untuk membangun rumah gedongan. Arrghh Pricilla mendekap tubuhnya sendiri untuk mencari titik terhangat untuk dirinya. Benar, seorang ibu akan memberikan apa pun untuk anaknya. Alya merapatkan diri meraih tubuh putri kesayangannya untuk menyalurkan rasa hangat dari tubuhnya. “Makan dulu, ya, biar badan makin hangat,” tuturnya, “atau mau Mama ambilkan air teh hangat untukmu?” sambungnya sembari mengambil piring yang tadinya diletakkan di atas meja. Pricilla menggeleng. Memeluk ibunya yang baru saja ingin berdiri untuk pergi ke dapur. “Prissy mau Mama saja,” jawabnya dengan tersenyum manis. Tangannya mengeratkan dekapan dalam pinggul ibunya. “Kamu payah sekali, wahai anak koneng! Masa di sekolah bar-bar, di luar udah kaya preman, eh giliran di rumah malah kaya anak cupu gini,” jawab Alya sembari duduk kembali. Pricilla hanya tertawa renyah mendengar ejekan ibunya. Ya, namanya juga anak. Sudah pasti akan membutuhkan kehangatan dari orang tuanya. Apalagi, dekapan hangat seorang ibu. Itu yang sebenarnya sedang dirindukan. Tapi, kebanyakan remaja memang begitu, bukan? Di luar sering bobrok, tapi di rumah menjadi anak yang manja sama keluarga. Atau malah kebalikan? Pricilla menikmati makanan yang telah disiapkan oleh ibunya. “Mama jangan ke mana-mana. Di sini saja sama Prissy,” katanya setelah selesai menelan makanan suapan pertama. Tak lama kemudian, Pricilla telah selesai melahap makanannya. Sampai-sampai pikirannya melayang pada ibunya yang tengah duduk diam di sampingnya. “Eh, Mama sudah makan, kan?” Alih-alih menjawab, Alya hanya tersenyum sembari mengusap puncak kepala putrinya dengan lembut. Alya mengambil sapu tangan yang selalu siap sedia di dalam saku daster motif bunga-bunga itu. Perlahan, mengusapkan ke bibir putrinya yang kotor akibat bukiran nasi dan minyak yang menempel. “Ada apa? Tadi mau cerita sesuatu?” tanyanya. Pricilla tersenyum sembari memegang lengan tangan ibunya yang begitu kasar akibat bekerja terlalu keras. Hanya demi sekilo beras, Alya harus membanting tulang di rumah majikannya. “Ma, tahu enggak sih. Ternyata masih banyak orang yang jauh di bawah kita. Padahal, Prissy menganggap kita ini begitu susah,” kata Pricilla membuka topik pembicaraannya. “Ya, namanya kehidupan. Kadang berada di bawah kadang pula berada di atas. Seperti roda becak atau motor yang berputar. Tapi, satu hal yang harus kita lakukan dalam posisi apa pun yaitu bersyukur.” Senyuman Alya yang begitu khas membuat Pricilla tertular. Mereka saling tersenyum satu sama lain. Benar, kunci terbaik untuk mendapatkan sesuatu adalah bersyukur. Syukuri apa yang ada dalam diri. Sebab, banyak orang yang ingin berada di fase saat ini. Pricilla mengambil sebuah buku tulis yang kebetulan tergeletak di bawah meja. “Ma, terima kasih. Selama ini Mama selalu membelikanku buku tulis tanpa telat. Bahkan, di saat Mama hanya punya uang untuk membeli beras, Mama rela memakai uang itu untuk membeli sebuah buku. Padahal, kadang buku itu malah aku sia-siakan. Aku biarkan tergeletak di meja tanpa dituliskan ilmu-ilmu. Kadang pula hanya aku bawa ke sekolah lalu bawa kembali ke rumah, tanpa pula aku selipkan kata-kata bernilai tinggi. Maaf, atas hal itu, Ma.” Pricilla mengangkat buku tulis itu ke hadapan Alya dengan raut wajah yang begitu pilu. Alya yang melihat kelopak mata anaknya menahan air kristal bening itu pun ikut melelehkan air mata. “Mama paham. Memang, anak muda seperti itu. Mama juga dulu seperti itu. Tapi, kalau Mama boleh minta tolong isikan buku-buku itu dengan tulisan yang penuh akan makna dan membawamu pada puncak kesuksesan di dunia maupun di akhirat. Lalu, kenapa tiba-tiba kamu membahas tentang buku tulis?” jawab Akya dengan tangannya yang mengusap air mata anaknya. Kemudian, mengusap air matanya sendiri yang mulai menetes pada pipi. Pricilla mencoba untuk menjelaskan tentang kejadian yang ia temu sore tadi. Kala bertemu seorang gadis kecil yang ingin belajar, tapi tidak memiliki uang cukup untuk sekadar membeli buku tulis. Seorang gadis yang begitu ambisius untuk mencapai cita-citanya menjadi seorang dokter spesialis kanker. Sebuah cita untuk bisa merawat ibunya yang m3nderita kanker darah. Keuletannya begitu kuat, sampai memelajari materi yang seharusnya belum dipelajari di usianya. Materi-materi anak usia sekolah menengah yang didapatkan dari buku-buku bekas dari tong sampah atau pungutannya hasil memulung itu mampu dicerna dan dipahaminya. Bahkan, di saat anak sekolah menengah tak mampu memahaminya dengan benar. Gadis kecil yang begitu hebat dan cerdas. Selesai menceritakan hal itu, Alya memeluk putrinya dengan erat. Bahagia memiliki anak yang begitu cerdas dan memiliki kebaikan hati di balik sikap nakal dan bobroknya. Pricilla berjanji dalam hati untuk selalu membuat bangga ibunya. Walaupun, hanya dengan hal-hal sederhana. Tidak lama kemudian, tiba-tiba ada bau pandan yang begitu menyeruak di hidung Pricilla. Ternyata, Alya pun menghirup aroma itu dengan kuat. Benar-benar aneh dan tidak biasa. Pricilla menengok ke belakang tempat di mana dia duduk. Sebuah pintu jendela yang terbuat dari kayu itu terbuka lebar. Hanya menyisakan beberapa palang kayu yang sengaja dibuat agar seperti rumah-rumah khas zaman dahulu. Pricilla teringat akan sesuatu. Sejak magrib tadi pintu jendela belum ditutup. Tambah lagi, malam ini malam Jumat. Alya melihat kedua tangannya yang merinding luar biasa. Bulu-bulu tangannya berdiri tegak sempurna. Kedua perempuan itu terperanjat berdiri sedikit menjauh dari tempat duduknya. Saking besarnya rasa takut itu sampai-sampai terlupa jika ada meja di depannya. Pricilla meringis pilu sembari memegangi dengkul kakinya yang terluka akibat kaki meja yang memang sudah tidak halus lagi. Bau pandan itu semakin menyeruak dan tajam. Pricilla menatap ke arah Alya untuk meminta saran. Alya hanya mengangkat bahu tak mengucap sepatah kata pun. Pricilla memberanikan diri untuk menutup pintu jendela secepat mungkin. Kemudian, mereka menetralkan diri lalu duduk kembali di kursi bambu itu. Mencoba untuk menghangatkan kembali suasana di ruangan itu. “Sudahlah, Mama tidak mau bahas apa-apa. Mendingan berdiam dulu, pamali. Noh, lagi asan isya,” kata Alya sembari meminum air putih dari gelas yang ada di meja. Kebetulanx air minum belum diseduh oleh putrinya, tadi. “Iye Mama. Ane diem.” Sekitar pukul delapan kurang seperempat, ada seseorang yang mengetuk pintu depan. Tanpa ada suara orang menyapa atau mengucapkan salam. Benar-benar malam yang penuh dramatis bin mistis. “Mama aja yang buka. Prissy takut,” kata Pricilla sembari menunjuk pintu depan. “Siapa di depan?” tanya Alya dengan suara keras dan ngegas. Krik ... Krik Tak ada yang bersua dari depan sana. Makin membuat kalut dan bingung untuk membukanya. Tapi, tidak lama kemudian terdengar suara seseorang yang tak asing menyebut namanya sendiri. Alya memberanikan diri untuk beranjak ke depan. Membuka kunci pintu lalu knop pintu. “Walah Ibu Yanti, toh. Saya pikir siapa,” kata Alya setelah membuka pintu. “Lha iya, Bu Alya. Ini saya bawakan kue bolu rasa pandan. Mumpung masih hangat.” Tetangga Pricilla itu memberikan satu kantong plastik berisikan kotak putih berisi roti bolu seperti yang dikatakan. “Apa tadi bau pandan itu ... Oh iya, terima kasih banyak, Bu.” “Iya, saya baru selesai membuat kue bolu rasa pandan. Makanya, buru-buru saya bagikan kemari. Saya permisi dulu, Bu Alya.” Alya kembali ke tempat duduknya. Menaruh plastik itu ke atas meja. Pricilla tertawa renyah sembari menepuk dahinya. “Ana-ana wae,” (Ada-ada saja) ujarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN