Sesampainya di rumah, Pricilla masuk ke kamar. Melihat ke arah jam dinding yang ada di kamarnya masih cukup waktu untuk membersihkan diri. Dia bergegas mengambil handuk, masuk ke kamar mandi. Setengah jam kemudian, Pricilla duduk di sebuah meja riasnya. Menyisir rambut dan mengeringkannya.
Cuaca yang lumayan dingin menumbuhkan rasa kantuk pada diri gadis itu. Tambah lagi, badan yang terasa pegal-pegal begitu mendukung untuk memejamkan mata. Pricilla melangkah ke ranjang, membaringkan diri sembari memainkan ponselnya.
Tak terasa mata gadis itu telah terpejam manis. Tidurnya ditemani dengan angin malam yang berhasil melenggang melalui ventilasi. Tak hanya itu, Pricilla pun mendekap boneka sebagai penambah kehangatan.
Tidak lama kemudian, terdengar suara kaki melangkah yang semakin jelas di telinga. Wanita paruh baya yang sudah rapi dengan pakaian tidur pun masuk ke kamar Pricilla. Duduk di tepi ranjang, menatap wajah putrinya dengan penuh rasa kasih sayang. Dia merebahkan diri si sisi kasur yang masih kosong. Memeluk putrinya dari arah belakang.
Beberapa waktu kemudian, keduanya terlelap dalam mimpinya masing-masing. Sekitar pukul setengah sepuluh malam, hujan pun menghampiri dan turut menemani tidur manusia di kota itu. Bahkan, terdengar beberapa kali petir yang menyambar. Sampai akhirnya, listrik dipadamkan.
“Ma, kok, gelap?” tanya Pricilla selang dua menit terbangun. Tangannya berusaha meraih lengan ibunya yang masih berpangku pada pinggangnya.
Berkali-kali Pricilla membangunkan ibunya, namun tidak ada jawaban apa-apa. Gadis itu menyalakan senter pada ponselnya. Ternyata, ada pesan dari Anara. Di mana temannya itu mengingatkan untuk datang di rumahnya. Pricilla tidak ingat jika ada agenda di malam ini. Dia malah tertidur dengan nyaman. Bahkan, sekarang pun sudah menunjukkan tengah malam.
Gadis dengan piyama berwarna merah itu memilih membalas pesan Anara meminta maaf. Pricilla benar-benar tidak mengingatnya. Andai saja waktu bisa diputar, Pricilla tidak akan merebahkan diri di atas kasur. Dinginnya malam dan air hujan pun semakin menusuk tulang gadis itu. Pricilla meraih selimutnya untuk menutupi tubuh. Tapi, tetap saja rasa dingin masih menyertai dirinya.
“Ma, bangun, Pricilla takut,” kata gadis itu sembari mengoyak tubuh ibunya dua kali.
Akhirnya, wanita paruh baya itu terbangun. Dia melihat Pricilla tengah duduk bersandar pada dinding dengan memeluk diri sendiri. “Kamu tidak apa-apa, kan?” tanyanya dengan suara khas orang bangun tidur.
“Takut, dari tadi petirnya banyak terus besar. Ini badan juga rasanya capek banget, Ma,” jawabnya.
Benar saja tubuh gadis itu demam. Dia juga merasakan tubuh yang terasa linu karena terlalu lama duduk di kereta. Selama beberapa hari dia tidak istirahat dengan waktu yang cukup. Badan yang capek, kini ditambah perut keroncongan karena menahan lapar sejak sore tadi.
Terpaksa, tengah malam Pricilla dan ibunya harus bangun. Berada di dapur memasak sayur yang masih ada di rumah. Beruntung, saudaranya membawakan sebuah olahan ikan asin. Jadi, hanya perlu memasak satu menu sayur, mereka sudah bisa menikmati makan malam.
Selama tiga puluh menit, mereka menyiapkan masakan. Mereka membuat sambal tomat. Menu sederhana yang terasa nikmat ketika dimakan di tengah-tengah kelaparan. Apalagi, sudah tengah malam dan susah untuk mencari makanan di luar sana. Selain itu, berjalan tengah malah sangat berbahaya.
Pricilla telah merasa kenyang dengan makanannya. Dia duduk di ruang makan dengan memainkan ponsel. Menunggu makanan turun sampai ke dalam perut untuk diproses secara benar dan tepat. Mau kembali tidur pun, dia harus menunggu kurang lebih dua jam lagi.
Beberapa waktu kemudian, mereka kembali tertidur. Kali ini, hujan sudah reda. Kondisi di luar pun sudah baik. Mereka bisa kembali tidur dengan nyaman.
Keesokan harinya, Pricilla sudah selesai mandi. Sekitar pukul setengah tujuh pagi, dia berada di ruang makan menikmati sarapan. Membuka ponsel sudah ada balasan dari Anara. Di mana geng luoji belum bertemu karena kondisi langit semalam tidak terkondisikan.
“Ma, hari ini ada agenda apa?” tanya Pricilla meneguk satu kali air putih.
“Enggak ada. Pesanan juga, bukan hari ini,” jawabnya.
Pricilla masuk ke kamar belajar materi. Geng luoji belum juga menentukan hari untuk mengerjakan hukuman. Padahal, Pricilla sudah sejak tadi menunggu kabar lebih lanjut. Membaca materi selama kurang lebih dua jam. Setelah itu, dia rebahan di kasur sembari memainkan ponselnya.
“Pris, Mama lupa kalau besok ada pesanan. Kamu ke pasar, ya, sekarang,” mata ibu Pricilla berdiri di ambang pintu.
Pricilla mengangguk. Beranjak dari duduk, masuk ke kamar mandi. Bersiap dan mengganti pakaian. Setelah itu, membawa dompet, berjalan kaki mencari kendaraan umum. Namun, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih. Jadi, kemungkinannya sangat kecil untuk mendapatkan sebuah angkutan. Saat ini angkutan umum susah untuk didapat, sebab banyak warga yang sudah miliki kendaraan pribadi.
“Pak, boleh minta tolong?” tanya Pricilla kepada seorang pria yang baru saja menurunkan penumpang. “Tolong antar ke pasar, bisa?” sambung Pricilla sembari melihat jam tangan sekilas.
Tukang ojek itu pun mengantarkan Pricilla sampai pasar. Setelah membayarkan uang ongkos, Pricilla melanjutkan jalan menuju toko yang biasa dijadikan tempat berbelanja oleh ibunya. Pricilla memesan tepung dan perlengkapan lainnya yang digunakan untuk memproduksi donat.
Waktu telah menunjukkan pukul dua belas siang. Pantas saja, perut Pricilla terasa mual karena kelaparan. Dia masuk ke salah satu warung mi ayam. Lebih baik dia mengisi perut terlebih dahulu, mengingat jarak pasar ke rumah yang lumayan jauh dan memakan waktu.
“Ma, ini barang-barangnya. Aku mau ke kamar dulu, ya,” kata Pricilla setelah sampai di rumah. Dia teringat jika ponselnya masih tersambung aliran listrik sejak ditinggal pergi ke pasar.
“Bantu Mama buat donat. Soalnya pesanannya lumayan banyak,” katanya.
“Siap. Mama buat adonannya dulu, nanti Pricilla ke dapur.” Pricilla berjalan menuju kamarnya untuk melepas aliran listrik ke ponselnya.
Tidak lama, Pricilla menemui ibunya di dapur. Membuat adonan donat. Kemudian, dilanjutkan sampai donat siap dipanggang. Pricilla juga membantu untuk membuat adonan cokelat yang akan digunakan untuk membuat hiasan donat.
“Untung Mama menemukan catatan pesanan itu, kalau tidak ... Bisa diamuk sama pelanggan,” ujarnya sembari memasukkan satu loyang ke dalam oven.
“Gak pa-pa, Ma. Manusia memang tempatnya lupa dan salah. Paling penting, kita bisa memperbaiki semua itu. Toh, juga Mama terus ingat.”
Tidak lama kemudian, Pricilla mendengar ponsel yang berdering. Benar saja, dari pelanggan yang menanyakan soal pesanan. Untung saja, masih ada waktu. Walaupun harus dilembur sampai malam. Paling penting, mereka tidak kehilangan rupiah dari pesanan itu dan tidak mengecewakan pelanggan.
“Ma, besok diantar sekitar pukul sembilan pagi,” kata Pricilla menyimpan kembali benda pipih itu. Kemudian, melanjutkan untuk membuat adonan kue. Sebab, masih harus membuat lima loyang lagi.