Si.lo.gis.me

3387 Kata
Bagaimana perasaanmu, jika kamu harus menarik kesimpulan terlebih dahulu dari dua buah premis dari orang yang kamu sukai demi mendapatkan jawaban dari cintamu? -    Agnetha Larasati  -   “ ... Kenakalan remaja terjadi kembali di lingkungan sekolah. Kali ini, terjadi karena adanya 7 murid yang melakukan pemalakan atau perampasan kepada korban. Pelaku dan korban sama-sama berasal dari SMA Go Publik. Menurut kesaksian teman korban .... “ Pricilla mematikan TV dengan segera. Ia tidak habis pikir, memang ada sekolah yang sampai membuat pemberitaan tentang kasus yang sering terjadi. Kasus semacam ini sudah ke sekian kalinya terjadi di SMA Go Publik. Artinya, sudah ke sekian kalinya pula SMA Go Publik mengirimkan berita kepada media. “Sekolah macam apa ini? Bukan mencari nama baik, malah menjelekkan nama sendiri,” gerutunya. SMA Go Publik memang berbeda dengan sekolah-sekolah lainnya. Di sini, kasus terburuk maupun prestasi sama-sama di masukkan ke pemberitaan. Entah apa motivasi dari hal tersebut. Ya, sesuai dengan nama sekolah. Makanya, hampir seluruh aktivitas yang terjadi di sekolah harus dimuat dalam media. Lagi-lagi Pricilla terlibat ke dalam kasus yang sudah tidak asing lagi. Ia mendudukkan dirinya ke sofa ruang tamu yang berwarna krem. Kaki kanannya dinaikkan ke kaki kiri dengan kedua tangannya mengepal bak petinju yang siap bertarung. Ya, sebentar lagi akan ada perang dalam rumahnya. “Pricilla, kamu berbuat ulah apa lagi?” Wanita paruh baya itu berjalan ke arah sofa. Kaki jenjang dan tubuh serta ekspresi wajahnya yang seram membuat Pricilla takut menatapnya. Pricilla menunduk dengan perasaan yang tidak karuan. Semua rasa berperang dalam hatinya. “Mama tadi lihat berita dan itu berasal dari sekolahmu. Kamu tidak terlibat, kan?” Alya membuka stoples  berisikan keripik tela. “Kalau ditanya itu dijawab ... Mama tidak ingin ada kasus yang melibatkan kamu lagi.” Alya keluar dari rumah. Ia ingin melanjutkan pekerjaannya di rumah majikannya sebagai asisten rumah tangga. “Belajar yang benar,” katanya ketika menutup pintu. Kini, Alya—mama Pricilla—telah pergi dari rumah. Mungkin, memang benar ingin kembali ke rumah majikannya atau malah pergi entah ke mana. Tapi, Pricilla tidak peduli dengan itu. Baginya, Alya tetaplah ibu yang jahat karena telah membiarkan papanya pergi. “Pa, Pricilla minta Papa jangan pergi, Prissy sayang Papa,” Aldo berjongkok untuk menjajarkan tinggi tubuhnya dengan Pricilla. Ia mendekap erat putrinya. Dia memberikan pesan supaya putrinya dapat tumbuh dengan baik dan selalu menjaga mamanya. “Gabriela Pricilla Nahlohy, putri kesayangannya Papa ... Papa janji akan kembali lagi nanti kalau kamu sudah berusia 17 tahun.” Aldo berdiri lalu membenarkan posisi tas gendongnya. Ia melepas jaket berwarna denim lalu memberikan pada putrinya. “Arrrgh, Papa, Prissy rindu,” ucapnya ketika teringat dengan papanya yang telah pergi meninggalkan ia bersama mama. Sekarang, Pricilla sudah berusia 18 tahun. Ia tumbuh menjadi seorang perempuan yang cantik. Tapi, sayang dia juga tumbuh menjadi remaja yang salah pergaulan. Ia tergabung di Geng Luoji yang terkenal sebagai preman di lingkungan masyarakat ataupun sekolah. “Harusnya, Papa kembali setahun yang lalu. Tapi, papa melanggar janji dan tidak kembali,” batinnya. “Sudahlah lebih baik, sekarang aku berangkat ke sekolah.” Kepalanya pusing memikirkan masalah yang baru saja ia perbuat bersama keenam temannya. “Semoga, dengan viral-nya berita ini Papa kembali.” Pricilla tidak bisa membayangkan dengan gurunya yang akan memarahinya. “Selamat pagi, saya yakin kalian telah mendengar berita yang sedang termuat di semua media. Oleh karena itu, saya meminta kepada siswa dan siswi SMA Go Publik yang terlibat dalam kasus tersebut untuk menemui saya di ruang BK. Terima kasih.” Pricilla menatap ke arah teman-temannya dengan mengernyit seakan-akan menanyakan ‘Mau memenuhi panggilan BK?’ “Astaga, masih pagi ini. Sudah ada panggilan dari BK saja. “ Agnetha berdiri. “Ayo, ke BK. Daripada si Santi makin menjadi.” “Bu, kurang pekerjaan, ya?” Anara duduk dengan malas di sofa ruang BK. “Oh iya, lain kali kalau mau memanggil kami lagi, di kasih camilan, ya, Bu. Biar lebih santai dengan pembicaraan serius di antara kita.” “Anarawati Daniswara, bukankah kamu anak orang kaya? Kamu saja bisa masuk ke Go Publik karena orang tua kamu yang berperan penting di sekolah ini, kan? Seharusnya kamu yang membelikan kami camilan untuk mengawasi kamu dan teman-temanmu menjalankan hukuman,” jawabnya. Ibu Santi membenarkan hijab berwarna merah dengan bros berbentuk bunga. Ia mengembuskan napasnya kasar lalu mengambil buku besar yang digunakan sebagai daftar pengunjung ruang BK. “Bu, langsung pada intinya saja. Saya lagi semangat buat belajar matematika, Bu. Jangan sampai membuat saya tidak mengikuti pelajaran.” Kim berdiri hendak keluar dari ruang BK. “Baik, kalian isi dulu daftar ini lalu ... “ “Lalu, saya Agnetha Larasati, mengaku ... cinta sama Davin Jerrick. Dav, kamu mau, kan, menjadi pacarku?” Agnetha memotong pembicaraan gurunya. Seluruh murid yang berada di ruang BK mendadak melotot ke arah Agnetha. Di mana pikirannya, ketika situasi sedang rumit, dia malah sempat menyatakan cinta kepada Davin. Agnetha yang merasa di pelototi dan menjadi pusat perhatian teman-temannya serta guru BK-nya malah senyam-senyum seperti tidak ada rasa bersalah. Davin yang kaget dengan penuturan Agnetha—teman satu geng dengannya—kaget dan bingung mau bagaimana menanggapi situasi saat ini. Tapi, dia juga bangga dengan kejujuran Agnetha yang berani mengungkapkan isi hatinya. Davin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia menatap Agnetha dengan ekspresi yang serius. Mungkin, tatapannya akan memberikan keyakinan pada Agnetha kalau Davin akan menerima cintanya. “Agnetha, ini ruang BK. Masalah kalian yang kemarin saja belum selesai. Lalu, sekarang kamu berani mengungkapkan perasaanmu di hadapan saya?” “Aelah, Bu. Selagi ada ... Kesempatan kenapa tidak!” Agnetha memainkan rambutnya. “Lagian, saya ingin Anda menjadi saksi atas hal ini. Jadi, akan ada kesan buruk, gitu.” “Astaga, Tha, kamu sakit?” tanya Anara. “Enggak, aku sehat kali ... Davin, jawabannya?” Davin melongo tidak tahu harus menjawab apa. Lagi-lagi dia menatap mata Agnetha dalam seakan menjawab ‘Iya, aku mau.’ “Tha, Agnetha Larasati ... “ Davin memegang bahu Agnetha. “ Aku menghargai perasaanmu, maka dari itu, aku mau menjawab ... Premis satunya jika kamu tidak merasa dingin, aku menolaknya dan kamu merasa dingin sebagai premis dua.” “Davin, maksud kamu apa?” Anetha menggenggam kedua tangan Davin. “Dav, kamu menerima kan?” Ibu Sinta berdiri lalu mengambil sebuah kertas yang ada di rak. Sedangkan, anggota geng luoji yang lainnya menahan tawa sejak tadi. “Kim, sudah seperti drama Korea, ya?” tanya Pricilla. “Diam, jangan berisik!” Agnetha menatap Pricilla dengan tajam, sedangkan Pricilla tersenyum meremehkan. “Sudah-sudah, jangan debat. Bu Sinta, buruan, dong. Sudah mendekati istirahat ini!” Kim mengangkat pelipisnya tipis-tipis. Ibu Sinta duduk lagi di tempat duduknya. Ia mengambil bolpoin dan tampak mencoret-coret berkasnya. “Kim, salahkan temanmu. Mereka yang membuat lama.” Mengambil buku yang diserahkan oleh Anders. “Baik, sepertinya kalian sudah tidak sabar, ya?” Agnetha berdiri lalu mendekat ke arah Ibu Sinta. Matanya yang sipit di kedipkan sekali. Tangannya membenarkan rambutnya yang sebahu, dengan sekali embusan napas Anetha meminta izin untuk menunda pembicaraan yang —mungkin—tidak penting. “Bu, nanti dulu, saya belum selesai bicara sama Davin. Apa iya ... Anetha harus membayar Anda?” “Astaga, Anetha ... Acaramu itu tidak penting. Masa iya .... “ “Dav, maksudnya apa?” Memotong perkataan ibu Sinta. “Kamu menerima kan?” “Sebentar, Tha, aku mau kamu jawab dulu pertanyaan dari aku, oke?” tanya Davin. “Agnetha, apa iya kamu mau di sini sampai besok subuh?” tanya Bu Sinta, “Dari tadi memotong pembicaraan saya terus.” “Ah, Ibu, sebentar saja, Bu. Apa iya saya harus menunggu jawaban sampai tahun depan?” jawabnya dengan santai. “Dav, cepat di jawab saja, mau sampai kapan kita di sini? Kita saja sudah kehilangan tiga jam pelajaran.” Anders menengahi. Davin dengan sekali napas, akhirnya memberikan jawaban untuk Agnetha. Walaupun, dia ragu akan Agnetha yang pasti lama mencerna maksudnya. Sama seperti jawaban yang paling awal tadi. “Tha, urutan bilangan prima ke empat dari terkecil berapa?” Agnetha mengernyit sama seperti anak geng luoji lainnya. Benar-benar dibuat teka-teki. Dari tadi tidak kunjung selesai. Sampai waktu istirahat tiba, mereka masih setia menemani Ibu Sinta di ruang BK. “Tujuh .... “ “Ya, sekarang huruf urutan ketujuh adalah jawabannya.” “Astaga, Davin, ribet banget sih, cuma mau jawab satu huruf doang.” Pricilla menabok jidatnya. “Tahu begini, aku enggak akan menunggu dengan serius.” Sahabat tetaplah sahabat bagi Davin. Dia tidak ingin persahabatan yang terjalin di antara mereka bertujuh runyam karena sebuah kata cinta yang terjalin. Jujur, memang sebenarnya Davin hanya menganggap Agnetha sebatas sahabat tidak lebih. Tapi, entah bagaimana bisa Agnetha malah mencintainya. “Tha .... “ Anara memeluk Agnetha. “Kita itu sahabat, Tha.” Ibu Sinta menarik napasnya dalam. Ia ingin melangkahkan kakinya keluar ruangan. Memang, bel istirahat telah berbunyi sejak dua detik yang lalu. Mungkin, Beliau hendak membeli nasi atau sekadar menyantap bekalnya. “Sudah waktunya istirahat. Saya mau makan, silakan kalian juga makan. Jangan lupa nanti sehabis istirahat langsung masuk ke ruang .... “   “Ruang ini kan, Bu?” Potong Raynar. “Bukan, silakan masuk ke ruang kelas kalian. Nanti sewaktu istirahat ke dua kembali ke ruang BK. Ingat, jangan banyak drama, ya. Oh iya, terima kasih atas drama eksklusif yang kalian tampilkan di hadapan saya. Selamat beristirahat.” “Agnetha, aku enggak menyangka kalau kamu bisa-bisanya terjebak dalam friendzone sama Davin. Btw, rasanya amatir enggak sih ditolak di depan guru BK yang .... “ Mereka keluar dari ruang BK menuju kantin untuk mengisi perut mereka yang kosong sejak tadi. Kruk! “Ra, urus saja perutmu. Tuh sudah bunyi,” Anegtha memotong perkataan Anara yang belum selesai. “Ya sudah, kita mau ke halaman belakang. Kalian makan saja sambil gibah bersama.” Anders mengajak Kim, Davin, dan Raynar ke halaman belakang. Tempat di mana menjadi tongkrongan mereka. Di sana, mereka dengan leluasa merokok dan meminum. Walaupun, harus berhati-hati jika ada orang yang melintas. Kalau tertangkap basah, ya, sudah jelas akan mendapatkan kado spesial dari guru BK. Lima menit kemudian, bel masuk telah berbunyi. Rasanya malas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Pelajaran bahasa Indonesia, di mana gurunya suka berceramah yang tidak penting. Hal itu malah menambah kantuk semakin menggebu. “Ra, bolos saja atau masuk?” tanya Agnetha. “Masuk,” putus Pricilla. Mereka masuk ke dalam kelas. Ternyata, di sana belum terlihat ke empat temannya—tim cowok—duduk di bangkunya. Di ambang pintu, Pricilla, Agnetha, dan Anara bimbang antara bolos atau mengikuti pembelajaran. Namun, sayang Bu Diah sudah muncul di belakang mereka. Akhirnya, mereka masuk ke kelas dengan keadaan yang sudah jengah dan malas. “Assalamualaikum,” salamnya. “Alaikumsalam, Bu,” jawab seisi kelas dengan kompak—malas. Beliau duduk di bangkunya. Bangku yang memang di sediakan untuk seluruh guru yang mengajar di kelas. Namun, saat Beliau hendak menduduki bangku tersebut, tiba-tiba ada suara yang berasal dari kayu. Ternyata, kayu bangku itu telah rapuh. Sehingga, berbahaya jika diduduki. “Anders, tolong bantu saya, gantikan kursi ini dengan yang masih bagus.” Anders mengangkat kursi itu dengan malas. Tapi, berhubung lagi baik—karena ada iming-iming nilai tambahan—hati, Anders dengan rasa senang menggantikan kursi itu. “Bu, butuh dilap enggak?” tanya Agnetha. “Boleh, silakan, terima .... “ “Terima tambahan nilai, kan, Bu?” “Agnetha, kamu ini selalu memotong pembicaraan orang lain. Saya ini belum selesai bicara sudah kamu potong. Apa perlu saya ajarkan tentang sopan santun, Tha?” Seluruh murid yang ada di kelas menertawakan Agnetha, namun ia malah tersenyum bangga karena merasa disanjung oleh gurunya. Bagian mana yang menunjukkan sanjungan? Ya, sopan santun. Agnetha memang tidak terbiasa dengan hal itu. “Baik, kamu kembali duduk dan kita melanjutkan materi sebelumnya.” Membuka buku paket halaman 245. “ Baik, jadi materi kita kali ini tentang teks prosedur. Siapa yang tahu tentang teks prosedur dan mampu menjelaskan?” “Bu, saya ...!” “Baik, silakan Pricilla jelaskan tentang teks prosedur.” “Teks prosedur, dari namanya sudah jelas bahwa teks itu akan menggambarkan tentang suatu prosedur. Jadi, teks prosedur adalah teks yang menjelaskan suatu prosedur tentang sesuatu secara urut dan utuh. Semisal tentang cara .... “ “Cara mencintaimu dengan sempurna!” potong Agnetha dengan intonasi tinggi. Lagi-lagi seisi kelas dibuat gaduh olehnya. Agnetha, sosok perempuan yang tergila-gila oleh pesona Davin hingga akhirnya dia menjadi b***k cinta yang tidak tahu tempat. Tadi, di ruang BK secara gamblang menembak Davin lalu sekarang di kelas pas pelajaran Bu Diah. Ya, tinggal siap-siap menerima ceramah siang darinya. “Agnetha, saya heran ... Itu kenapa yang empat kosong?” Menelusuri setiap sudut ruang kelas. “Kosong sejak tadi kali, Bu,” celetuk salah satu siswi tanpa memikirkan dampak belakangnya. Pricilla menatap siswi itu tajam, bahkan setajam silet. Siswi itu merasa ketakutan, ia menunduk lalu membungkam mulutnya seakan menyalahkan mulutnya yang tidak bisa dikontrol lagi. “Baik, sambil menunggu mereka, saya mau ... Agnetha, tolong deskripsikan tentang Cara mencintaimu dengan sempurna!” tantang Bu Diah. “Ya, kali ini saya sedang berbaik hati dengan kalian, jadi, saya ingin pembelajaran kali ini tidak terlalu serius dan terlihat ambis. Jadi, kita santai saja dengan mendengarkan penuturan dari Agnetha. Siapa tahu menjadi tipa dan trik buat kalian yang sedang patah hati lalu mencoba untuk mencari dambakan hati yang baru. Silakan Agnetha.” “Bu, si Agnetha baru aja patah hati, Bu. Di tolak Davin di depan Bu Sinta.” Agnetha merasa ... Kecewa dengan Anara. Padahal, tadi sewaktu di ruang BK dia berusaha menyemangati Agnetha. Tapi, kenapa sekarang di malah seakan-akan ingin menertawakan Agnetha di depan Bu Diah dan seluruh murid. “Wow, mari kita dengarkan tentang ‘Cara Mencintai’ dari seorang Agnetha.” Bu Diah mengambil tisu dari dalam tasnya untuk mengelap kursinya lalu mendudukkan diri di sana. “Bu, saya sendiri bingung bagaimana cara mengungkapkannya. Eh, Bu, minta ke Pricilla saja, ya?” cengar-cengir sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Anders, Kim, Raynar, dan Davin dari mana kalian?” Bu Diah mencium bau yang menyengat—khas rokok—melalui indra penciumannya. Ia menarik keempat muridnya lalu menyuruh mereka untuk menemui Bu Sinta. Berhubung lima menit lagi istirahat kedua, tim cewek geng luoji memutuskan untuk mengikuti keempat teman cowok mereka ke BK. “Bu, kami bertiga juga ikut, ya, tadi di suruh Bu Sinta.” Agnetha meminta izin. Sebenarnya, dia tidak ingin terjebak dalam situasi yang rumit. Apalagi, disuruh membuat teks prosedur yang di luar nalar. Memang, itu juga dari mulutnya sendiri. Bu Diah memberi izin untuk mereka keluar dari kelasnya. “Masih lima menit lagi, loh, apa iya mau meneruskan drama eksklusif kalian?” sindir Bu Sinta kepada Agnetha ketika memasuki ruang BK tanpa salam ataupun permisi. “Bu jangan pakai jargo milik Anetha, dong,” jawab Anegtha. Bu Sinta mengambil kertas yang tadi pagi sudah dicoret-coret sama Beliau. Entah apa isi dari kertas itu. Kalau dilihat sekilas, sih, seperti format surat resmi. “Mau minta hukuman, bukan?” godanya. Bu Sinta tampak melihat ketujuh muridnya satu per satu dengan saksama. Bola matanya memutar jengah dan malas untuk memberikan hukuman berkali-kali di setiap harinya hanya kepada murid yang sama. “Dengarkan baik-baik. Jujur, sebenarnya saya sudah cukup bosan untuk memberikan hukuman sama kalian. Apa iya kalian tidak bosan juga bertemu dengan saya?” Tidak ada yang menjawab. “Oke, saya mau membacakan inti surat dari kepala sekolah untuk kalian. Menurut surat ini, sekolah membutuhkan lima digit angka untuk dijadikan kode rahasia. Kode itu digunakan untuk berbagai sandi akun penting sekolah yang akan berlaku di tahun berikutnya. Jadi, hukuman kalian membuat kode itu dengan angka yang unik dan terjaga kerahasiaannya. Mengerti?” “Baik, itu gampang! Cuma lima digit, kan? Kalau perlu 100 digit juga saya buatkan, Bu.” Anders menantang. “Ya, kalian coba kerjakan saja. Sekarang kalian boleh makan atau ibadah.” “Bu, Cuma itu doang? Kenapa tadi pagi lama banget, sampai menghabiskan tiga jam pelajaran?” tanya Kim. “Kim, salahkan teman-temanmu yang sudah membuat drama eksklusif yang sangat menakjubkan sehingga menyita waktu berharga itu. Oke?” Bu Sinta menepuk punggung Kim lalu kembali ke belakang ruang BK. Mungkin, mencari berkas milik salah satu muridnya. “Pris, ada apa?” tanya Kim ketika mereka duduk di kantin sejak lima detik yang lalu. “Aku kangen Papa,” katanya. Kim mengangguk mengerti, walaupun tidak sepenuhnya memahami situasi yang dialami Pricilla. Satu detik kemudian, Agnetha duduk di sebelah Pricilla—lebih tepatnya di depan Davin—dengan membawa satu mangkok batagor. “Eh, kok ada batagor, Tha?” Pricilla menyesap air liurnya sendiri. Pasalnya, tadi dia mencari-cari makanan favoritnya, namun tidak menemukannya. Kini, ia melihat batagor yang membuat matanya membelalak bak menemukan berlian. “Tha, tukar sama baksoku, ya, belum aku makan sedikit pun kok.” “Oke,” pasrah Agnetha dengan memberikan batagornya. “Dav, kenapa kamu menolak cintaku?” “Tha, kamu belum juga menerima keputusanku?” Davin mengaduk es degannya dengan santai. “Begini, kita itu sudah lama menjadi sahabat. Sudah hampir tiga tahun, kan? Terus, ternyata kamu menyukaiku. Tha, memang kamu mau kita pacaran-putus-patah hati lalu kemudian persahabatan kita malah jadi hancur?” “Tapi, bukankah Allah menciptakan manusia berpasangan dan cinta itu fitrah, kan, Dav? Dia tidak untuk disakiti atau dipatahkan, jadi, kita bisa mencoba untuk saling mengerti. Kalaupun status kita pacar, tapi kan bisa jadi sahabat juga.” Agnetha masih memperjuangkan persaannya. “Dav, apa kamu ada perempuan lain yang jauh lebih sempurna dari aku?” Davin berhenti mengaduk-aduk es degannya yang sudah menggiurkan lidahnya sejak tadi. Tapi, perkataan Agnthe membuatnya terpaksa menghentikan aktivitasnya. Davin paham betul dengan sifat Agnetha. “Tha, percaya deh sama aku, lebih baik kita jadi sahabat. Aku hanya tidak ingin kisah kita jadi hancur seketika.” Davin membuang napasnya sedikit kasar. “Dav, kita tetap sahabat, kan?” Davin tersedak es degan yang diminumnya. “Apa iya, kita bakal jadi musuh setelah .... “ Agnetha merasa kesal ketika kalimatnya dipotong oleh Davin. “Ya, kita kan sahabat.” Meja kantin paling pojok di tempati oleh geng luoji setiap harinya. Geng yang beranggotakan Pricilla, Davin, Anara, Agnetha, Kim, Anders, dan Raynar. Geng itu dibagi menjadi dua yaitu tim cewek dan tim cowok. Mereka memiliki banyak perbedaan, tapi memiliki satu kesamaan yaitu nakal. Kesamaan itulah yang mendasari terbentuknya geng luoji. Pulang sekolah adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh mereka. Tapi, tidak dengan Pricilla. Dia muak dengan mamanya yang sudah memisahkan dengan papanya. Mau atau tidak mau, dia harus tinggal bersama mamanya. Papanya pergi setelah mengetahui mamanya berselingkuh tiga belas tahun silam. “Pris, mama sudah siapkan makananmu. Mama pergi kembali kerja, ya.” Pricilla berjalan ke arah ruang makannya. Ia duduk di sana untuk menghempaskan rasa penat dan lelahnya. Belum lagi rasa stres karena baru saja mendapatkan hukuman yang memberatkan itu. Tangannya bergerak membuka tudung makanan saji itu, matanya bersinar seperti mendapatkan kilauan berkas cahaya. “Mama membuat batagor ... Kok tahu makanan favoritku.” Tangannya mengambil seporsi batagor di piring berwarna putih bermotif bunga. “Ah, palingan tahu dari bungkus batagor kalau pulang sekolah beli batagor.” Kring! Kring! “Iya, ada apa, Ra?” Pricilla mengunyah sepotong batagor. “Oh iya, kabar di sana baik, kan, Ra?” “Nah itu, mereka kelaparan dan ada yang jatuh sakit karena dua hari tidak makan.” “Ra, aku transfer saja, ya, uang sumbangan yang waktu itu masih ada kok.” “Uang sumbangan? Uang hasil merampas kali, Pris?” tawa Anara dari balik telepon. “Habis, kalau diminta baik-baik, pada belagu. Padahal uangnya mah banyak,” jawab Pricilla santai, “Tapi, hanya ada dua ratus ribu, Ra. Masih cukup enggak?” “Pris, sisanya biar aku yang tombok. Terpenting uangnya di transfer dulu.” Anara saat ini sedang berada di bawah jembatan di salah satu daerah di Kemayoran. Di sanalah mereka biasanya menyumbangkan sejumlah uang untuk membantu perekonomian anak-anak jalanan. “Ra, sudah ditransfer, ya. Aku mau lanjut makan .... “ “Iya, makan saja batagornya.” Anara telah memutuskannya sejak dua detik yang lalu. Tanpa kata-kata perpisahan atau terima kasih untuk dua puluh menit hubungan itu. Hubungan macam apa coba hanya dalam waktu sesingkat itu. “Ra, cepat amat memutus sambungan teleponnya.” Pricilla mengirimkan pesan ke Anara. “Maaf, lagi mau beli makanan,” singkatnya. Pricilla kembali melahap batagornya sampai habis. Saking sukanya dengan batagor, ia sampai dijuluki ratu batagor. Hampir setiap hari yang ia konsumsi adalah batagor. Mungkin, lebih baik berbisnis batagor, ya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN