Dua hari kemudian, Pricilla dan ibunya pergi ke Yogyakarta. Mereka pulang kampung untuk menemui sanak saudara. Mereka hanya mengandalkan sejumlah uang saja, mungkin hanya cukup untuk membeli tiket kereta pulang-pergi.
Kini, Pricilla dan ibunya tengah duduk di sebuah bangku yang ada di stasiun. Mereka sedang menunggu jam keberangkatan. Gadis dengan pakaian berwarna biru, melihat ke arah jam dinding yang terpasang tidak jauh dari tempat duduk. Waktu tinggal dua menit lagi, penumpang masuk ke dalam kereta.
Pricilla dan ibunya pun bersiap. Mereka masuk ke dalam kereta, duduk di bangku sesuai dengan arahan yang didapatkan. Menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Kali ini, pertama kalinya Pricilla merasakan lagi rasanya pulang kampung setelah bertahun-tahun tidak berkutik dari Kota Jakarta.
“Pris, kalau tiga hari tidak masalah, kan?” tanyanya yang membuat Pricilla terkejut dan meninggalkan pandangan dari tepi rel yang memperlihatkan sebuah hamparan hijau.
“Santai saja, Ma. Mau berapa hari pun enggak masalah, asalkan jangan melewati batas waktu libur,” jawabnya mengalihkan pandangannya kembali, dia membuka ponsel untuk merekam suasana di sepanjang jalan.
Mereka memilih kereta dengan berbagai pertimbangan. Selain menghemat dana, kereta juga bisa menghemat waktu. Mereka juga bisa beristirahat lebih tenang dan santai. Beberapa saat kemudian, kereta terhenti di salah satu stasiun. Tapi, hal itu tidak membuat Pricilla terbangun dari tidurnya.
Dia tidur sejak setengah jam lalu. Merasakan lelah, dia tertidur dengan ponsel masih berada pada genggaman. Sampai akhirnya, sang ibu melihat benda itu. Kemudian, ibunya mengambil alih ponsel agar lebih aman. Berjaga-jaga jika ada sesuatu hal yang buruk.
“Dasar anak kebo. Kalau perjalanan jauh sudah pasti tidur. Dari kecil, tidak berubah sama sekali.” Ibu Pricilla mengambil sebuah kain untuk menutup tubuh anaknya. Bagaimanapun, mereka ada di sebuah tempat umum. Laki-laki dan perempuan bercampur. Ibu Pricilla tidak ingin tubuh anaknya menjadi bahan perhatian p****************g. Apalagi, di sebalah tempat duduk mereka adalah dua pria yang terlihat misterius dengan jaket hitam.
Bukan ingin berprasangka buruk, tetapi sebagai manusia wajib berwaspada. Lebih baik menghindari sebuah bahaya, daripada diam tidak berkutik. Tapi, rasanya pria itu tidak akan melakukan hal apa pun. Jika dia memang orang jahat, sudah dipastikan tidak akan masuk ke dalam kereta.
Ibu Pricilla pun ikut memejamkan matanya. Dia tidak ingin terlalu banyak berpikir buruk tentang orang lain, tentu saja dia tidur setelah menyimpan barang-barang yang berharga. Walaupun, hanya sebatas uang dan ponsel. Tidak lama kemudian, dia terbangun karena mendengar panggilan dari seseorang.
“Maaf, ada apa?” tanyanya ke arah perempuan yang berdiri di samping tempat duduk.
Perempuan itu memberikan informasi jika barang milik ibu Pricilla terjatuh dari bangku. Dia harus segera merapikan barang-barangnya agar tidak ada yang hilang atau tertinggal. Tidak lupa, sebelum wanita itu pergi, ibu Pricilla mengucapkan terima kasih.
Dua jam lagi, mereka sampai di stasiun Yogyakarta. Waktu masih lama, mereka melanjutkan tidur, setelah selesai membereskan barang-barang. Akan tetapi, Pricilla tidak bisa terlelap kembali. Gadis itu memilih memutar musik dengan memakai handset. Ditemani pemandangan di tepi rel yang menarik dan memanjakan matanya. Dia menikmati suasana saat ini.
“Pris, mau makan?” tanya ibunya yang terbangun, meraih sebuah tas yang ada di pangkuannya.
“Enggak, kalau Mama lapar, makan saja. Pricilla nanti kalau sudah sampai di rumah,” jawab Pricilla masih fokus dengan kondisi di luar kereta.
Beberapa waktu telah dihabiskan di dalam kereta. Mereka telah sampai di rumah kerabat yang ada di kampung. Mereka berkumpul di sebuah ruangan untuk saling bercerita. Banyak hal yang mereka ceritakan untuk menghidupkan suasana. Pricilla sampai tidak mengenali lagi orang-orang yang ada di kampung. Padahal, sewaktu kecil dia paling aktif keliling kampung untuk bermain.
Kini, Pricilla harus beradaptasi kembali. Padahal, dia hanya berada di lingkungan keluarga besar sendiri. Saking lama tidak berjumpa, dia merasa tidak mengenali mereka lagi. Pricilla diajak salah satu kerabatnya untuk pergi jalan-jalan mengelilingi Yogyakarta. Tapi, dia merasa tidak nyaman.
“Gak apa, kita hanya keliling kota.”
Pricilla masih terdiam. Memikirkan uang yang harus dibawa. Padahal, dia hanya memiliki uang pas-pasan yang seharusnya digunakan untuk tambahan modal usaha. Bahkan, tujuannya datang ke kampung hanya untuk silaturahmi dan meminta doa restu agar diberi kelancaran dalam mengerjakan soal ujian. Dia tidak ingin liburan.
Beberapa waktu kemudian, Pricilla mendapatkan persetujuan dari ibunya. Dia pergi bersama kerabatnya ke kota. Menaiki sepeda motor, dalam beberapa menit saja mereka sudah sampai di Malioboro. Mereka menikmati padatnya kota yang hampir sama ketika di Jakarta. Hanya saja, di sana banyak orang-orang ramah yang saling menyapa, walaupun hanya sebatas memberikan senyuman.
Gadis itu hanya menggelengkan kepala beberapa kali, ketika mendapatkan tawaran jajan. Dia sadar bahwa tidak ada uang lebih di dalam kantong. Tangan pun meraba dalam kantong menghitung jumlah uang dengan memprediksi cukup tidaknya ketika digunakan untuk sekadar membeli jajan di tempat itu.
“Ayo, biar aku yang mentraktir,” kata Arum—kakak sepupu Pricilla yang tinggal di Yogyakarta.
Gadis dengan kemeja putih itu masih saja menolak. Merasa tidak enak hati dengan kerabatnya itu. Pricilla memilih berdiam di sebuah bangku menikmati indahnya lampu malam di kota. Tidak lama kemudian, Arum datang membawa satu bungkus jajan. Ya, jajanan khas pedagang kaki lima. Tidak perlu diragukan lagi, walaupun hanya jajan pinggir jalan, tapi memiliki rasa yang hampir sama dengan menu makanan di restoran mewah.
“Terima kasih, Rum.”
Sekitar pukul setengah sembilan malam, mereka kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, mereka mendapati anggota keluarga yang lain sedang masak sate bareng-bareng. Pricilla dan Arum pun ikut bergabung agar bisa saling mengenal lagi.
“Pris, tolong ambil pisau di dapur, ya,” kata salah satu wanita paruh baya mengenakan gamis hitam dan kerudung berwarna biru tua.
Pricilla pergi meninggalkan halaman rumah, menuju dapur. Dia sendiri tidak tahu di mana letak dapur di rumah itu. Tidak lama, dia telah sampai di dapur setelah berkeliling di rumah itu. Dia membawa pisau ke halaman, diberikan kepada ibu Arum.
Dia juga ikut memasak sate agar bisa berbaur dengan keluarga besarnya. Rasanya pun sudah tidak pantas, kalau hanya sekadar duduk sendiri tanpa ikut membantu. Bersama dengan Arum, Pricilla menyunduk daging ayam menjadi wujud sate yang siap dibakar. Kemudian, Pricilla mendapatkan tugas yang lebih berat, membuat bumbu kacang.
Di Jakarta, Pricilla hanya berkutat dengan adonan donat. Sekarang, dia mendapatkan tantangan membuat bumbu kacang. Padahal, dia sendiri tidak tahu bahan apa saja yang harus diolah. Dia tidak pernah memasak makanan seorang diri.
“Loh, Pris, ini kacangnya, kok, masih belum digoreng?” tanya Arum yang sedang mencuci daging ayam.
Pricilla baru saja ingin membuka mulut, tapi Arum sudah menghilang dari hadapannya.