Pricilla berhenti berjalan. Menatap Agnetha dengan rasa bingung. Awas? Memang ada apa? Pricilla menaikkan alis tiga kali sebagai kode meminta penjelasan.
“Enggak, maju selangkah sekarang,” ujar Anara dengan tersenyum manis.
Pricilla mengikuti saran temannya. Maju satu langkah. Lalu membalikkan badan, ternyata di sana banyak ulat yang menempel di tumbuhan. Bahkan, bisa dikatakan memang dibudidaya saking banyaknya.
“Gue kira kenapa, ternyata cuman ulat bulu. Tapi, kalau kena ke kulit juga panasnya gak bakal ilang-ilang,” katanya.
Mereka beranjak ke sebuah gubuk milik petani teh. Duduk di teras dengan alas rumput alami. Duduk sembari mengamati aktivitas petani yang sedang memetik daun teh.
“Sekarang di mulai dulu. Nanti baru deh foto, gue ikhlas jadi fotografer,” kata Anders mengambil buku tulis dan pensil yang disimpan di saku jaketnya.
Bukan serius untuk mengerjakan soal-soal mereka malah terbuai pemandangan yang menyejukkan mata. Meraih ponsel masing-masing untuk mengabadikan indahnya ciptaan Tuhan melalui kamera ponsel. “Kita itu di sini mencari ketenangan, eh malah jadinya kalian keenakan,” kata Anders menuliskan beberapa kalimat matematika.
“Sudahlah, sesekali pakai ilmu akuntansi. Biar apa yang kita pelajari di jurusan IPS bisa berguna,” saran Raynar yang sedang tidak ingin ribet dengan soal-soal matematika.
“Nah, setuju. Bagaimana kalau kita sesekali membahas tentang Account Coding?”
“Ngomong aja kali kalau belum paham. Makanya mau bahas itu,” jawab Anara kepada Anders.
Mereka menyimpan ponsel masing-masing. Tujuan mereka ke Bogor agar bisa tenang menyusun kode yang akan diberikan untuk sekolah. Agar bisa lulus dengan sempurna di akhir tahun nanti. Mereka membahas angka-angka yang sekiranya tepat dan unik untuk kode rahasia.
Sebenarnya, bukan tenang dan tidak ada gangguan. Justru, keramahan dari para petani membuat mereka merasa sedikit terganggu dalam memfokuskan diri terhadap angka-angka itu. Fokus mereka beralih menjadi melayani warga yang mengajaknya berbincang ringan. Tapi, mereka diuntungkan dengan Anders yang begitu berani mengambil keputusan.
“Bapak dan Ibu, maaf ya, jika kami tidak menyahut. Kami sedang menjalankan tugas dari sekolah. Sekali lagi mohon maaf,” kata Anders dalam satu kali tarik napas.
Beruntung, warga memahami dengan perkataannya. Mereka kembali bekerja dan geng luoji kembali pada kegiatannya. Mengulik tentang akuntansi sekaligus mencari angka yang tepat.
“Nah, jadi akun-akun di dalam akuntansi kan terbagi dari beberapa kelompok. Jadi, kelompok apa yang akan dibahas dan dijadikan sebagai angka kedua?” kata Anders setelah kembali duduk.
“Bahas tuntas,” celetuk Agnetha.
“Lo kira kita sedang mempersiapkan ujian nasional?” jawab Anders sembari melirik ke arah Agnetha.
“Ya ... hitung-hitung belajar lebih awal. Toh, kita sudah kelas akhir,” jawabnya, “gue sini yang bakal jelasin tentang aset,” sambungnya.
“Lo beneran sudah menguasai kan? Takutnya penjelasan dari lo itu sesat,” kata Anara yang disahut tawa renyah, serenyah rengginang dari teman-temannya.
Beberapa detik kemudian, tiba-tiba hujan mengguyur Kota Hujan. Aneh, ya, mungkin karena memang sering hujan, jadi Bogor disebut sebagai Kota Hujan. Mereka berdiri mepet ke dinding gubuk yang terbuat dari anyaman bambu itu. Mencari peneduh walau tidak sepenuhnya teduh. Percikan air dari jatuhnya air dari atap pun memantul ke celana mereka. Tapi, mereka bahagia dengan hal itu.
“Kita salah hari,” kata Agnetha.
“Enggak, justru setelah hujan reda, daun-daun teh jauh lebih segar dan lebih estetik untuk foto,” timpal Pricilla.
“Langsung saja, ya,” kata Agnetha. “Jadi, di dalam akuntansi itu ada beberapa jenis akun. Pertama ada aset atau harta. Kita secara manusia pribadi saja pasti memiliki harta agar tetap hidup. Begitu pula dengan perusahaan, mereka harus memiliki harta yang cukup agar bisa mempertahankan perusahaan dari kebangkrutan. Aset atau harta memiliki nomor kode satu. Aset sendiri terdiri dari dua jenis, pertama aset lancar dan aset tetap. Apa perlu gue perjelas?” tanya Agnetha.
“Lanjutin, kalau ngajarin orang jangan setengah-setengah,” jawab Davin dengan raut wajah yang tetap sama—dingjn.
“Hemm, baiklah. Aset tetap itu sebagai contoh kendaraan, gedung, atau tanah. Nah, setiap aset rtetap pasti mengalami penyusutan seiring berjalannya waktu. Kemudian, aset lancar itu ada kas, piutang usaha, perlengkapan, dan lainnya. Lebih spesifiknya, besok pada buka buku aja deh. Gue bukan ahli akuntansi, takut salah.” Agnetha tertawa.
“Agnetha, dasar. Gue lanjutin ke kode nomor dua. Jadi di urutan kedua itu ada kelompok liabilitas. Nah, liabilities ini bahasa mudahnya adalah hutang, di mana sebuah kewajiban yang harus dibayar oleh seseorang atau perusahaan tertentu. Jenis hutang pun ada dua, yaitu hutang pendek dan hutang jangka panjang. Hutang jangka pendek salah satunya hutang usaha, sedangkan hutang jangka panjang contohnya hutang bank.”
“Nah, Anders gue punya ide. Bagaimana kalau angka ke dua itu angka dua? Jadi, bisa dilambangkan dengan hutang,” ucap Agnetha dengan asal.
“Jelaskan alasannya, Tha,” sahut Kim.
“Ya ... Jadi, kan akun kedua itu hutang. Angka pertama kita kemarin itu kan angka nol, jadi anggap saja kita tidak punya apa-apa. Supaya kita punya modal kan kita harus mencari. Jalan salah satunya ya hutang,” jawabnya semakin nyeleneh.
“Akhirnya hujan reda juga, Pris foto yok,” ajak Anara sembari membuka tas kecil yang dipakainya. Mengambil ponsel untuk mengambil gambar berlatar perkebunan teh guna kenang-kenangan di masa yang akan datang.
Anara dan Pricilla berlari keluar dari teras gubuk. Mencari titik tempat yang menarik lalu mengambil beberapa foto dengan berbagai gaya. Setelah puas, mereka beralih tempat untuk memenuhi isi galeri. Tidak lama kemudian, Agnetha pun ikut berfoto ria dengan temannya. Sedangkan, tim cowok pun memilih untuk turut serta menjadi fotografer dadakan. Mengambil gambar pemandangan yang begitu indah.
“Sejuk banget,” lirih Davin, “benar-benar tempat paling nyaman untuk membantu menyembuhkan luka. Risa, bahagialah bersamanya,” sambungnya memanggil nama siswi baru itu sembari memejamkan mata. Tangannya di renggangkan untuk menghirup udara segar lebih banyak.
“Dav, ayo move on. Cewek enggak hanya Risa saja. Gue yakin, lo bakal bertemu dengan sosok perempuan yang jauh lebih baik dari Risa.” Raynar membenarkan tali sepatunya yang terlepas.
“Jangan bilang ... orangnya Agnetha,” jawab Davin sembari membuang napas panjang.
“Entah, yang tahu hanya Allah. Kita tidak boleh mendahului ketentuan Allah,” jawab Raynar sembari tersenyum.
Setelah puas memandangi perkebunan, mereka kembali ke vila. Kebetulan, waktu memang sudah hampir gelap. Istirahat di teras vila tim cewek sembari melanjutkan pembahasan angka kedua. Tentu saja, hal itu dilakukan setelah membersihkan diri dan mengisi perut.
“Hasilnya mau bagaimana? Tidak mungkin kita pulang dengan tangan kosong,” kata Anders sembari menonton film di salah satu platform digital.
“Nurut Agnetha saja. Ambil nomor dua,” kata Anara yang memang dari awak sudah menyerah. Bukan berarti tidak ingin bertanggung jawab, hanya saja hukuman dari sekolah begitu berat dan hampir membuat stress.
“Gue enggak setuju .... “