Kejutan

2103 Kata
Satu minggu sudah antara Tio dan Nirina terjalin hubungan sebagai pasangan kekasih. Tidak ada yang berubah. Semua tetap sama seperti sebelumnya mereka berteman. Orang sekitar mereka juga tidak akan mengetahui jika Tio tidak menceritakan mengenai status baru mereka. Nenek Anah mengetahuinya juga beberapa hari setelah hari itu. Tidak langsung mengetahui melainkan menebak saja. Keduanya masih sama namun yang membuat berbeda, terkadang saling menatap dalam dan diakhiri tertawa bersama. Untuk perdebatan, ya masih berlangsung. Tio atau pun Nirina tidak ada yang mau mengalah jadilah saat keduanya ribut, rumah terasa ramai. Sekarang Nirina tengah duduk antre di depan ruangan dokter untuk mengecek kakinya. Nirina sudah merasa lebih baik. Menuruti perkataan dokter yang meminta untuk Nirina datang. Nirina datang dengan nenek Anah. Sengaja tidak meminta Tio untuk mengantar. Kasihan juga kalau harus selalu Tio. Tidak mau terlalu sering merepotkan dan terlalu mengandalkan keberadaan Tio. Karena ya Nirina yakin bahwa keduanya tidak akan bersama selamanya. Maksudnya, tidak selalu ada Tio di sekitar Nirina. Kalau terlalu mengandalkan orang lain, akan sulit jika orang tersebut tengah jauh dari kita. “Nduk, kalau pacaran yang hati-hati ya. Jangan sampai melewati batas,” nasihat Anah. Anah baru ingat untuk menasihati Nirina sekarang. Anah sebagai wali yang bertanggung jawab harus terus mengingatkan Nirina mengenai semuanya termasuk juga dengan hubungan pacaran keduanya. Walau Anah sudah mengenal Tio lumayan lama, tapi tetap saja. Siapa yang dapat menebak perasaan orang lain. Anah tidak menuduh Tio kalau lelaki itu adalah lelaki yang buruk. Namun menjaga diri lebih dini juga bukan sesuatu yang salah. Apalagi usia mereka yang masih labil. Wajar saja Anah khawatir. “Iya nek. Aku tahu kok,” jawab Nirina patuh. Nirina juga tidak bodoh untuk sampai melakukan hal yang kata nenek Anah melewati batas. Nirina kan masih punya kewarasan untuk tidak melakukan. “Nirina,” panggil suster. Nirina dibantu nenek Anah bangkit dan memasuki ruang dokter yang menanganinya dari pertama kali kecelakaan sampai hari ini. Melemparkan senyum tipis sebagai sapaan. Sudah terlalu sering bertemu sampai dokter sudah hafal nama Nirina. “Bagaimana? Benar-benar sudah mendingan?” tanya dokter mengawali sesi pemeriksaan. Nirina diminta berbaring setelahnya. Membiarkan dokter mengecek kesehatan dan kondisi kakinya. Nirina yang kesulitan turun, dibantu dokter yang cekatan. “Terima kasih dok,” gumam Nirina. Kembali duduk di samping nenek Anah. Mendengarkan penjelasan dokter mengenai keadaannya sekarang. Beberapa pertanyaan dilontarkan dokter pria itu. Nirina dengan semangat menjawab. Sudah tidak sabar untuk membebaskan kaki dari perban dan kruk. Sudah merindukan untuk bisa berjalan normal lagi. “Jadi, bagaimana dok?” tanya Nirina yang kurang paham dengan ucapan dokter yang terlalu banyak menggunakan bahasa kedokteran. Nirina bahkan tidak dapat menangkap ucapan dokter itu sedikit pun. Nirina terlalu awam untuk mengetahui bahasa yang sulit itu. “Ah iya maaf. Jadi, semua sudah baik-baik saja. Sebenarnya sudah bisa dilepas saat kontrol kemarin. Namun saya masih menunggu bahwa kondisi kaki kamu benar-benar pulih. Sekarang sudah bisa dilepas dan mulai berjalan normal. Untuk jalan sendiri, akan sulit karena kamu sudah lama menggunakan kruk sebagai bantuan. Jadi, setelah perban dilepas, tetap gunakan kruk ya. Perlahan sampai nanti dilepas karena sudah bisa berjalan normal lagi,” ucap dokter panjang lebar. Nirina dan nenek Anah bernafas lega mendengar penjelasannya. Akhirnya setelah sekian lama menanti hal ini, terjadi juga. Nirina sudah bisa melepas perban yang membalut kaki kanannya. Sebentar lagi juga akan sepenuhnya terlepas dari bantuan kruk. Kabar bahagia hari ini. Senyum tak putus dari wajah Nirina sampai di rumah. Ah, tidak sabar untuk dengan bebas menggunakan kakinya. Benar saja kata dokter. Tadi Nirina mencoba berjalan normal tanpa bantuan penyangga. Dan yang terjadi, Nirina hampir oleng karena sudah lumayan lama tidak menggunakan fungsi kaki kanannya. Jadi terasa kaku dan lemas. Untuk ada nenek Anah di sampingnya, jadi Nirina tidak perlu mencium lantai. Nirina sudah memiliki rencana untuk memberi Tio kejutan bahwa dirinya sudah bisa berjalan. Rencananya akan memberi kejutan bahwa dirinya sudah bisa berjalan besok pagi, saat akan ke sekolah. Tapi tidak akan berhasil kalau Tio saja nanti malam akan kembali ke rumah Nirina untuk menumpang makan malam. Nirina harus memikirkan alasan agar malam ini Tio tidak datang atau setidaknya mereka tidak bertemu. Menjentikkan jari karena sudah mendapat rencana yang tepat. Semoga saja bisa berhasil. “Nek, nanti kalau Tio ke sini, bilang saja aku sudah tidur ya. Aku mau kasih kejutan besok,” pesan Nirina saat baru tiba di rumah. Nirina akan makan malam terlebih dahulu dan kemudian masuk kamar. Menguncinya dari dalam sampai Tio pulang baru keluar kamar. Itu kalau Nirina belum tidur benaran. Kalau terlanjur tidur ya tetap di kamar sampai besok pagi. “Oke. Kamu berarti enggak ikut makan malam nduk?” tanya nenek Anah. Anah paling rewel untuk mengingatkan Nirina agar selalu makan. Anah tidak mau Nirina harus terkena penyakit jika terlambat atau tidak makan. Nirina masih terlalu muda untuk merasakannya. “Aku makan dulu nek. Terus habis itu baru masuk ke kamar. Nenek alasan saja kalau aku sudah tidur pas pulang dari rumah sakit. Biar enggak curiga, aku sampai enggak balas pesan Tio. Biar lebih nyata,” jawab Nirina. Meringis melihat nenek Anah yang memicingkan matanya. Anah seperti Diana yang selalu benci jika Nirina melewatkan makan. Kalau ditanya alasannya, mereka sudah mengalami yang namanya maag dan itu rasanya tidak enak. Makanya tidak mau Nirina juga merasakan. “Ya sudah. Berarti makan sekarang saja ya. Sebentar lagi magrib dan Tio kan ke sini habis magrib.” Nirina mengangguk menuruti saran nenek Anah. Sudah lapar juga Nirina. Setelah selesai makan, sesuai rencana Nirina mengurung diri dalam kamar. Menunggu Tio datang. Tio sudah biasa kok makan bersama orang rumah walau tanpa adanya Nirina. Terkadang Nirina sudah makan terlebih dulu atau ketiduran dan melewatkan makan bersama. Sudah terbiasa itu Tio di rumahnya melakukan apa pun. Bisa dibilang tidak tahu malu juga sih. Seenaknya keluar masuk rumah orang. “Assalamualaikum.” Nirina dapat mendengar suara Tio yang datang. Sekuat tenaga menahan dirinya agar tidak bersuara sedikit pun. Kamar Nirina dekat dengan ruang keluarga. Tempat di mana sering Tio gunakan untuk bersantai saat di rumah ini. Adanya sofa bed makin membuat Tio betah berlama-lama. Televisi berukuran besar juga membuat nyaman saat akan menonton. Ditambah mbak yang selalu pengertian memberi makanan ringan untuk menemani acara menonton atau sekedar bersantai. Mengenai belanja bulanan, Tio membelikan sepenuhnya keperluan dapur. Tio juga tahu diri untuk tidak hanya menumpang makan tapi juga harus memenuhi kebutuhan itu sebagai ganti selama ikut makan. Awalnya Nirina menolak karena ya bukan hanya Tio saja yang makan melainkan dirinya dan orang rumah yang tentunya menjadi tanggung jawab Nirina. Namun Tio bersikeras untuk memenuhi kebutuhan dapur Nirina. Sampai terjadi kesepakatan bahwa setiap bulannya akan bergantian. Bulan ini Tio, bulan berikutnya Nirina. Begitu seterusnya. Tidak lama, Tio pamit pulang. Tidak ada Nirina juga. Untuk apa berlama. Nirina keluar dari persembunyian. Melihat melalui jendela rumah. Agak kasihan juga tidak menemui Tio padahal lelaki itu sudah datang. Tapi ini kan demi kelancaran kejutan yang Nirina rencanakan besok pagi. Malam mulai berganti pagi. Nirina sudah selesai mandi dan bersiap. Sudah juga duduk di kursi makan. Menunggu kedatangan Tio untuk makan bersama. Yang ditunggu tiba. Tio datang. Mendekati Nirina dan menepuk rambut gadisnya pelan. Mendudukkan diri di hadapan Nirina. Nirina sedari tadi terus tersenyum tidak sabar mengetahui reaksi Tio mengenai kakinya yang sekarang sudah terbebas dari perban. Nirina juga sudah bisa sedikit demi sedikit melangkah tanpa bantuan penyangga. Untung saja taplak meja makan ini mampu menutupi kaki Nirina. Jadi Tio tidak melihatnya. “Semalam tidur cepat?” tanya Tio. Nirina mengangguk masih dengan senyum tersungging. “Iya. Ngantuk jadi ya tidur saja. Maaf ya, gue semalam enggak ada pas lo datang. Jadi lo pulang cepat deh,” sesal Nirina. Lebih ke arah menyesali dirinya yang sudah berbohong. Aduh, demi sebuah kejutan saja Nirina sudah berbohong beberapa kali. Semalam dan ucapannya hari ini. Ditambah mengajak orang rumah untuk berbohong pula. Sudah bisa ditebak seberapa besar dosa yang Nirina dapat. Jika seperti ini, Nirina tidak akan merencanakan kejutan lagi. Makan pagi berjalan seperti biasanya. Sesekali mereka mengobrol. Meramaikan suasana. Selesai makan, Tio mengajak Nirina untuk segera berangkat. Nirina sengaja membiarkan Tio berjalan lebih dulu. Dan menunjukkan diri saat Tio menghadap belakang setelah Nirina memanggilnya. “Na?” Tio yang tidak mendapat sahutan dari Nirina menolehkan kepalanya ke belakang. Tio sedari tadi berbicara mengajak Nirina mengobrol. Tapi ternyata Nirina tidak ada di sampingnya. Nirina ada di belakangnya lumayan jauh. “Diajak ngobrol ternyata enggak ada orangnya,” dengus Tio yang mendapati Nirina tertinggal jauh di belakang. Tio masih belum menyadari adanya perbedaan dari Nirina. Sampai beberapa detik baru otaknya berhasil memroses sesuatu. “Na, lo benaran sudah sembuh?” pekik Tio mendekat ke arah Nirina. Nirina hanya tersenyum membalasnya. Berputar di tempat menunjukkan bahwa kaki Nirina sudah benar-benar sembuh. Terbebas dari perban dan kruk tentunya. Saking senangnya, Tio memeluk Nirina erat. Nirina sudah berhasil melewati semuanya. Tio juga ikut bahagia. Melihat senyum lebar yang Nirina tampilkan, menunjukkan bahwa gadis itu bahagia tidak terkira. “Na, ini enggak prank kan?” tanya Tio memutar tubuh Nirina. “Aduh. Jangan diputar-putar juga kali,” ringis Nirina. Masih sedikit agak nyeri jika diputar seperti itu juga saat berdiri terlalu lama. Semua bertahap kata dokter. Tio meringis. Merasa bersalah sudah berbuat seenaknya. “Jadi mulai kapan dilepas perbannya?” Perasaan kemarin perban di kaki Nirina masih membungkus. Sekarang tiba-tiba sudah hilang dan Nirina bisa berjalan tanpa bantuan kruk. Sepertinya Tio melewatkan banyak hal. “Kemarin. Makanya semalam enggak keluar kamar, ya karena sengaja mau buat kejutan hari ini,” jawab Nirina mengakui kebohongannya kemarin. Tio memicingkan matanya. “Jadi semalam lo belum tidur?” tanya Tio menyelidik. “Iya belum. Demi kelancaran rencana hari ini. Bagaimana? Kaget enggak tiba-tiba gue bisa jalan?” Nirina menaik turunkan alisnya. Menggoda Tio yang agak kesal karena semalam dibohongi. Tapi tidak dapat memungkiri bahwa Tio terkejut mendapati Nirina tiba-tiba bisa berjalan sendiri. Senang juga akhirnya kesabaran gadis itu menunggu berbuah manis juga. “Kaget pakai banget. Ayo sambil jalan. Takut telat.” Kali ini keduanya jalan berjajar. Sesekali Tio akan memberikan lengannya saat langkah Nirina hampir goyah. Tiba di sekolah, Nirina menjadi perhatian. Hari ini perdana Nirina datang setelah sepenuhnya sembuh. Cara jalan gadis itu yang masih pelan juga menarik perhatian. Kaku seperti robot dan jangan lupakan langkahnya yang pelan. Tio dengan sabar berjalan di samping Nirina. Tidak apa, biarpun lambat juga akan tetap sampai di kelas. “Nanti pulang sekolah mampir dulu mau enggak?” “Mau ke mana memangnya?” “Makan dulu, sebagai perayaan dan rasa syukur karena lo sudah bisa jalan normal lagi. Terserah lo mau makan apa pun. Gue yang bayar,” ucap Tio. Karena kaki Nirina yang akan sakit jika terlalu lama berdiri dan berjalan, mungkin Tio akan mengajak Nirina makan saja. Lalu pulang. “Oke deh. Terserah gue loh ya,” kata Nirina menegaskan. Tidak mau nanti saat tiba di lokasi malah Tio berubah pikiran. Tio kan masih suka seperti itu. Labil. “Iya ih. Terserah lo mau makan di mana, sepuasnya juga. Kalau mau mampir ke mana juga gue mah ayo saja. Hari ini, semua yang lo mau, gue bayar. Baikkan gue?” Tio tersenyum sombong. “Gue pegang ucapan lo. Awas saja kalau bohong. Gue jambak sampai botak itu kepala,” sinis Nirina melirik kepala Tio. Tio melotot horor. Ancaman Nirina sadis juga. Memegangi kepalanya sendiri dan mengelus sayang. Tidak mau kehilangan rambut kebanggaannya. Tio tampan kan karena rambut ini juga. Kalau botak, sudah dipastikan tingkat ketampanannya berkurang setengahnya sendiri. “Iya bawel. Kapan sih gue bohong,” dengus Tio yang merasa tidak pernah berbohong. “Heh, masih tanya. Sering banget. Saking seringnya sampai gue lupa berapa kali lo bohong. Mulai dari masalah jalan, makan, sampai tugas. Harusnya gue catat ya, biar bisa ditunjukkan ke lo kalau saat kaya begini. Ingatkan gue untuk mulai mencatat perbuatan bohong lo mulai dari sekarang,” oceh Nirina yang tidak terima. Enak saja mengaku tidak pernah berbohong saat nyatanya sudah banyak kebohongan yang Tio perbuat. Tio mengalah. Jika membalas lagi perkataan Nirina, yang ada malah makin panjang. Tio tidak pernah bisa menang melawan Nirina. Entah karena perempuan memang begitu atau karena Nirina yang memang saking keras kepalanya tidak mau mengalah. Atau malah mungkin dua-duanya. Benar deh, Nirina itu orang paling keras kepala yang Tio kenal. Selama tujuh belas tahun hidup, Nirina menempati posisi pertama dengan sifat keras kepalanya yang paling parah. Menghadapi Nirina, Tio harus lebih banyak mengalah. Walau kadang ego Tio yang sama-sama tinggi, enggan mengalah. Dan jadilah perdebatan panjang tidak berkesudahan. “Belajar yang rajin. Kalau mau jadi ibu dari calon anak-anak gue harus pintar soalnya.” Tio menepuk puncak kepala Nirina dan bergegas meninggalkan tempat duduk kekasihnya. Tidak memedulikan betapa cepatnya detakan jantung Nirina akibat ucapan Tio. “Gue jadi deg-degan anjir,” gumam Nirina memegangi jantungnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN