Namanya Tio

2074 Kata
“Kamu kenal sama laki-laki tadi?” tanya Anah penasaran. Jika dilihat, Nirina seperti mengenal pria yang menolongnya tadi. Namun sepertinya hubungan keduanya kurang baik sehingga Nirina memutuskan untuk langsung pergi tanpa basa-basi. Nirina mengedikkan bahunya acuh. Dibilang kenal, Nirina tidak mengetahui namanya. Dibilang tidak kenal, Nirina memang mengenalnya. Ya, walau hanya mengenal secara garis besar. Dia teman satu sekolah dan satu kelas Nirina. Tidak lebih. Mereka melanjutkan menyusuri rak demi rak yang ada. Mengambil barang-barang yang memang pasti digunakan setiap harinya. Untuk uang, Nirina tidak perlu memusingkannya. Semua peninggalan Diana jatuh ke tangannya sebagai anak tunggal. Diana juga dulu anak tunggal. Jadi secara tidak langsung semua kekayaan nenek dan kakeknya diturunkan pada Nirina. Walau begitu, Nirina akan menggunakan uang seperlunya saja. Nirina tidak akan boros. Mulai sekarang juga Nirina sudah harus mulai terjun ke perusahaan warisan. Huh, usia Nirina yang masih terlalu muda membuat semua tugas diemban kepercayaan Diana. Tapi Nirina tetap memantaunya. Saat usia Nirina tepat dua puluh tahun, barulah semua diserahkan pada Nirina. Siap tidak siap, Nirina harus siap. Risiko menjadi anak tunggal. “Sudah semua? Enggak ada yang mau dibeli lagi?” tanya Anah memastikan. Mereka sekarang tengah mengantre di kasir. Nirina menggeleng. Sepertinya yang Nirina butuh kan sudah dibeli semua. “Terima kasih.” Nirina hanya tersenyum membalas ucapan terima kasih dari kasir. Berjalan dengan tertatih mengikuti Anah dari belakang yang sibuk mendorong troli. Walau sudah satu minggu lebih menggunakan kruk, Nirina masih saja belum terbiasa. Harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir. Sudah beberapa kali juga Nirina hampir jatuh. Untung saja masih bisa mengimbangkan diri. Jika tidak ya, sudah pasti akan mencium lantai. Terlalu asyik belanja, sampai tidak menyadari bahwa sekarang jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Nirina merasa tidak enak dengan pak Ardi yang hari ini harus lembur. Jam pulang pak Ardi sekitar pukul tujuh malam. Mundur tiga jam. Huh, ingatkan Nirina untuk memberikan pak Ardi bonus di gaji bulan depan. “Kamu langsung tidur saja. Biar nenek yang bereskan,” ucap Anah. Nirina menurut. Sudah lelah juga. Tangan Nirina yang juga sudah mulai pegal. Sedari tadi menahan tubuhnya. “Ma, datang ke mimpi aku lagi ya,” gumam Nirina sebelum tidur. Mengharapkan Diana datang lagi menyapa walau hanya lewat mimpi. Tak apa, yang penting rindunya bisa terobati meski sedikit. Gadis cantik itu terlelap dalam tidur. Meninggalkan kehidupan untuk sementara. Huh, melupakan semua masalah yang ada untuk sementara juga. Besok, akan menghadapi hari baru yang semoga saja tidak membuatnya makin putus asa. *** Matahari mulai menampakkan diri. Bersiap menggantikan tugas bulan yang sudah terjaga semalaman. Suara kicauan burung menyapa. Jangan lupakan ayam jago yang mulai berkokok. Tidak terasa, malam sudah berganti lagi menjadi pagi. Nirina masih asyik bergelung dalam selimut. Malas untuk bangun karena merasa dirinya baru saja tidur. Kenapa hari berganti terlalu cepat. “Nduk bangun. Sudah pagi. Mandi terus makan,” teriak Anah dari luar pintu kamar Nirina. Nirina mengerang. Huh, apa tidak bisa, menambah jatah waktu tidur satu jam lagi? Mata Nirina masih terlalu berat. “Nduk. Nenek tahu kamu masih tidur. Cepat bangun kalau enggak kamu akan telat ke sekolah,” teriak Anah lagi. Anah tahu tabiat buruk Nirina yang tidak bisa langsung bangun jika baru satu kali di teriaki. “Iya nek. Sudah bangun kok,” jawab Nirina teriak juga. Dengan malas mendudukkan diri. Mengumpulkan nyawa untuk mandi. Ah, kenapa juga udara pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya? Kan Nirina jadi makin malas untuk mandi. Jangankan menyentuh air. Kaki telanjangnya bersentuhan dengan lantai saja sudah terasa sekali dinginnya. Mau tak mau Nirina menuju kamar mandi. Sudah terlalu siang untuk bermalas-malasan. Bisa-bisa nanti akan terlambat ke sekolah. Jangan salah, walau malas bangun pagi, Nirina tidak pernah sampai telat ke sekolah. Nirina cukup disiplin terhadap waktunya. “Ayo makan dulu. Terus ini bekalnya. Mbak Yanti sudah menyiapkan untuk kamu. Jangan sampai lupa enggak di makan ya. Pulang harus sudah habis isinya,” peringat Anah. Mbak Yanti, salah satu dari dua asisten rumah tangga di rumah ini. Mereka semua akan pulang setelah selesai mengerjakan tugas masing-masing. Rumah mereka cukup dekat. Sekitar lima menit saja. Rumah Nirina ini kan memang berada di wilayah padat penduduk. Bukan kawasan kompleks elite. Berbeda dengan rumahnya dulu. Yang kalau masuk saja harus mempunyai akses card. Tempat ini menjadi pilihan Diana karena katanya ingin merasakan tinggal di lingkungan dengan banyak tetangga. Bisa di bilang, rumah yang Nirina tempati ini merupakan rumah paling mewah. Memiliki tanah cukup besar dengan bangunan satu lantai yang berdiri gagah. Nirina bersyukur karena dulu Diana memilih rumah ini. Di sini, Nirina jadi merasa memiliki tetangga. Yang saling membantu saat kesusahan. Ya walau ada sedikit kekesalan karena terkadang tetangganya terlalu mencampuri urusan pribadinya. “Hati-hati.” “Iya nek.” Mobil meninggalkan halaman rumah. Seperti hari sebelumnya, Nirina diantar pak Ardi untuk tiba di sekolah. Di antar sampai ke dalam kelas. Bel masuk berbunyi tidak lama setelahnya. Pelajaran dilalui dengan baik oleh Nirina. Pelajaran kedua yang mengadakan ulangan dadakan juga dilalui dengan lancar tanpa hambatan. Ingatkan, Nirina mempunyai kemampuan otak di atas rata-rata teman sekelasnya. Sekedar ulangan dadakan mah mudah. Ulangan selesai. Selanjutnya pelajaran yang paling disukai pria. Olahraga. Nirina yang memang tidak ikut olahraga karena keadaannya sekarang, tetap harus ikut ke lapangan tengah. Perintah guru olahraga langsung. Tidak diperintah pun Nirina akan tetap ikut, Nirina masih merinding jika mengingat hanya sendiri di kelas. Siswa beramai-ramai meninggalkan kelas untuk mengganti baju. Di kelas tinggal sebagian siswa yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Mereka memang selalu mengganti baju di kelas. Nirina yang merasa risi, memilih keluar. Mungkin akan menuju ke lapangan langsung. Tak apalah datang lebih cepat. “Eh ayo, gue bantu,” ucap suara pria tiba-tiba dari arah belakang tubuh Nirina. Nirina menengok. Dia lagi. Nirina menghela nafas dab terus melanjutkan untuk menaiki tangga. Jujur, Nirina membutuhkan bantuan. Tapi enggan menerima uluran tangan pria itu. Di dekat pria itu, rasanya Nirina kurang nyaman. Apa karena dia sok kenal? Mungkin saja sih. Baru bertemu beberapa kali malah seperti ini. Bukannya tidak menghargai niat baik pria itu, tapi ya tetap risi saja. “Tuh kan. Enggak usah gengsi buat minta bantuan. Harga diri lo yang terlalu tinggi bakal buat lo susah,” dengus pria tadi kala melihat Nirina yang oleng karena tidak mantap mencari pijakan. Tanpa menunggu jawaban Nirina, pria yang belum diketahui namanya itu langsung saja menuntun Nirina. Tidak memedulikan wajah Nirina yang akan protes. “Nah sudah kan.” “Terima kasih,” ucap Nirina. Walau tidak mengiyakan bantuan, tapi Nirina tetap menghargai bantuan tersebut. Prinsip Nirina itu, jangan lupa mengucapkan maaf, tolong, dan terima kasih. Hal sederhana yang dapat mendamaikan dunia ini. Ya, hanya kata sederhana. Tapi keberadaannya begitu berarti. “Oh iya, nama gue Bramantyo. Panggil saja Tio. Dan sama-sama,” ujar Tio dan langsung meninggalkan Nirina sendiri. Melalui ekor mata, Nirina melihat Tio menuju kelas lagi. Nirina bingung. Jika memang belum selesai dengan urusannya di kelas, kenapa berada di sini dan membantu Nirina? Nirina merasa Tio itu selalu berada di sekitarnya saat dirinya membutuhkan pertolongan. Tio tidak mengikutinya kan? Dua jam pelajaran olahraga akhirnya selesai juga. Nirina sudah mati kebosanan hanya duduk melihat teman-temannya asyik bermain bola. “Nanti, kamu kumpulkan makalah tentang materi olahraga hari ini ya. Sebagai ganti karena tidak mengikuti penilaian,” ucap guru olahraga pada Nirina. Nirina mengangguk. Sebagai ganti tidak mengikuti olahraga memang biasanya membuat makalah yang berhubungan dengan materi hari itu. Nirina sudah pernah membuatnya saat dulu masih kelas sepuluh. Saat itu Nirina tidak bisa ikut olahraga karena tengah keluar kota menemani mamanya. Tio sudah menunggu di tangga tempat tadi. “Ayo, sini gue bantu lagi.” Tio mengulurkan tangannya. Nirina pasrah saja. Belum sempat mengucapkan terima kasih, Tio sudah berlalu pergi. “Terima kasih,” ucap Nirina yang yakin sepenuhnya tidak akan didengar Tio. Biarkan saja, yang terpenting Nirina sudah mengucapkan terima kasih atas bantuan yang sudah Tio beri. Bel istirahat kurang lima menit lagi. Itu sebabnya kelas kosong. Mereka pasti langsung ke kantin agar nantinya tidak perlu berdesakkan. Nirina mengambil bekal yang ada. Menyantapnya dengan segera. Makan saat teman-temannya sudah masuk kelas rasanya malu sendiri. Pulang sekolah, Nirina meminta pak Ardi untuk mengantarkannya terlebih dulu ke makam Diana. Nirina sudah terlalu rindu dengan mamanya. Apalagi semalam Diana tidak datang ke mimpinya. Makin menambah rindu yang ada di diri Niana. Niana mampir terlebih dahulu untuk membeli bunga. Sesampainya di pemakaman, Nirina dengan jalan tertatih menunu tempat peristirahatan Diana yang sudah dia hafal. Nirina sengaja meminta pak Ardi agar tidak mengikuti. Nirina ingin hanya berdua saja dengan Diana. Ingin mengobrol dengan bebas. “Hai ma. Bagaimana kabar mama di sana? Kalau kabar aku sih ya, enggak sebaik saat masih ada mama di sini,” ucap Nirina. Mengelus batu nisan dengan ukiran nama Diana. Nirina bahkan tidak memedulikan kakinya yang terasa sakit. Berjongkok dengan satu kaki. Kaki satunya yang memang tidak bisa ditekuk diselonjorkan saja. “Ma, hidup aku rasanya kosong banget deh enggak ada mama. Untung masih ada nenek Anah yang selalu ada. Nenek Anah sekarang mengambil alih tempat mama untuk selalu menegur dan memarahi aku kalau aku berbuat salah. Huh, semoga mama di sana betah ya. Ah pasti betah lah. Kan ketemu oma sama opa. Salam buat mereka ya Ma. Maaf belum bisa datang ke makam oma dan opa. Lagian jauh banget.” Nirina menghela nafas panjang. Rasa sesak karena kehilangan masih ada. Nirina masih belum sepenuhnya merelakan kepergian Diana. Kadang di saat-saat tertentu Nirina mengelak bahwa Diana kini sudah tiada. “Mama tahu enggak sih, aku sekarang sudah malas kalau ngobrol sama papa. Papa terlalu mengecewakan aku. Papa cuman sayang dan peduli sama keluarga barunya. Sedih banget ya Ma. Di sini aku berjuang antara hidup dan mati, sedangkan papa malah senang-senang sama keluarga bahagianya. Untung aku anak tunggal, jadi cuman aku sendiri yang merasakan ke tidak adilan ini.” Nirina mengadukan semua yang dilalui saat Diana sudah tidak ada di sisinya. “Oh iya Ma. Ada cowok di kelas yang agak aneh menurut aku. Ya bukan aneh si. Tapi entah kenapa selalu kebetulan ada saat aku membutuhkan pertolongan. Aku kan jadi mikir kalau dia memang mengikuti aku ke mana pun. Namanya Tio. Kalau mama masih ada, pasti mama sudah heboh berpikir kalau cowok itu suka sama aku.” Diana masih menjadi tempat curhat Nirina. Sedari dulu dan sampai sekarang walau keduanya sudah berbeda alam. “Ya sudah Ma. Aku pulang dulu ya. Jangan lupa datang ke mimpi aku,” pamit Nirina. Sudah cukup lama Nirina di sini. “Aku sayang Mama,” gumam Nirina setelah mengecup nisan Diana. Dengan susah payah bangkit dari posisi jongkoknya. Meringis sakit karena kakinya yang terluka berbenturan dengan tanah. Setelahnya dengan pelan menjauh dari makam. Hati Nirina lebih tenang saat sudah berbagi cerita dengan Diana. Nirina berjanji akan sering datang ke sini. “Pulang langsung ya pak,” ucap Nirina. Pak Ardi mengangguk. Pria setengah baya itu bersyukur dalam hati karena tidak melihat tanda-tanda nona mudanya banyak menangis. Di dalam mobil yang tadi terparkir tepat dj samping mobil Nirina, seorang pria lagi-lagi menggumamkan kata maaf. “Maaf. Ya Tuhan gue enggak tahu bagaimana caranya ngomong langsung sama lo. Ah, mungkin enggak akan pernah jujur sampai kapan pun bahwa gue, penyebab utama kecelakaan lo waktu itu. Gue yang menjadi penyebab nyokap lo meninggal dan membuat kaki lo mengalami patah tulang parah. Gue enggak bisa. Tapi gue janji, bakal selalu ada di samping lo,” janji pria itu. Tiba di rumah, Nirina disambut sepi. Entah ke mana perginya semua orang. Nenek Anah juga tidak terlihat. Nirina mengedikkan bahunya bodo amat dan langsung masuk ke kamar. Mungkin saja mereka sedang sibuk. Mandi dan langsung merebahkan tubuhnya. Huh, Nirina ingin tidur tapi sudah terlalu sore. Kalau kata nenek Anah, tanggung. Nirina akhirnya menyibukkan diri dengan membaca n****+ miliknya. Membuka lembar demi lembar sampai lembar terakhir. Mendongak, ternyata sudah hampir malam. Tidak terasa juga. Nirina saat sudah membaca n****+ semua akan terabaikan. Berjam-jam menekuni sampai n****+ itu tamat. Iseng membuka ponsel, Nirina mendapati beberapa notifikasi. Beberapa pesan dari Haidar, pesan dari operator, dan yang terakhir pesan dari nomor yang tidak dikenal. Nirina mengernyit. Siapa? Nirina malas berbasa-basi. Jadi mengabaikan saja pesan itu. Kalau butuh juga pasti akan mengiriminya pesan lagi. Benar saja, tidak lama setelahnya pesan dari nomor yang sama masuk. Unknown: Ini nomor gue, Tio. Save ya. Siapa tahu butuh. Nirina hanya membacanya. Memilih mengabaikan lagi. Huh, makin malas jika seperti ini. Menutup kembali ponselnya. Merebahkan diri dan berguling di atas ranjang berukuran king size nya. Ranjang yang terlalu besar untuk Nirina tempati sendiri. Tapi ya enak sih, tidak perlu takut jatuh walau berguling terus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN