Malaikat penolong

2047 Kata
Setelah dinyatakan baik-baik saja, tanpa berlama Nirina memutuskan untuk pulang. Terlalu lama di rumah sakit bukannya membaik malah sakit nantinya. Ada banyak virus yang beterbangan. Dan ingat, Nirina sudah bosan dengan makanan rumah sakit yang hambar. Dua hari di rumah sakit sudah cukup membuat Nirina kebosanan. Pagi ini Nirina sudah siap dengan setelan seragam putih abu-abunya. Sudah terlalu lama meliburkan diri. Takut makin tertinggal pelajaran. Mana sebentar lagi akan kenaikan kelas. Kakinya yang masih belum pulih mengharuskan Nirina menggunakan tongkat ke sekolah. Semoga saja semua berjalan seperti biasanya tanpa hambatan yang akan menyulitkan. Yang Nirina takutkan, jika di sekolah ingin buang air. Bagaimana caranya. Di rumah masih bisa dibantu nenek Anah. Huh, apa harus menahannya sampai sekolah usai? Nirina bergidik membayangkannya. Mulai sekarang akan menjaga makanannya agar perut tetap aman saat di sekolah. “Nanti di sekolah makan bekal saja. Jadi enggak perlu ke kantin. Minum juga sudah ada. Nanti pak supir antar sampai depan kelas sambil bawa barang bawaan kamu,” ucap Anah. Anah menyiapkan kotak bekal dan satu botol air putih. Nirina ingin protes mengenai dirinya yang akan diantar sampai depan kelas. Tapi tidak jadi karena berpikir pasti akan sulit jika melakukannya sendiri tanpa bantuan. Nirina masih tahu diri dengan kemampuannya sekarang yang serba terbatas. “Kalau ada keluhan jangan sungkan bilang sama guru atau teman kamu,” lanjut Anah. Anah lebih cerewet sekarang. Anah benar-benar menggantikan posisi Diana sebagai mamanya. Dan inilah yang menyadarkan Nirina bahwa dirinya memang tidak sendiri. Masih ada orang yang memedulikannya bahkan sampai hal-hal kecil sekalipun. “Iya nek,” jawab Nirina singkat. Kembali meneruskan makannya. Menu pagi ini nasi goreng dengan isi potongan sosis dan bakso. “Oh iya nek. Belanjaan masih penuh?” “Sudah ada beberapa yang habis sih. Mau sekalian beli? Sama nenek saja jangan sendiri. Nanti malah susah,” jawab Anah. Bagaimana bisa Anah membiarkan Nirina yang berjalan saja masih sulit belanja kebutuhan rumah sendiri? “Ya sudah. Nanti sore berarti ya nek.” Nirina mengelap mulutnya dengan tisu. Sudah menghabiskan satu piring makan paginya. Lalu bangkit untuk bersiap ke sekolah. “Hati-hati ya. Ingat pesan nenek tadi,” kata Anah mengingatkan. Anah mengantar Nirina sampai mobil. Membawakan tas gadis itu. “Iya nek. Tenang saja. Aku berangkat dulu. Assalamualaikum,” pamit Nirina mencium punggung tangan Anah dan mobil mulai membelah jalanan. Anah tersenyum melihat kepergian Nirina. Anah lega Nirina sudah beranjak membaik. Gadis itu perlahan mulai ikhlas menerima keadaan yang ada. Itu yang Anah lihat. Semoga memang seperti itu. Nirina harus melanjutkan hidupnya. Semua kesedihan yang ada cukup disimpan dan dijadikan sebagai penyemangat menjalani hidup. Jangan malah terlarut di dalamnya. Tiba di sekolah, Nirina turun dengan dibantu pak supir berusia paruh baya bernama Ardi. Ardi sudah menganggap Nirina seperti putrinya sendiri. Sudah bekerja sedari Nirina kecil sampai saat ini. Pindah rumah juga Ardi tetap setia pada majikannya. Bersyukurlah Nirina yang dikelilingi orang baik. Walau bukan keluarga namun merekalah keluarga sebenarnya. Banyak dari siswa yang menatap penasaran atau iba. Ah, mungkin yang menatap penasaran karena belum mendengar kabar duka yang menimpa Nirina. Dan yang iba, mereka yang sudah mengetahuinya. Nirina berjalan dengan susah payah untuk tiba di kelas yang jaraknya tidak begitu jauh. Tidak ada yang datang dan secara langsung mengucapkan rindu atau bertanya kabar. Nirina terlalu menutup diri sampai tidak memiliki teman sama sekali selama sekolah. Nirina yang terlalu pendiam membuat yang lain menganggap sombong dan enggan mendekat terlebih dahulu. Di kelas, teman-teman di sekitar tempat duduk menyamperi dan sedikit basa-basi dengan mengatakan turut berduka cita dan maaf karena belum sempat menjenguk. Nirina hanya membalas dengan senyum tipis dan berkata tidak apa-apa. Ada atau tidak adanya mereka juga tidak berpengaruh besar terhadap kehidupan Nirina. “Non, ini sudah saya taruh semua ya. Nanti kalau sudah pulang, kabari saja. Biar saya ke sini.” Nirina mengangguk. Pak Ardi pamit setelahnya. Pelajaran dimulai. Nirina dapat mengikutinya dengan baik walau sudah ketinggalan agak banyak. Nirina merupakan siswa yang pandai. Yang sekali diberi penjelasan saja sudah dapat memahami. Tanpa perlu mengulang beberapa kali. Bersyukurlah kalian yang diberi kelebihan dalam menerima pelajaran yang masuk. Tidak susah-susah bolak-balik membaca lagi. Bangku yang terdapat di sekolah ini bukan bangku panjang yang bisa ditempati dua siswa. Meja kecil yang hanya cukup digunakan satu orang. Ini yang makin membuat Nirina tidak mempunyai teman. Ada yang menarik perhatian Nirina. Bangku pojok kanan yang sebelumnya kosong sekarang sudah terisi oleh seorang pria. Apa dia murid baru? Atau murid kelas lain yang dipindahkan di kelas ini? Nirina mengedik. Bukan urusan dirinya juga. Siapa pun itu, tidak akan berdampak pada kehidupan di sekolah Nirina juga. Istirahat, Nirina menuruti pesan nenek Anah untuk memakan bekal saja. Tidak usah bersusah mengantre di kantin. Nirina masih sibuk mengambil kotak bekalnya. Gerakannya yang terbatas menyulitkan untuk dapat mengambil kotak bekal yang berada di dalam tas. Tas Nirina di letakkan di bawah karena akan sempit jika ditaruh di kursinya. “Mau ambil ini?” Nirina terkejut mendapati wajah asing yang tiba-tiba saja sudah berada di hadapannya dan mengambilkan kotak bekal dari dalam tas. Cukup lama terdiam, Nirina mengerjap. “Ah iya, terima kasih,” jawab Nirina gugup. Nirina belum pernah sedekat ini dengan laki-laki mana pun. Nirina mengalihkan pandangannya. Entah siapa pun itu, Nirina merasa terganggu. Apalagi saat pria itu tak henti menatap dirinya. Bukan dengan tatapan kurang ajar, melainkan tatapan iba seperti kebanyakan teman lainnya. Huh, Nirina tidak membutuhkan itu semua. Tatapan iba mereka juga tidak membantu Nirina untuk cepat sembuh. Malah membuat Nirina muak. Seakan-akan dirinya begitu menyedihkan. “Hm. Maaf bisa tinggalkan saya sendiri?” tanya Nirina. Teramat jelas meminta lelaki itu pergi dari sekitarnya. Sudah tidak ada perlu lagi kan. Terus untuk apa tetap di sini. “Ah iya maaf. Semoga cepat sembuh.” Nirina menghela nafas lega saat pria aneh itu meninggalkan dirinya sendiri. Huh, akhirnya bisa menyantap makan siangnya. Semakin lama dia di sini juga semakin lama Nirina dapat mengisi perutnya. Dan apa tadi? Semoga cepat sembuh. Nirina mengaminkannya dalam hati. Nirina juga ingin cepat sembuh dan dapat berjalan normal kembali. Tapi menurut dokter akan sedikit lama karena patah tulang yang dialaminya cukup parah. Tak apalah, yang terpenting bisa sembuh saja Nirina sudah bersyukur. Membuka ponsel kali saja ada pesan masuk penting. Ah, yang biasanya mengirim pesankan Diana. Diana akan selalu mengingatkan Nirina untuk makan tepat waktu, belajar yang rajin, dan untuk selalu berhati-hati. Saat ini Diana tidak mungkin bisa mengiriminya pesan lagi. Jadi, kemungkinan handphonenya akan sepi. “Untung sudah selesai makan. Coba kalau belum, jadi enggak nafsu makan deh,” gumam Nirina saat mendapati pesan masuk dari Haidar, papanya. Papa: Nak, bagaimana kabar kamu? Nirina mendecih. Sok perhatian sekali papanya. Biasanya juga bodo amat dengan kabar Nirina. Kalau papanya tahu Nirina sempat melakukan percobaan bunuh diri, bagaimana ya reaksinya. Akan menyayangkan keputusan Nirina, memarahinya, atau malah membiarkannya saja? Nirina mengabaikan pesan masuk itu. Ini sebagai bentuk protes Nirina terhadap papanya yang tidak adil. Mengutamakan anak-anaknya yang sekarang tanpa memedulikan dirinya di sini. Balas dendam juga sih, dulu Nirina sering mengirimi Haidar pesan. Menanyakan kabar papanya. Tapi tidak ada satu pun yang dibalas. Balas dendam memang tidak baik. Apalagi terhadap orang tua sendiri. Tapi Nirina sudah terlanjur kesal dan kecewa. Biar Haidar juga merasakan bagaimana rasanya diabaikan. Pulang sekolah, pak Ardi yang mengatakan akan langsung datang saat Nirina mengirim pesan malah belum terlihat sama sekali kedatangannya. Apa terjebak macet? Nirina terdiam di kelas sendiri. Sekolah sudah selesai sekitar dua puluh menit yang lalu. Nirina tidak bisa keluar sendiri. Tasnya yang lumayan berat menjadi penyebabnya. Dua tangan Nirina akan memegang tongkat yang bertugas sebagai penyangga tubuh. Jadi ya butuh bantuan orang lain untuk membawakan tasnya. “Loh belum balik?” tanya pria yang masuk lagi ke dalam kelas. Pria yang sama dengan yang mengambilkan kotak bekal Nirina. Nirina mendongak dan tersenyum seadanya sebagai jawaban. Untuk apalagi sih. Pria yang Nirina tidak ketahui namanya itu malah mendekat ke arah Nirina. Berhenti tepat di depan meja. “Nunggu jemputan?” tanyanya lagi. Nirina merutuk dalam hati. Kenapa harus sepeduli ini? Padahal Nirina malah bersyukur bila dia pergi saja tanpa menghiraukan keberadaan Nirina di sini. “Iya,” jawab Nirina singkat. “Mau gue bantu sampai depan? Biar tunggu di luar kelas saja. Katanya sih kelas ini lumayan angker. Nanti kalau lo sendirian di sini takutnya kerasukan penunggunya.” Nirina ingin tidak percaya. Tapi beberapa kali sering mendengar pengakuan temannya yang mengalami langsung. Banyak kejanggalan yang ada di kelas ini apalagi saat sudah sepi. Nirina bergidik dan menatap sekelilingnya. Apa Nirina menerima saja tawaran pria itu? Nirina mengangguk ragu. Inginnya sih menolak dan tetap menunggu pak Ardi saja. Tapi mengingat cerita horor versi teman-temannya Nirina mengurungkan niat. Tidak mau merasakan juga keanehan tersebut. “Ya sudah ayo,” ajak lelaki itu. Nirina tidak bisa mengetahui namanya karena memang di seragam lelaki itu tidak ada namanya. Menanyakan langsung juga Nirina enggan. “Tolong bawakan tas saya. Saya bisa jalan sendiri,” kata Nirina dengan formal. Belum terlalu mengenal siswa di hadapannya. “Oh oke.” Mereka berdua keluar dari kelas. Nirina berjalan di belakang dengan bunyi tongkat yang mengiringi. Dari belakang, Nirina dapat melihat punggung kokoh lelaki itu yang menggendong dua tas sekaligus. Milik Nirina dan miliknya sendiri. Sekolah sudah mulai sepi. Siapa sih siswa yang mau berlama di sekolah? Bel pulang berbunyi ya langsung pulang. Kalau Nirina tidak seperti ini juga sudah berada di rumah pasti. “Lo dijemput?” Nirina menganggukkan kepalanya. “Mau tunggu jemputan di mana?” “Di halte depan saja. Sebentar lagi juga jemputan saya akan sampai,” jawab Nirina. “Santai saja kalau sama gue. Enggak usah pakai saya-saya segala,” ucap lelaki itu. Merasa sedikit terganggu dengan kata saya. Terlalu formal. “Itu jemputan saya. Saya duluan,” pamit Nirina. Pak Ardi turun dari mobil dan mengambil alih tas yang tersampir di pundak penolongnya. “Terima kasih,” ucap Nirina sebelum benar-benar pergi. “Gue enggak pantas dapat ucapan terima kasih dari lo. Gue berdosa. Satu juta maaf pun enggak akan menghapus dosa gue ke elo,” lirih seorang pria berdiri memandangi mobil yang sudah mulai menghilang dari pandang. Tiba di rumah, Nirina langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Pikirannya lagi-lagi tertuju pada pria yang sudah dua kali menolongnya hari ini. Walau sudah menolong Nirina, tapi Nirina merasa perasaan yang tidak bisa digambarkan jika berdekatan dengan dia. Seperti perasaan kecewa dan marah. Tapi Nirina juga tidak tahu penyebabnya. Mereka juga baru pertama kalinya bertemu hari ini. Apa ini hanya perasaan Nirina saja? Tanpa mau pusing memikirkan, Nirina memutuskan untuk tidur. Hari pertamanya di sekolah pasca kecelakaan membuat tubuh Nirina terasa lelah semua. Padahal hanya duduk selama di sekolah. “Nduk bangun. Sudah sore. Mandi dulu,” ucap nenek Anah. Membangunkan Nirina yang masih memejamkan mata. Nirina mengerjap. Matanya menyipit melihat lampu kamar yang sudah dinyalakan. “Jm berapa nek?” tanya Nirina dengan suara parau. “Jam setengah lima. Ayo mandi dulu. Katanya mau belanja.” Anah berjalan menutup tirai kamar Nirina. Nirina baru ingat jika akan belanja bulanan sore ini. Saat masih ada Diana, Diana yang melakukan semuanya sendiri. Huh, Nirina merindukan mamanya. Tiada hari tanpa merindu. Setelah menimbang, akhirnya keduanya menuju super market saat sudah petang. Habis magrib. Jalan sore hari juga tanggung. Pasti juga akan terjebak macet. Mending malam saja sekalian. Nirina mengekor di belakang nenek Anah yang mendorong troli belanja. Di sini, Nirina hanya menemani nenek Anah belanja. Nirina juga tidak tahu apa-apa saja yang harus di beli. “Nek, mau s**u yang coklat ya,” kata Nirina menunjuk minuman dengan rasa coklat yang letaknya di atas. Nenek Anah mendongak mencoba mengambil minuman yang Nirina maksud. “Susah. Kamu panggil pelayan saja sana. Nenek tunggu di sini,” ujar Anah yang kesulitan menjangkau. Nirina sudah akan beranjak memanggil pelayan yang kebetulan berdiri tidak jauh darinya sekarang untuk membantu mengambilkan, terhenti saat ada tangan yang mengambil dan memberikannya pada Nirina. “Ini kan.” Nirina mendongak. Kenapa harus bertemu laki-laki ini lagi? Di sekolah sudah dan di super market harus bertemu lagi. Dan kenapa kedatangan pria itu memang sudah di setting untuk menolongnya? Dia bukan malaikat penolong Nirina kan? “Ah iya, terima kasih,” ucap Nirina dan berlalu pergi. Masa bodoh dengan kesopanan. Yang paling penting sudah mengucapkan terima kasih kan. Laki-laki itu menatap kosong punggung Nirina. Setiap melihat Nirina, perasaan bersalah lagi-lagi muncul ke permukaan. Harus bagaimana menebusnya agar rasa bersalah itu hilang? Apa dengan nyawa juga?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN