Kecelakaan

1302 Kata
Seorang gadis terbaring lemah di atas brankar ruang ICU di rumah sakit negeri ibu kota. Selang infus tertancap pada pergelangan tangan kanan. Alat bantu pernafasan terpasang untuk membantu pernafasannya. Dengan perban memutari kepala dan membungkus seluruh kaki kanan mulai di bawah lutut. Gadis itu masih saja terlelap setelah tiga hari mengalami kecelakaan cukup parah. Dokter dan suster bergantian memeriksa. Salah satu suster ditugaskan untuk menjaga dan mengawasi pasien di ICU. Barangkali nanti ada sesuatu yang tiba-tiba terjadi. Apalagi pasien ini sendiri. Tanpa sanak saudara yang menemani. Tidak seperti pasien lain yang minimal ditemani satu anggota keluarga. Dia hanya sendiri. Terlelap damai dalam sepi. Gadis berparas cantik itu seperti enggan terbangun. Seakan tahu jika nanti membuka mata semua tak akan lagi sama. Saat pertama datang, di antar ambulance dengan ditemani seorang pria muda yang katanya ada di tempat kejadian. Menjadi penolong sampai membayarkan seluruh biaya perawatan. Tak lama kemudian, pria setengah baya berlari menghampiri. Memasang wajah sendu penuh penyesalan. Katanya ayah dari gadis yang menjadi korban kecelakaan ini. Tapi entah apa yang terjadi, hari berikutnya setelah meninggalkan rumah sakit, pria paruh baya itu tak lagi terlihat sampai hari ini. Membiarkan darah dagingnya sendirian diantara hidup dan mati. Hanya ada satu orang yang bolak-balik mengunjungi. Wanita paruh baya yang merupakan asisten rumah tangga di rumah. Tidak bisa tinggal lebih lama karena harus mengurus rumah dan pengajian rutin yang diselanggarakan setelah si pemilik rumah meninggal dunia. "Bagaimana Suster, apa ada perkembangan?" tanya dokter yang sedari awal menangani. "Masih sama seperi kemarin Dok. Sepertinya pasien tahu bahwa saat terbangun nanti dia akan dihadapkan dengan kenyataan yang menyakitkan," ucap sendu Suster ber name tag Ana sambil memandang wajah pucat pasiennya. Dia merasa iba. Dokter hanya menghela nafas. Batinnya menyetujui. Bagaimana nanti pasiennya saat bangun dan mengetahui kenyataan menyakitkan ini? "Nirina gadis yang kuat. Pasti dia akan sadar," ujar suster Ana. Suster Ana begitu iba melihat keadaan yang menimpa Nirina. Ya, gadis yang terbaring koma bernama Nirina. Lagi, ruang ICU kembali hening saat dokter dan suster meninggalkan ruang. Hanya terdengar alat-alat penyambung hidup kini. Air mata menetes dari mata gadis bernama Nirina itu. Dia masih memejamkan mata tak sadarkan diri. Entah apa yang membuat Nirina menangis dalam tidur panjangnya. Mungkin dia tahu bahwa kenyataan menyakitkan akan menghampirinya kala ia sadar. "Maaf. Gue tahu, sejuta kata maafpun gak akan sebanding dengan apa yang Lo alami sekarang. Tapi sayangnya cuma ini yang bisa Gue lakuin. Gue terlalu pengecut untuk mempertanggung jawabkan semuanya. Dan sepertinya, Gue gak akan berani mengakui ini sampai maut tiba. Sekali lagi maaf," gumam lirih seorang pria yang sudah beberapa kali menyambangi ICU tempat Nirina berbaring. Pria yang datang hanya untuk mengungkapkan maaf penuh penyesalan dan segera mungkin meninggalkan ruang. Air mata Nirina kembali menetes setelah mendengar kalimat panjang yang tersirat akan penyesalan. Gadis yang kini berada di tengah antara hidup dan mati itu seperti dapat mendengar semua yang terjadi. Namun sekali lagi, enggan untuk membuka mata. Saat pagi menyapa, wanita paruh baya berstatus asisten rumah tangga memasuki ruang. Menyapa sang anak majikan yang masih betah dalam tidur panjangnya. Bi Anah atau Nirina memanggilnya dengan sebutan Nenek. Anah iba melihat keadaan nona mudanya kini. Setelah berhasil menata ulang kehidupan pasca perceraian kedua orang tuanya beberapa tahun silam, gadis muda itu malah diberikan cobaan yang begitu luar biasa menyakitkan. Kali ini, dia kehilangan sosok wanita dewasa yang telah melahirkannya. Sosok ibu yang bisa menjadi ayah, teman dan kakak sekaligus. Lukanya kali ini jelas lebih dalam dari pada saat sang ayah memilih wanita lain untuk dijadikan keluarga dan melepas genggaman tangan ibu dan dirinya. "Nduk, cepat sadar yah. Walaupun kesedihan pasti menyapa kamu nantinya, tapi ingat. Nenek akan selalu ada di samping kamu. Tolong sadar demi wanita tua ini. Nenek tahu, kamu gadis yang kuat," ucap Anah diselingi isak tangis. Dia merasa kehilangan sosok majikan yang sudah dianggap sebagai anak. Dan tidak mau kehilangan nona mudanya yang dianggap cucu sendiri. Anah begitu menyayangi ibu dan anak ini. Mereka yang bukan darah dagingnya memberi kehidupan layak disaat anak-anak kandungnya malah membuang dan abai akan keadaan dan hidupnya. Mereka bahkan melarang Anah melakukan pekerjaan berat. Hanya memasak saja tugas Anah di rumah sederhana itu. Untuk yang lain, sudah ada wanita yang usianya lebih muda dari Anah dipekerjakan. Mereka benar-benar menganggap Anah sebagai bagian dari keluarga. Walau sedih di buang anak-anaknya, tapi ada saat dimana Anah bersyukur. Dengan itu ia dipertemukan dengan keluarga barunya kini. "Nenek sayang banget sama kamu Nduk. Nenek pulang dulu ya. Maaf enggak bisa lama jagain kamu." Dengan sendu, punggung tua itu meninggalkan ruang yang menjadi tempat tidur Nirina. Dengan hati penuh pengharapan. Semoga nona mudanya masih diberi nafas oleh Tuhan dan dapat kembali bangun esok atau lusa nanti. Sedang dalam tidurnya, Nirina dihadapkan pada dua pilihan. Menghampiri ibunya yang mengenakan pakaian serba putih dengan senyum bahagia tersungging atau berbalik arah pada beberapa suara yang mengharapkan kesadarannya. Nirina dilema. Inginnya menghampiri sang ibu dan bahagia dalam dekapan hangatnya. Namun suara orang-orang yang mengharapkan ia membuka mata menghalaunya. "Nak, kamu harus pulang. Banyak orang yang nunggu kamu buat bangun," pesan wanita dengan wajah bahagia tanpa beban. "Nirina mau ikut Mama kemanapun Mama pergi. Kalo Nirina kembali, Nirina enggak punya alasan untuk tetap hidup. Enggak ada yang sayang sama Nirina di sana," lirih Nirina. Tangannya terulur berharap wanita yang dipanggil Mama itu menyambut uluran tangannya dan pergi bersama. "Masih banyak yang sayang sama kamu. Ada nenek, papa dan teman-teman kamu. Hidup kamu masih panjang." Nirina ragu. "Sekarang bukan waktunya kamu ikut mama. Kamu kembali ke kehidupan kamu. Nanti juga akan ada saatnya kamu ketemu mama lagi. Pulang ya Sayang. Mama sayang banget sama kamu. Mama enggak ninggalin kamu. Mama akan selalu ada di hati kamu sampai kapanpun itu." Walau masih terbesit rasa ragu, akhirnya Nirina berbalik menjauhi mamanya. Menuju pintu lain yang semakin mengecil. Dengan sekuat tenaga, berlari menghampiri. Dan dapat. Nirina sudah di bibir pintu penghubung untuk tetap hidup. Di baliknya badan dan menatap lurus sang mama. Wanita itu tersenyum manis seakan tanpa beban. Melambaikan tangan perpisahan. "Nirina sayang mama. Tunggu Nirina ya Ma," ucap Nirina terakhir. Nirina berhasil melewati pintu itu tepat waktu. Gelap. Semua gelap. Badannya terasa remuk dengan rasa sakit hampir terasa di sekujur tubuh. Dengan perlahan membuka mata. Ruang serba putih dengan bau obat-obatan menyengat menyapa. Nirina mengernyit mencoba mengingat apa yang sudah dia lalui sampai harus mengakibatkan tubuhnya terbaring dengan selang tertancap di tubuh. Dan Nirina ingat. Kecelakaan di malam hari yang menjadi penyebabnya. Kecelakaan parah yang menimpa ia dan mamanya saat akan bertamu ke rumah papa dan keluarga barunya. Dengan tujuan memberikan kejutan ulang tahun sang papa. Saat itu, Nirina berencana pergi sendiri. Namun, mamanya melarang dengan alasan sudah malam dan tidak baik untuk gadis berkendara sendiri. Apalagi letak rumahnya cukup jauh. Harus melewati jalan tol untuk sampai. Akhirnya Nirina mengiyakan untuk diantar mamanya. Semua berjalan mulus, sampai tiba-tiba mobil di hadapannya berhenti mendadak di jalur kanan jalan bebas hambatan. Mobil yang Nirina tunggangi berada di kecepatan tinggi. Tak ingin menabrak, mamanya membanting setir ke arah kiri sampai menabrak pembatas jalan dengan keras. Mamanya yang tidak mengenakan sabuk pengaman terlempar ke luar jendela. Banyak darah bercucuran karena benturan dan terkena serpihan kaca jendela. Sedang Nirina hanya mengalami benturan ringan di kepala dan kakinya yang terjepit badan mobil yang ringsek. Dan Nirina tidak ingat lagi sampai-sampai ia tetbangun di sini. Sekuat tenaga mengingat bagaimana kondisi sang ibu pada saat itu. Yang Nirina ingat, kondisinya jauh lebih parah dari dirinya. Lalu bagaimana keadaanya sekarang? Pikiran gadis itu berkecamuk menghalau kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin saja terjadi. Berdoa semoga yang ditakutkan tidak terjadi. Ya, Mamanya pasti baik-baik saja. Mungkin sekarang sedang berbaring juga di atas brankar rumah sakit. Atau malah sudah ada di rumah. Atau sedang di kantin rumah sakit untuk mengisi perut karena terlalu lapar saat menunggu Nirina sadar. Nirina mensugesti dirinya sendiri bahwa semua baik-baik saja. Tanpa tahu kesakitan yang nyata sebentar lagi akan menyapa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN