Nirina duduk termenung. Tangan kanannya memegang pisau cuter. Siap menggoreskan pada nadi di tangan kiri. Nirina ragu. Meneruskan rencananya atau menghentikannya. Padahal sore tadi sudah yakin untuk mengakhiri hidupnya. Nirina sudah tidak memiliki pegangan dan alasan untuk melanjutkan hidup. Untuk apa juga kan. Ditinggal ibunya dan dikecewakan ayahnya berulang kali. Nirina tidak punya teman. Hanya nenek Anah yang menemani. Namun sayangnya nenek Anah hanya orang yang kebetulan baik dan dianggap keluarga. Nirina takut, jika nenek Anah nanti akan meninggalkan atau mengecewakannya juga. Yang benar keluarga, memiliki DNA sama saja bisa mengecewakan apalagi yang hanya kebetulan seperti keluarga. Nirina bukan tidak mempercayai nenek Anah yang sudah baik padanya. Tapi mencegah lebih baik kan.
Dengan menguatkan tekad, Nirina mendekatkan pisau itu ke arah pergelangan tangan kirinya. Menarik nafas sebelum siap menggoreskan. Darah bercucuran. Padahal baru tergores sedikit. Bukannya meringis, Nirina malah tersenyum.
“Bahkan rasa sakitnya enggak terasa,” gumam Nirina. Sakit yang ditimbulkan dari goresan itu sama sekali tidak terasa dibanding dengan ditinggalkan dan dikecewakan kedua orang tuanya.
“Ma, sebentar lagi kita akan bertemu.” Nirina memejamkan mata. Menikmati rasa yang tercipta. Pandangan Nirina mulai berkunang. Sudah terlalu banyak kehilangan darah.
“Selamat tinggal semua,” lirih Nirina setelahnya jatuh pingsan.
Bersamaan dengan itu, nenek Anah mendatangi kamar Nirina bermaksud memanggil gadis itu untuk makan malam. Nenek Anah panik, sudah mengetuk beberapa kali pintu kamar Nirina namun tidak juga mendapat jawaban. Perasaan wanita tua itu juga menjadi kalut.
“Ya Tuhan,” pekik Anah saat mendapati Nirina yang tergolek lemah di lantai dengan darah bercucuran. Anah berteriak meminta pertolongan.
“Tolong.”
Anah meninggalkan kamar Nirina untuk memanggil tetangga. Tubuh Anah tidak sekuat itu untuk menggendong Nirina.
“Tolong Nirina. Dia berdarah. Tolong,” iba Anah pada tetangga depan rumahnya.
Pria paruh baya itu dengan segera memasuki rumah Nirina dan menggendong gadis muda itu memasuki mobil peninggalan Diana. Melesat cepat ke rumah sakit terdekat. Anah duduk di belakang memangku kepala Nirina dan menekan luka Nirina dengan baju yang dipakai. Bermaksud agar dapat menghentikan laju darah yang terus keluar.
Tiba di rumah sakit, dokter dan suster langsung mengambil alih. Membawa Nirina ke ruang gawat darurat. Menghentikan darah yang terus keluar. Tubuh Nirina sudah mulai dingin dan pucat. Tapi, bibir gadis itu melengkungkan senyum. Seperti tidak kesakitan sama sekali.
Anah terduduk lesu. Anah bahkan tidak pernah berpikir bahwa Nirina nekat untuk mengakhiri hidupnya. Apa seputus asa itu Nirina?
Sekitar dua jam kemudian, dokter keluar dengan wajah lelah.
“Bagaimana keadaan cucu saya dok?” tanya Anah langsung. Jantungnya sedari tadi berdetak tidak normal. Anah takut bayangan buruk yang sempat singgah tadi menjadi nyata. Anah tidak mau kehilangan lagi.
Dokter pria itu menghela nafas dalam. “Alhamdulillah pasien bisa diselamatkan. Tadi sempat melemah dan kehilangan banyak darah. Untung saja dibawa ke rumah sakit dengan tepat waktu. Pasien masih dalam pengaruh obat. Mungkin besok baru akan bangun. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang rawat. Saya permisi,” ucap dokter panjang lebar. Menjelaskan bagaimana yang terjadi tadi di dalam.
Anah bernafas lega. Nirina baik-baik saja. Ya, fisik gadis itu baik-baik saja. Tapi Anah yakin psikisnya jauh dari kata baik. Luka Nirina bukan hanya di raganya saja tapi juga jiwanya. Luka yang lebih sulit untuk disembuhkan. Membutuhkan waktu yang panjang. Tidak secepat luka goresan pisau.
Anah menunggui Nirina semalaman. Tadi sempat pulang untuk membersihkan kamar Nirina dan mengganti bajunya yang penuh noda darah. Anah tidak tega meninggalkan Nirina sendiri di rumah sakit. Takut juga apabila gadis itu sadar akan mengulang hal mengerikan itu lagi. Kali ini Anah tidak mau kecolongan.
Nirina masih nyaman dalam tidur. Nafasnya berembus teratur. Siapa yang menyangka, gadis ini tadi sempat hampir kehilangan nyawanya. Untung saja Tuhan masih baik dengan memberikan kesempatan kedua. Apa pun alasannya, mengakhiri hidup dengan sengaja tidaklah baik. Malah sangat dibenci Tuhan. Seberat masalah yang menimpa, jangan sekalipun berpikir mengakhiri hidup adalah jalan keluar terbaik. Tuhan memberikan masalah dan ujian pada hambanya karena tahu bahwa hambanya bisa menghadapi dan menyelesaikan semuanya. Tuhan tahu bahwa kita mampu. Dia tidak pernah memberikan ujian di atas batas kemampuan kita. Tuhan sudah begitu baik namun hamba-Nya saja yang terlalu mudah menyerah.
Anah menyesali keputusan Nirina yang sempat memilih menyerah. Anah tahu Nirina pasti sangat kecewa dan sedih. Tapi mengakhiri hidup bukannya menyelesaikan masalah melainkan menimbulkan masalah baru. Setelah sadar Anah berjanji akan menasihati Nirina. Dan mengingatkan gadis itu bahwa masih ada dirinya.
Dini hari, Nirina membuka matanya. Tersadar dari tidur panjangnya. Nirina menatap langit ruang perawatan. Tentu saja Nirina langsung mengetahui. Belum lama juga baru kembali ke rumah dari rumah sakit. Nirina menyentuh pergelangan tangan kirinya yang terasa nyeri. Nirina kira, saat terbangun sudah berkumpul dengan ibunya. Tapi ternyata tidak. Nirina masih hidup. Menoleh ke kanan. Terlihat sosok renta yang tengah memeluk tubuhnya karena kedinginan. Nenek Anah. Nirina sedikit menyesal melakukan hal bodoh tadi. Karena itu, Nirina lagi-lagi merepotkan nenek Anah. Nirina merutuki dirinya yang sempat berpikir buruk tentang nenek Anah. Harusnya Nirina menyadari dan merasakan betapa tulusnya nenek Anah. Sampai rela tidur di sofa bed dan kedinginan demi menemaninya. Nirina sungguh tidak tahu diri.
Karena hari masih terlalu pagi, Nirina memutuskan untuk tidur lagi. Padahal sebenarnya Nirina haus. Namun tidak mau mengganggu tidur nenek Anah dan memilih menahannya sampai esok hari.
“Cepat bangun ya. Nenek sayang sama kamu,” gumam nenek Anah yang baru selesai menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Nirina bisa mendengarnya. Nirina sudah bangun sedari nenek Anah mulai menangis dalam doa. Sengaja tetap diam ingin mengetahui lebih banyak harapan yang nenek Anah panjatkan. Beliau mendoakan Diana agar bahagia di alam sana dan mendoakan untuk kesembuhan Nirina. Nirina mendengar semuanya. Sampai isak tangis yang nenek Anah keluarkan pun Nirina mendengarnya. Menandakan betapa seriusnya nenek Anah berharap.
“Nek, minum,” ucap Nirina pura-pura baru bangun. Tapi memang Nirina benar-benar haus.
Wajah tua itu berseri bahagia. Dengan segera mengambil gelas yang sudah diberi sedotan. Agar memudahkan Nirina untuk minum.
“Pelan-pelan,” peringat Anah. Takut Nirina tersedak karena minum terlalu terburu.
Nirina tersenyum di sela menyedot air mineral itu. Perhatian kecil yang diberikan nenek Anah sedikit mengobati rindu Nirina pada ibunya.
“Nduk, mengakhiri hidup itu bukan hal yang baik. Malah dilarang sama Tuhan.”
Nirina menghentikan minumnya. Tapi pandangannya tetap menghadap gelas. Terlalu malu jika mengingat kejadian semalam. Nirina terlalu berpikir pendek. Tidak memikirkan apa saja yang akan terjadi ke depannya.
“Tuhan tahu kamu kuat. Makanya Dia nguji kamu. Kamu harus bisa bangkit dan keluar dari semunya. Kembali ke hidup sebelumnya ya. Belajar mengikhlaskan. Memang sulit. Tapi tetap berusaha sedikit-sedikit ya. Ada nenek yang selalu di samping kamu. Panggil nenek kalau kamu butuh teman untuk berbagi masalah kamu,” nasihat Anah. Anah sengaja berucap pelan tanpa menggunakan nada tinggi sedikit pun. Anah tidak mau Nirina merasa disalahkan. Untuk menghadapi gadis itu, perlu menggunakan kelembutan. Semoga saja Nirina mau mendengarkannya.
“Dengar kan? Jangan diulangi lagi ya.”
Nirina mengangguk kecil. Berjanji dalam hati tidak akan mengulanginya.
“Kalau misal pun kamu berhasil mengakhiri hidup dengan cara semalam, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Kamu juga tidak akan bertemu dengan mama kamu. Ingat ya, jangan diulangi.”
“Mm... mau nenek kasih tahu ke pak Haidar tentang kondisi kamu sekarang?” tawar Anah. Anah bisa saja langsung menghubungi Haidar selaku wali yang tersisa. Namun menghargai Nirina dan memilih meminta izin gadis itu terlebih dahulu. Anah tidak mau kesalahan.
Nirina menggeleng. Wajahnya memancarkan ke tidak sukaannya saat mendengar nama orang yang ingin segera dimusnahkan di dalam pikiran. Nirina tidak mau berhubungan dengan sosok yang dipanggil papa itu. Jika dia bisa tidak peduli pada Nirina, Nirina juga bisa melakukan hal yang sama. Nirina tidak akan memaafkan Haidar sampai kapan pun. Ah, itu juga jika Haidar menyadari kesalahan dan meminta maaf. Tapi sepertinya semua itu tidak akan pernah terjadi.
“Enggak usah bawa nama laki-laki itu lagi nek. Untuk apa. Misal nenek mengabari pun tidak akan datang. Mungkin kalau aku benar-benar pergi baru pria itu akan datang. Huh,” desah Nirina.
“Enggak boleh seperti itu.”
Nirina tidak memedulikan ucapan Anah. Kali ini, Nirina akan egois. Nirina tidak akan jadi korban keegoisan saja. Namun akan berbalik menjadi egois. Demi ketenangan dan ketenteraman hidupnya juga. Nirina memang suka membalas dendam perbuatan orang yang sudah menyakitinya.
“Iya, iya,” pasrah Nirina.
“Cepat pulih, kamu sudah terlalu banyak izin sekolah,” kata Anah.
Nirina mencebik. Anah dalam mode cerewet lebih parah dari mamanya. Walau begitu, Nirina tetap senang. Anah cerewet juga karena perhatian pada Nirina. Nirina bersyukur akan itu. Masih ada yang peduli padanya. Nirina berjanji tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Nirina akan memulai hidupnya dengan baik. Tidak mau lagi mengecewakan wanita yang sudah merawatnya dengan baik selama dirinya sakit. Nirina jadi merindukan oma dan opanya yang sudah lama tiada.
“Mau makan?” tawar Anah.
Laura mengangguk semangat. Mungkin karena efek kehilangan banyak darah, Nirina jadi merasa lapar sekarang. Eh, apa ada hubungannya? Entahlah. Sepertinya bukan karena itu. Tapi karena dari malam belum mengisi perutnya dengan makanan sama sekali.
“Enggak jadi,” ralat Nirina saat melihat lauk yang ada. Makanan rumah sakit memang tidak pernah membangkitkan nafsu makan. Nirina sudah bosan lebih dari satu munggu pasca sadar dari kecelakaan makan makanan yang sama terus. Dan sekarang harus lagi? Mending Nirina puasa saja.
“Makan, biar cepat sehat terus pulang. Mau di sini terus?” Anah bersikukuh menyuapi Nirina. Anah akan sedikit tegas mulai sekarang. Seperti yang biasa dilakukan mendiang Diana.
“Tapi enggak enak makanannya,” tolak Nirina. Menutup mulut rapat setelahnya.
“Ya sudah. Kamu berarti mau di sini lebih lama.”
“Nek, enggak enak loh makanannya. Nenek coba deh,” kekeh Nirina.
“Enggak boleh seperti itu Nduk. Syukuri yang ada. Banyak di luar sana yang ingin makan saja tidak bisa. Kamu yang sudah dikasih makan malah menolak. Makan ya.” Anah tidak kehabisan ide untuk membujuk.
Dengan pasrah Nirina mengangguk dan membuka mulutnya. Sendok berisi nasi dan lauk langsung masuk setelahnya. Nirina makan dalam diam. Berusaha menelan makanannya. Padahal kan Nirina ingin makan ayam geprek. Bukan makanan yang hambar ini. Ya Tuhan, sepertinya Nirina terlalu banyak mengeluh. Benar kata Anah kita harus mensyukuri apa yang ada.
“Nah habis juga.”
Nirina menghela nafas lega. Akhirnya berhasil memindahkan seluruh isi piring ke dalam perutnya. Walau setiap suap harus dibantu dengan minum agar berhasil masuk ke perutnya.
“Nek, aku kapan pulang?” tanya Nirina yang sekarang tengah merebahkan diri sambil menonton tayangan televisi. Nirina sudah merasa sehat kembali. Yang luka juga hanya sedikit di pergelangan tangannya. Tidak ada lima centimeter malah.
“Nanti tunggu dokter cek keadaan kamu. Kamu tanya langsung saja ya,” jawab Anah.
Bahu Nirina terkulai. Nirina kira sudah ada pembicaraan dengan dokter mengenai waktu pulangnya. Ternyata belum. Nirina harus memasang tampang baik-baik saja saat dokter datang nanti. Huh, tapi kan memang Nirina sudah baik-baik saja.
“Nek, tahu enggak sih. Alasan kenapa aku senekat ini?” Nirina menerawang.
Anah langsung menghadap ke arah Nirina. Anah sudah dapat sedikit menebak apa penyebab Nirina melakukannya.
“Aku itu ngerasa sudah enggak punya harapan. Mama pergi jauh tanpa pernah kembali. Sedangkan papa memilih enggak peduli sama aku. Aku kecewa. Padahal hanya mereka keluarga kandung aku yang tersisa, tapi malah mereka meninggalkan dan mengecewakan aku. Aku takut. Mereka yang keluarga sedarah saja bisa mengecewakan apalagi nenek yang hanya kebetulan saja menjadi keluarga. Kita tidak ada ikatan darah sama sekali. Aku takut suatu saat nenek meninggalkan aku. Jadi lebih memilih aku saja yang meninggalkan dunia. Aku sudah tidak mau merasa kehilangan nek.”
Nirina menarik nafasnya panjang. “Maaf karena pernah meragukan ketulusan nenek. Sekarang aku sadar bahwa nenek bahkan lebih dari keluarga dengan darah yang mengalir sama. Nenek lebih dari papa. Nenek tulus dan selalu berada di samping aku,” sambung Nirina. Masih menatap lurus ke depan.
“Nenek akan selalu berada di samping kamu nduk. Jangan berpikir untuk melakukan hal mengerikan itu lagi ya. Ingat nenek. Ingat wanita tua ini,” kata Anah. Merasa sedih dengan pengakuan Nirina. Luka gadis itu sudah terlalu dalam dan Anah berjanji akan selalu ada bersama Nirina sampai nanti saatnya tiba untuk meninggalkan dunia.
“Aku sayang nenek,” lirih Nirina.
Keduanya masih berpelukan. Menyalurkan rasa sayang yang ada. Nirina sekarang yakin akan terus melanjutkan hidupnya. Masih ada orang yang menyayanginya dan Nirina tidak akan mengecewakan. Perbuatannya semalam, akan Nirina jadikan pelajaran. Tidak untuk diulanginya lagi. Siapa pun, jangan tiru perbuatan Nirina. Seberat apa pun masalah, pasti ada jalan keluar. Mengadu pada Tuhan, minta petunjuk agar ditunjukkan penyelesaian yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Setiap melakukan sesuatu, ingat ada orang yang benar-benar menyayangimu. Jangan bertindak semaunya dan nanti malah penyesalan yang datang. Kehilangan seseorang memang wajar untuk ditangisi. Namun cukup sewajarnya. Ikhlaskan kepergian dan perlahan mulai bangkit untuk melanjutkan hidup.
Duniamu tidak akan berhenti walau kehilangan orang yang dicintai dan disayangi. Terus berjuang dan buktikan pada mereka bahwa kamu mampu menjalani hidup walau tanpa kehadiran mereka. Kamu bisa. Untuk yang mengalami hal yang sama dengan Nirina, tetap semangat!